Ilustrasi Jokowi / Agus Suparto
JAKARTA, KabarKampus – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai setahun masa pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin telah menginjak-injak hukum dan Hak Asasi Manusia. Kebijakan yang mereka buat selama setahun justru memperlemah penegakan hukum dan hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, menghancurkan lingkungan, dan merampas ruang hidup masyarakat. Memperingatkan Pemerintah bahwa Indonesia adalah negara hukum dan pemerintahan terikat pada Konstitusi;
Untuk itu, YLBHI mendesak pemerintah mencabut kebijakan yang tidak sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia. Kemudian mendesak pemerintah menghormati hukum dan hak asasi manusia dan melindungi warga negaranya.
“Memperingatkan Pemerintah bahwa Indonesia adalah negara hukum dan pemerintahan terikat pada Konstitusi,” tulis YLBHI bertepatan dengan satu tahun pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, Selasa, (20/10/2020).
Ada sejumlah alasan YLBHI menilai pemerintahan Jokowi-Ma’ruf demikian. Diantaranya pemerintah telah menyetujui dan menandatangani Revisi UU KPK.
Menurut YLBHI, revisi Undang-undang KPK 2019 memperlemah KPK seperti adanya Dewan Pengawas, adanya ketentuan SP3 untuk perkara yang tidak selesai disidik dalam waktu satu tahun. Kemudian pegawai KPK diubah statusnya menjadi Aparatur Sipil Negara.
Hal ini terbukti ketika ketua KPK melangar kode etik dengan menggunakan helikopter saat berkunjung ke Baturaja, Sumatera Selatan. Dewan etik hanya memberikan teguran tertulis kepada ketua KPK.
Selanjutnya pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, teah menyetujui direvisinya UU Minerba. Bagi YLBHI, revisi UU Minerba menguntungkan kelompok pengusaha tambang dan sebaliknya ancaman besar bagi lingkungan hidup dan hidup masyarakat.
Hal ini terlihat dari salah satu pasal yaitu pasal 169 A terkait perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan. Maka, pemegang KK dan PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dapat mendapatkan 2 kali perpanjangan dalam bentuk Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masing-masing paling lama selama 10 tahun.
Alasan ketiga, Jokowi-Ma’ruf menyetujui dan menandatangani revisi UU Mahkamah Konstitusi. Dalam catatan YLBHI, revisi UU MA disahkan hanya dalam waktu tujuh hari sejak pembahasan. Hal ini menunjukkan DPR memaksakan revisi UU ini meski tidak masuk dalam Prolegnas prioritas tahun 2020
Alasan keempat Jokowi-Ma’ruf mengusulkan dibuatnya Omnibus Law UU Cipta Kerja. Menurut YLBH, dengan disahkannya UU Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, maka paket agar oligarki semakin berkuasa di Indonesia sudah lengkap. UU ini bermasalah bahkan sebelum aturan lahir.
Konflik agraria Hingga Pembungkaman Kebebasan Berpendapat
YLBHI mencatat pada periode Januari hingga Agustus 2020 meletus 79 kasus konflik agraria dan lingkungan hidup. Di dalamnya juga terdapat kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat.
Kemudian terkait pembungkaman kebebasan berpendapat, YLBHI mencatat ada 28 indikator yang menandakan pemerintahan Jokowi -Mar’ruf memiliki tanda-tanda yang mengarah kepada bangkitnya otoritaranisme. Kemudian tiga pola yang mengindikasikan hal tersebut
Pola pertama adanya upaya penghambatan kebebasan sipil berpikir, berkumpul, berpendapat, berekspresi dan berkeyakinan. Kedua, mengabaikan hukum yang berlaku baik konstitusi, TAP MPR maupun peraturan perundang-undangan. Ketiga, memiliki watak yang represif, yang mengedepankan pendekatan keamanan dan melihat kritik sebagai ancaman.
Abai dengan Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu
Menurut catatan LBH-YLBHI tentang 100 hari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, Jokowi-Ma’ruf tidak menjadikan HAM hal penting yang harus mewarnai seluruh kebijakannya. Hal ini terlihat dari tidak adanya kemauan politik pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang berat masa lalu.
Dalam catatan Komnas HAM, masih ada 12 kasus pelanggaran HAM yang berat yang sampai sekarang belum memiliki kepastian hukum. Dalam catatan yang sama, Komnas HAM menyebutkan hanya tiga kasus yang ditindak lanjuti oleh Jaksa Agung sampai tingkat pengadilan HAM. Tiga kasus tersebut adalah peristiwa Timor-Timor, Tanjung Priok dan Abepura.
Namun alih-alih menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tersebut, Pemerintah kini masih tetap mengirim militer ke Papua. Dugaan pelanggaran HAM di Papua justru ditutupi oleh Indonesia dengan tidak adanya keterbukaan informasi kepada publik.[]