Berikut saya hadirkan satu puisi karya Afrizal Malna:
MESIN PENGHANCUR DOKUMEN
Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa
muda. Makanlah kalau begitu, tolonglah. Tidak. Saya
tidak sedang nasi rames. Masuklah ke kamar mandi
saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar,
kalau bosan makan. Perkenankan aku memberikan
keramahan padamu, untuk seluruh kerinduan yang
menghancurkan dinding-dinding egoku. Bagaimana
aku bisa keluar kalau kamu tidak masuk.
Kamu bisa mendengar kamar mandiku memandikan
tata bahasa, di tangan penggoda seorang penyiar TV.
Perkenankan aku membimbing tanganmu. Masuk-
lah di sini yang di sana. Masakini yang di masalalu.
Masuklah kalau kamu tak suka tata bahasa. Tolonglah
kalau begitu, ganti bajumu dengan bajuku. Mesin
cuci telah mencucinya setelah aku mabuk, setelah
aku menangis, setelah aku bunuh diri 12 menit yang
lalu. Bayangkan tubuhku dalam baju kekosongan itu.
Tolonglah bacakan kesedihan-kesedihanmu:
“Kemarin aku bosan, hari ini aku bosan, besok akan
kembali lagi bosan yang kemarin.” Apa tata bahasa
harus diubah menjadi museum es krim supaya kamu
tidak bosan. Tolonglah. Semua yang dilakukan atas
nama bahasa, adalah topeng api. Pasar yang
mengganti tubuhmu menjadi mesin penghancur
dokumen. Tolonglah, aku hanya seseorang dalam
prosa-prosa seperti ini, seorang pelancong yang
meledak dalam sebuah kamus. Sebuah puisi murung
dalam mulut mayat seorang penyair. Tolonglah, tidurkan
aku dalam kesunyianmu yang tak terjemahkan.
Mesin penghancur dokumen yang sendirian dalam
kisah-kisahmu.
Jika hanya inversi model Afrizalian itu, yang anehnya kemudian banyak dianggap sebagai inovasi puitik oleh para pemujanya, lalu dengan kelewat percaya diri Afrizal Malna kemudian menawarkannya sebagai “jalan baru bagi estetika puisi dunia”, maka dengan sangat menyesal mesti saya katakan bahwa kesalahpahaman tersebut sungguh amat layak menjadi bahan tertawaan para sastrawan dunia.
Jujur saya akui membuat racauan seperti racauan-racauan karya Afrizal Malna yang katanya “inovatif” itu bagi saya sangatlah gampang. Untuk membuat racauan-racauan seperti yang saya buat di bawah ini, saya hanya butuh dua menit menuliskan satu racauan secara otomatis dan dua menit mengeditnya. Saya sudah sering membuat racauan-racauan seperti itu, sebagai latihan saja, tapi saya tidak bilang itu puisi–apalagi puisi inovatif.
Dalam menulis racauan seperti itu tidak perlu memikirkan apatah kalimat atau klausanya bisa berterima akal atau tidak, tidak perlu prinsip kohesi dan koherensi di dalam puisi, tidak usah pedulikan jukstaposisi dan metafora, buang itu segala anjambemen dan tipografi, tak usah pusing membaginya ke dalam larik dan bait, tidak usah pedulikan irama puitik, tidak perlu memikirkan makna diksi dan kesatuan wacana, tidak usah pedulikan soal harmonisasi majas, abaikan segala teori tentang komposisi, buang itu segala aturan soal tata bahasa, tuliskan saja langsung dari bawah sadar Anda, hantamkan, ledakkan…. dan jadilah sebuah racauan. Sebagai sebuah katarsis hal ini, saya akui, memang sangat menyenangkan. Namun, menganggapnya sebagai sebuah puisi jelas satu kekonyolan.
Berikut beberapa “racauan 2 menit” yang saya tuliskan secara spontan berdasarkan tema yang ditentukan oleh teman-teman FB saya pada satu status saya tertanggal 20 Mei 2015. Saya menuliskan setiap racauan itu hanya dua menit dan membutuhkan dua menit juga untuk mengeditnya, jadi total yang saya butuhkan hanya empat menit untuk menuliskan satu racauan. Secara kualitas racauan-racauan saya ini boleh diadu dengan “puisi-puisi yang katanya inovatif” karya Afrizal Malna. Jika selera Anda akan parodi cukup baik, maka Anda akan mengerti maksud kalimat terakhir saya di atas.
RACAUAN 2 MENIT TANPA KATA KERJA
Hari ini saya sedang bir hitam. Selalu saja kebebasan seharga 12 perak. Hidup adalah payung sedikit pahit. Tebing itu sedikit hijau. Hari ini saya sedang singkong rebus. Ini agak aneh juga, kenapa singkong rebus bisa sedikit bir hitam. kenapa tidak sedang bir pletok? Tapi, Tuan pastilah angin, bukan? Angin tidak sedang bir pletok, sebab sudah wortel. Pagi ini saya adalah kentang tumbuk di dalam pesawat Garuda Airlines, juga kepalamu. Dari sini, saya sedikit hitam, sedikit langit, kemarin malam. Selamat jauh… Saya bukan ulang tahunmu. Saya hanya sedih karena bukan ulang tahunmu. Saya harus jauh, katamu. Saya tanpa kata kerja, kataku. Baiklah, katamu. Terima kasih, kataku. Saya hanya sedih dan mungkin kesedihan akan selalu seperti kata sifat yang jauh.
—————————————
RACAUAN 2 MENIT BUAT WAHYU SINEBAR
A adalah B. Saya sedang latihan membaca. Sedang membaca masa kecil saya sebelum bahasa. B adalah bahasa, tapi pasar juga bahasa. Selalu pasar jadi 3 menit di kamar mandi. Bersama wastafel yang sendiri. Bahasa belum air mata, Wahyu. Bahasa hanya adalah. Saya adalah bahasa di dalam busa sabun mandi. Tapi mandi sedang bermain congklak, juga taplak, di dalam sepatu sekolahmu. Big boss yang lusuh itu. Seperti masa lalu yang sepi. Dan kini masa kecil menjelma bayang-bayang hujan 13 menit. Saya sedang bermain dengan bayang-bayang masa kecil itu, masa depan saya yang lain. Di sini kami adalah C. C yang kehilangan masa lalu. C yang menjelma cicak, cabe rawit, combro dan, mungkin juga, sedikit Cica Kuswoyo. Di mana penyanyi masa kecil kami itu, Wahyu? Apakah ia masih menyanyikan sedikit delman plus sedikit kuda yang sedikit plak-plak-plak itu? Tapi di sini, saat ini, saya nampak sedang menatap D. D dari masa lalu yang sepi. D yang sendiri. D yang diam di dalam sepatu big boss yang teronggok di sudut kamarmu. D yang selalu berdiam di dalam hatimu, D yang (juga) adalah mimpimu. Jangan bangunkan saya, Wahyu. Saya sedang sedikit di situ.
—————————————
RACAUAN 2 MENIT BUAT GAFUR
Apakah lelah itu tikungan 12 malam? Saya tidak sedang jam, tentu, tak ada lagi jam malam dari masa lalu kolonial itu. Segalanya adalah raung sedih tanpa gramatika, kecuali garam dapur dari masa depan yang hujan. Apa arti hujan bagimu, ya, hujan yang gaduh itu, yang jauh itu? Kesunyian di bawah rak sepatu, malam yang membisikkan Hegel, juga kegilaan pikiran. Kami sedang domino, kami sedang catur, kami sedang bir hitam, sedikit saja. Kami tak perlu kata kerja apa pun. Kami generasi yang hening dalam kata kerja yang mengigil. Aku adalah saya, sepotong permainan dalam kata-kata–kosong semata, anteseden dari segala yang tertib, yang licin, yang mulus seperti betis gadis 17 tahun itu, yang terbakar itu, merayap di bawah kerut keningmu. Kami tak ingin tata bahasa, kami ingin luka, lebih jauh ke hamparan bunga-bunga kana, tidak, lebih jauh lagi, mungkin ke dalam laut, atau ke langit yang paling gelap–mencari identitas kami yang tak pernah ada. Saya sedang tidur, jangan mimpikan saya, Gafur.
—————————————
RACAUAN 2 MENIT BUAT AWAN TARIGAN
Saya bukan awan, saya hanya hujan di dalam lemari tua itu. Angin yang tak bisa menebak arah pikiranmu, meski tak ada, tak ada angin atau hujan atau debu dalam pikiranmu, hanya langit atau cakrawala. Selalu saja gelap membuat sedang tak bisa kembali, tapi, apakah sedang yang tak bisa kembali itu, apakah kembali yang tak bisa sedang itu? Kami mungkin ladang di dalam matamu, kami bukan pak tani dan kancilnya yang pemalu, pula masa kecil yang dingin itu, seperti di sini yang selalu di situ. Kami hanya hujan tanpa awan, atau, mungkin, bukan-awan. Kami berputar seperti siklus yang tak kami sadari, kami hanya sekedip dugaan di bawah lemari tua, juga kira-kira yang kehilangan sapu tangan itu. Jangan pikirkan saya, Awan, jangan rasakan saya.
—————————————
RACAUAN 2 MENIT BUAT RAIHAL
Berapa harga secangkir kopi Ulle Kareng itu, Raihal? Ah, kopi yang jauh tak lagi menyisakan sejarah kolonial. Seperti sebuah danau di tengah daratan yang sepi, dari masa silam yang tak terjangkau. Apa arti masa silam ini, selain sepotong hikayat, atau tomat yang tak bisa dipetik kecuali oleh gelap yang lain, keinginan yang memendam batu-batu di bawah sepasang telapak kaki tak dikenal, jalan yang senyap itu? Kita tak perlu kembali, katamu. Ya, kataku. Kita selalu di sini, katamu. Juga di sana, kataku. Rasa pahit itu masih sepanas dulu, Raihal, di tengah secangkir kopi itu. Masih sedikit jauh, di luar segala yang dikenal, tak ada tangan yang akan mengingat sejarah kopi sebelum jam 13 malam. Kenangan adalah sejarah yang mencoba kekal di dalam sepasang tangan lelah ini, mencoba meraih secangkir kopi yang tak pernah ada. Saya tidak sedang bangun, Raihal, saya hanya sebutir cemas yang menggigil di situ, seperti masa lalu yang tak pernah terbangun di dalam serbuk kopi itu, di dasar cangkirmu.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>