3/
Sekarang, bagaimana kita mengenali dengan tepat apa yang dimaksud inovasi atau invensi puitik itu? Saya akan memberi contoh-contoh yang bisa dikaji lebih jauh dalam konteks seni. Begini:
Di dalam sejarah seni rupa modern dunia pada awal abad ke-20, ada hal substansial terkait warna. Di kalangan para pelukis klasik atau neoklasik, bahkan di kalangan para pelukis impresionisme sendiri, pada akhir abad ke-19, warna masih dianggap merupakan bagian dari realitas, representasi visual dari bentuk. Tetapi, satu kelompok pelukis muda di Eropa, khususnya di Prancis, mulai meninggalkan praktek-praktek konvensional terkait persoalan warna dalam lukisan. Kelompok seniman itu amat dipengaruhi oleh tokoh-tokoh pascaimpresionis seperti Paul Cezanne, Vincent van Gogh, dan Paul Gauguin. Dipimpin oleh Henri Matisse, mereka dikenal sebagai “fauves”, atau “binatang liar”, dan aliran seni lukis mereka dikenal sebagai fauvisme. Istilah fauvisme sendiri diperkenalkan oleh Louis Vauxcelles saat mengomentari pameran Salon d’Automne dalam artikelnya untuk suplemen Gil Blas edisi 17 Oktober 1905, halaman 2.
Para pelukis fauvisme itu berani menggunakan warna-warna cemerlang secara tak lazim, dalam arti tak meniru “logika” dari warna alam, warna “yang realis” itu, tetapi memasukkan unsur emosi ketika memosisikan secara kontras warna-warna dalam kanvasnya. Misalnya, menempatkan warna merah pada gunung, warna kuning pada laut, dan warna biru untuk batang pohon. Sementara para pelukis klasik dan neoklasik atau impresionisme menggunakan warna sebagai deskripsi dari suatu objek, para pelukis fauvisme membiarkan warna itu sendiri menjadi subjek dari lukisan. Warna bukanlah diskripsi dari bentuk suatu objek, tetapi adalah esensi dari bentuk itu sendiri. Dengan kata lain komposisi warna dalam lukisan fauvisme berupaya mencari sebuah ekspresi yang unik dalam hubungan keseluruhan antara berbagai aspek komposisi pada satu lukisan. Gerakan seni lukis fauvisme ini, meski hanya berumur singkat, telah membuka jalan bagi banyak aliran seni lukis modern dunia seperti ekspresionisme abstrak, neoekspresionisme, surealisme, dll.
Bagaimana dengan puisi? Di dalam konvensi puisi, majas perbandingan, seperti metafora misalnya, masih dianggap sebagai “deskripsi” dari ide (gagasan, tema, pesan, atau topik). Oleh sebab itu syarat dari membuat majas perbandingan yang baik ialah adanya kemiripan antara topik (ide) dengan “kendaraan metaforik” atau bentuk dari gaya bahasa yang hendak diungkapkan. Kemiripan itu merupakan keharusan. Karena itu dikatakan fungsi metafora (termasuk majas perbandingan lainnya) adalah untuk membuat gagasan yang abstrak menjadi konkrit. Hal ini berarti metafora hanyalah fungsi dari gagasan semata. Metafora hanyalah “deksripsi dari gagasan” belaka. Metafora bukanlah subjek puitik, metafora hanyalah keterangan dari subjek (yang berarti predikat) dan sama sekali bukan subjek itu sendiri. Itulah konvensi yang diterima secara akademis terkait metafora atau majas perbandingan lainnya.
Pertanyaannya, bagaimana bila metafora atau secara lebih umum majas perbandingan atau secara lebih luas lagi seluruh jenis majas, baik perbandingan maupun pertentangan, adalah subjek puitik itu sendiri dan bukan lagi “predikat” dalam satu komposisi puitik? Bagaimana bila subjek puitik itu bukan lagi sebuah gagasan, sebuah pesan ideologis atau filosofis atau politis atau spiritual atau religius tertentu, tetapi adalah emosi itu sendiri—tepatnya rasa “haru” itu sendiri? Jawaban atas pertanyaan ini mungkin akan menjadi sebuah inovasi dalam puisi. Tak ada inovasi dalam puisi tanpa pemahaman yang benar terhadap konvensi puisi.
Sebuah lukisan kolase guntingan kertas karya pelopor fauvisme dari Prancis, Henri Matisse, berjudul “The Fall of Icarus”, dengan puitis melukiskan presensi dari keharuan itu. Ketika sayap-sayap Icarus terbakar oleh cahaya matahari, ia pun terjatuh dari angkasa. Namun, ketika jatuh dari keluasan angkasa itulah hati Icarus justru menyala, menjadi bintang merah. Warna merah menyala dari hati Icarus merupakan ekspresi dari emosi. Warna merah adalah subjek dari emosi itu sendiri, dan bukan deskripsi dari bentuk hati Icarus atau bentuk bintang. Hal yang senada juga dapat dibaca dalam puisi Iswadi Pratama (penyair dan sutradara teater dari Lampung) yang berjudul “Amadeus: Lacrimossa” dalam kumpulan puisi “Harakah Haru” (April 2015), berikut ini:
AMADEUS: LACRIMOSSA
bukit-bukit es, jalanan berangin
empat lelaki menguburmu tanpa requiem
sebuah sekop berkarat di tepi
salju diseduh sedih di pangkal pagi
di lembar-lembar partitur itu
mengering luka bekas perihmu
di dinding-dinding kota Wina
nyaring tawamu tak lagi menggema
toksin menggerusmu hari demi hari
seperti sebuah nada terhapus dari komposisi
Salieri, Salieri…
“bila Tuhan tak memberkati, kupilih berkatku sendiri”
Subjek puitik dalam puisi ini bukanlah “Amadeus Mozart” atau “Antonio Salieri”, sang “-ku” atau sang “-mu”, dua komponis besar di Wina pada abad ke-18 yang saling berseteru, melainkan “rasa haru” untuk keluar dari sebuah situasi batas—bisa kematian, bisa kegagalan, atau pahitnya penderitaan hidup, atau, mungkin juga, kegelapan dari religiusitas itu sendiri. Keharuan itulah yang menjadi subjek puitik, menjadi latar-sugestif yang memecah dirinya ke dalam aku-lirik, aku-objek, maupun aku-pembaca di dalam puisi Iswadi Pratama ini. Rasa haru itulah yang menjadi “warna” dari puisi ini, sebuah subjek puitik yang liar namun mampu membangkitkan simpati, setara dengan warna merah dari hati Icarus yang tengah melayang jatuh ke laut di dalam lukisan kolase Henri Matisse, warna keharuan yang menyala dalam banyak puisi-puisi Iswadi Pratama, warna yang kini mungkin telah mendingin dalam banyak puisi-puisi modern atau kontemporer pada abad ke-21.
Lebih jauh lagi, puisi Iswadi Pratama tersebut berhasil keluar dari “jebakan” melankoli (yang seolah telah menjadi semacam konvensi dalam puisi lirik di Indonesia), karena puisi ini berhasil menempatkan keharuan sebagai subjek puitik menjadi persoalan situasi batas eksistensial yang mengajak pembacanya mengalami transendensi: “bila tuhan tak memberkati, kupilih berkatku sendiri”. Tentu saja, pernyataan itu (pernyataan siapa: Amadeus Mozart atau Antonio Salieri?) bukanlah ekspresi transendensi yang biasa. Dengan kata lain, berhasil atau tidaknya “ajakan” dari penyataan puitik tersebut, tergantung pada tingkat kesadaran pembaca puisi ini.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>