4/
Sekarang, saya akan berikan contoh inovasi lainnya terkait sintaksis puitik. Perhatikan kalimat berikut ini dan perhatikan juga argumentasinya:
“Dingin membuka jendela kamarmu.”
Apa makna kalimat di atas? Apakah dingin yang merupakan kata sifat dari benda itu, atau metafora dari perasaan yang dingin misalnya, bisa dipersonifikasikan menjadi subjek? Tidakkah subjek dari personafikasi itu haruslah kata benda juga (baik konkrit maupun abstrak), bukannya kata sifat? Bagaimana mungkin kata sifat bisa menjadi subjek setelah dipersonafikasi?
Namun, hal tersebut tidaklah serumit yang dibayangkan. Sintaksis puitik di atas adalah salah satu dari jenis sintaksis impresionistik. Kata benda yang menjadi subjek (misalnya kata ganti diri “kau” atau kata benda “tangan” atau “angin”) dikaburkan dengan hanya menghadirkan impresi sifat dari kata benda itu saja, “dingin” itu saja. Bila hendak dihadirkan secara utuh, maka kalimat di atas akan menjadi kalimat berita biasa atau kalimat yang mengandung majas personifikasi belaka atau, bisa juga, kalimat yang bernuansa sastra gothik atau realisme magis. Misalnya: “sepasang tangannya yang dingin membuka jendela kamarmu” (kalimat berita biasa); atau, “angin dingin itu membuka jendela kamarmu” (kalimat yang mengandung majas personafikasi); atau, “tatapan dinginnya tiba-tiba membuka jendela kamarmu” (kalimat yang mengandung nuansa sastra gothik atau realisme magis). Namun, ketika hanya sifat “dingin” dari “tangan” atau “angin” atau “tatapan mata” yang dihadirkan, maka kalimat itu menjadi sintaksis impresionistik: “Dingin membuka jendela kamarmu.
“Apa tujuan dari “pengaburan subjek” dalam sintaksis puitik impresionis itu? Apakah hanya untuk menciptakan kegelapan? Tentu saja tidak. Kekaburan dalam sintaksis impresionistik tidaklah dimaksudkan untuk menciptakan kegelapan, tetapi untuk membuka ruang persepsi yang lain dalam benak pembaca, di mana subjek sintaksis puitik itu tidak mesti suatu subjek tunggal yang solid, yang telah pasti, seperti kata benda itu, tetapi juga bisa hanya sifat dari kata benda itu sendiri untuk menunjukkan suatu “proses”. Dengan demikian subjek puitik menjadi terbuka untuk menghadirkan berbagai kemungkinan subjek yang lain di dalam sintaksis puitik, misalnya subjek-subjek yang diciptakan oleh pembaca di dalam benaknya.
Dengan demikian, kata sifat, jenis kata yang amat ditakuti oleh sastrawan Mark Twain itu, telah diberikan tempat yang sejajar dan sama pentingnya dengan jenis kata lainnya dalam sintaksis puitik impresionis.
Konsep sintaksis impresionistik ini saya temukan dan rumuskan pada awal bulan April 2015 setelah saya membaca soal kata sifat yang merupakan “presensi kata benda” dalam bahasa Sansekerta, sebab dalam bahasa Sansekerta memang tak dikenal jenis kata benda yang terasing dari benda lain atau lingkungannya. Kata sifat merupakan “proses” yang ditangkap oleh persepsi inderawi terhadap benda-benda di sekitarnya.
5/
Sering kali dunia sastra kita (terutama yang bergenre puisi) melupakan hal-hal mendasar dalam ilmu bahasa sebagai media ekspresi seninya. Contoh, banyak yang mengklaim dirinya sastrawan atau penyair di Indonesia, tapi tak paham hal-hal mendasar dalam ilmu bahasa (linguistik). Salah satunya adalah soal sintaksis.
Puisi pada dasarnya adalah sintaksis (ilmu tentang kalimat dalam linguistik). Satuan dasar dalam puisi adalah “sintaksis puitik”, bukan kata. Sintaksis puitik dapat berupa frasa, klausa, dan kalimat. Pertama, seorang penulis puisi harus tahu dan terampil bagaimana menyusun sintaksis dengan benar. Kedua, barulah setelah itu seorang penulis puisi belajar membuat “sintaksis puitik” dengan tepat. Bukan seperti yang dicontohkan Afrizal Malna dalam racauan-racauannya yang diklaim sebagai inovasi dengan basis kesalahan sintaksis puitik.
Salah satu buku linguistik terbaik dalam bahasa Indonesia ditulis oleh Prof. Abdul Chaer, judulnya adalah “Sintaksis Bahasa Indonesia: Pendekatan Proses”. Buku ini tak hanya memindahkan teori sintaksis dari Barat, tetapi juga telah menerapkannya dalam konteks bahasa Indonesia.
Jadi, jangan omong yang besar-besar dulu soal hakikat seni, estetika, atau pendekatan pascastruktural kalau membuat kalimat saja tidak benar alias ngawur. “Licentia Poetica” tidak lahir dari ketidakpahaman hal-hal mendasar, apalagi kengawuran, tetapi lahir sebagai sebuah “kreativitas” dari bentuk-bentuk yang telah ada di dalam puisi.
Yang diandalkan di dalam racauan bukan koherensi atau kohesi secara teoritis, tapi kejutan-kejutan. Inovasi–baik dalam seni maupun sains–bukanlah kejutan. Namun, “konsep” yang berhasil dibuktikan. Kejutan dalam inovasi hanyalah efek sekilas akibat kita tidak akrab dengannya, tapi yang justru penting adalah “pembuktiannya”. Racauan bukanlah inovasi, karena racauan tak akan bisa “dibuktikan”.
Kenapa seni yang tak bertolak dari konsep, dari konvensi (inovasi baru ada setelah konvensi ada), disebut racauan? Karena racauan memang tak akan bisa dibuktikan. Kenapa? Karena senimannya sendiri tak tahu apa itu konsepsi artistik. Seniman di Indonesia senangnya buat yang aneh-aneh, senang sekali buat kejutan, padahal kejutannya itu lahir dari ketidakpahaman akan konvensi alias kengawuran.
“Goblok saja tidak cukup untuk menjadi penyair di Indonesia!” Itu mesti jadi semboyan baru dalam dunia puisi Indonesia kontemporer bila ingin maju.
————————————————————
Prosa @ Ahmad Yulden Erwin, Mei 2015
————————————————————