More

    Gerakan Mahasiswa:  Potret Gerakan Perubahan Civil Society di Indonesia

    Foto: Lukman Hernawijaya

    “Tugas utama kaum terdidik di Indonesia salah satunya mahasiswa dan pelajar seperti yang disebutkan dalam UUD 1945 alinea keempat berbunyi “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.  Sejarah membuktikan bahwa kelompok-kelompok terdidik atau terpelajar inilah yang kelak semakin menyadari, perubahan sosial yang mendasar khususnya di era Orde Baru sulit dilakukan jika hanya bertumpu kepada gerakan moral sebagaimana yang pernah ditulis Soe Hok Gie dalam “Catatan Harian Seorang Demonstran”.

    Kaum terdidik seperti halnya mahasiswa dapat menjadi bagian civil society sebagai kekuatan tengah yang berperan untuk memastikan demokrasi bekerja, agar agenda publik menjadi satu-satunya agenda yang mengisi penyelenggaraan kekuasaan negara, maka civil society merupakan salah satu aktor utama dalam merasionalisasi dan menguatkan kembali solidaritas yang tergeser oleh sistem. Mahasiswa Indonesia yang memiliki tanggungjawab  besar “moral force” harus mampu menjawab tantangan kekinian yang timpang berupa perannya di tengah masyarakat vis a visnegara.

    Sejarah Gerakan Masyarakat Sipil di Indonesia

    - Advertisement -

    Sejarah munculnya gerakan Masyarakat Sipil (Civil Society), muncul di tengah tumbuhnya kapitalisme di Tanah Air di masa kolinial Hindia – Belanda melalui pendirian berbagai organisasi massa dan asosiasi-asosiasi masyarakat diantaranya: Syarikat Dagang Islam (SDI), Syarikat Islam (SI), Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dll. 

    Kesadaran berbagai tokoh masyarakat dan mahasiswa sebagai kaum terdidik di Indonesia sendiri muncul akar-akarnya sejak menguatnya semangat kebangsaan di Tanah Air pada masa Kolonial Hindia – Belanda 1908,  dan mahasiswa Indonesia yang belajar di Luar Negeri yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI) seperti M. Hatta, Iwa Koesumasoemantri, Sutan Sjahrir dll tahun 1926 dan munculnya ikrar kebangsaan berupa Sumpah Pemuda Pada tahun 1928.

    Keduanya antara Gerakan Masyarakat Sipil dan Gerakan Kaum terdidik tidak terpisahkan karena kondisi obyektif sejarah akan pentingnya perubahan social dan politik yang timpang di Tanah Air, menuntut keterlibatan mereka selaku kaum terdidik yang memiliki kesadaran sosialnya tinggi,  hingga berujung pada kesadaran akan pentingnya kemerdekaan Hindia-Belanda menjadi sebuah Bangsa dan Negara yang merdeka dan berdaulat dari kolonialisme Belanda yang telah berlangsung selama 350 tahun. 

    Pada masa iklim kemerdekaan beberapa fase krusial gerakan mahasiswa telah menjadi bagian dari gerakan Civil Society di Indonesia yang telah menorehkan sejarahnya yang pasang-surut diantaranya:

    Pertama, Gerakan Mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) dan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI) Tahun 1966 Menuntut Tritura : Pembubaran PKI, Pembersihan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur G30S, dan Turunkan harga yang mengawali berakhirnya era Orde Lama pimpinan Presiden Soekarno.

    Kedua, Gerakan Mahasiswa Tahun 1974 Menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru Baru di tahun 1972 yang dinilai sarat manipulasi; gerakan protes terhadap pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di tahun 1972 yang dinilai pemborosan anggaran, tidak jelas pertanggungjawabannya dan menggusur tanah rakyat; isu korupsi yang merajalela; serta isu dominasi modal asing, terutama Jepang

    Ketiga, Gerakan Mahasiswa Tahun 1978 Menolak Depoliisasi Kampus oleh Pemerintahan Orde Baru melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Jusuf juga mengontrol mahasiswa dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK).

    Keempat, Gerakan Mahasiswa Tahun 1980-an :

    • Advokasi persoalan rakyat khususnya konflik Tanah Petani vs Negara, 
    • Menolak Penggusuran Lahan Rakyat atas nama Pembangunan
    • Advokasi Iklim Perburuhan (Upah, Jam Kerja, Serikat Buruh)
    • Munculnya kelompok-Kelompok masyarakat sipil (Civil Society) kritis melalui pendirian berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM/OrNop/NGO) sebagai elemen pendukung advokasi masyarakat, dintandai kemunculan Skephi, YLBHI, KPA, Gerakan Perempuan dll.
    • Dalam pandangan umumnya gerakan mahasiswa dari generasi 80-an, perubahan sosial hanya mungkin dilakukan dengan meleburkan diri bersama rakyat. Mereka inilah yang akhirnya menanggalkan jaket almamater dan memilih membangun gerakan politik di tengah-tengah rakyat sebagai motor perubahan sosial.

    Kelima, Gerakan Mahasiswa Tahun 1998 menuntut Reformasi:

    Hemat penulis, Gerakan Mahasiswa 1998 pada saat itu menolak disebut “hanya” sebagai gerakan moral (moral force),akan tetapi lebih condong  menyatakan diri sebagai “Gerakan Politik yang dilandasi Moral”. Perjuangan diarahkan pada isu menumbangkan sistem Otoritarianisme Orde Baru dan keinginan mewujudkan masyarakat demokratis yang selama ini di dominasi oleh militer dan kroni-kroni Soeharto dalam penguasaan ekonomi, namun gerakan tidak ditujukan untuk merebut atau mengambil bagian dari kekuasaan.  Dipicu oleh krisis moneter yang parah akibat beban hutang dan campur tangan IMF atas krisis yang terjadi, pembungkaman opisisi dan penculikan aktifis pro-demokrasi, maka mahasiswa dan elemen-elemen rakyat bersatu dan berhasil:

    • Menurunkan kekuasaan Orde Baru yang dipimpin Presiden Soeharto 
    • Menolak Dwi Fungsi ABRI/TNI (Tentara sebagai Kekuatan Politik dan Pertahanan Negara)
    • Menghapus Paket UU Politik (UU Kepartaian, Undang-Undang Pemilu dan Presiden)
    • Menuntut Terbentuknya Pemerintahan Transisi Demokratis melalui Pemilu segera
    • Dan berbagai turunan tuntutan aksi termasuk mensita asset kekayaan Soeharto, Keluarga dan kroni-kroninya.

    Gerakan Mahasiswa Angkatan 2022:  Meneruskan Agenda Reformasi 1998.

    Maraknya pergerakan sosial di di tanah air dapat dipandang sebagai bentuk pengejawantahan demokrasi yang sebenar-benarnya. Maraknya pergerakan sosial belakangan ini juga dapat dipandang karena penguasa condong tidak mendengarkan konstituennya. Rakyat hanya dibutuhkan suaranya hanya saat akan dilangsungkannya perhelatan Pemilu (Pileg, Pilkada dan Pilpres). Kompas pada tanggal 15 Februari 2022 mengangkat Skor Index Demokrasi Indonesia membaik menurut The Economist Intellegence Unit (EIU) dengan skor rata-rata 6,71, dengan peringkat 52 di dunia. Penilaian ini tentunya mengkhawatirkan, namun tantangan dalam memperbaiki kualitas demokrasi masih besar, karena Indonesia berada di kategori “demokrasi cacat”. Demokrasi cacat menurut Pengamat Politik Universitas Andalas, Namuddin Rasul, adalah memiliki system pemilu yang bebas dan adil, serta menghormati kebebasan sipil dasar, namun masih memiliki masalah fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang anti kritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal. Perlindungan kebebasan sipil, independensi lembaga yudisial, serta keselarasan kebijakan pemerintah dan kehendak public diharapkan bisa memperbaiki kualitas demokrasi. (Republika,21 Februari 2022)

    Munculnya Gerakan Mahasiswa tahun 2000-an dan Masyarakat Sipil mulai bangkit kesadarannya, terutama dalam memandang kebijakan negara atas beberapa rancangan perundang-undangan yang dianggap tidak mengakomodir dan mengesampingkan keinginan public saat itu.  Beberapa isu yang muncul dan pernah menjadi demonstrasi yang cukup besar dan massif diantaranya

    1. Aksi menolak revisi rancangan dan keputusan Undang-Undang KPK
    2. Aksi Mahasiswa Menolak Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law)
    3. Aksi warga  menolak alih fungsi Tanah di Wadas, Jawa Tengah
    4. Aksi Warga Adat atas Kerusakan Lingkungan di Kalimantan 
    5. Aksi terkini dan masih hangat adanya penolakan terhadap wacana Penundaan Pemilu 2024 dan Penambahan Periodesasi Jabatan Presiden menjadi 3 Periode, ditambah isu Mendesak Pemerintah dan Partai Politik fokus pada penyelesaian kondisi ekonomi yang carut marut akibat kenaikan harga bahan pokok dan bahan bakar yang sampai saat ini masih tak terkendali.

    Beberapa isu ini mahasiswa menyuarakan istilah “reformasi yang dikorupsi”, mahasiswa dan beberapa kelompok civil societyseperti Indonesian Corruption Watch(ICW),  berbagai cendikiawan dan akademisi memandang  berbagai keputusan-keputusan eksekutif dan legeslatif dalam persoalan politik dan ekonomi dianggap tidak mencerminkan cita-cita dan semangat Reformasi 1998, bahkan dianggap mengalami “Kemunduran Demokrasi” di Tanah Air. 

    Beberapa isu yang disuarakan Mahasiswa Angkatan 2022 ini cukup mengesankan, mengingat aksi mereka tidak sejalan dengan para elit politik mainstream, bahkan sangat mengesankan orisinilitas gerakannya, sehingga dalam banyak kesempatan para senior mereka, terutama yang terlibat dalam Gerakan Mahasiswa 1998  baik di daerah maupun di pusat banyak yang mendukung arah perjuangan Gerakan Mahasiswa 2022 ini.

    Epilog: Gerakan Mahasiswa sebagai Ikhtiar Penguatan Gerakan Masyarakat Sipil 

    Pasca jatuhnya Orde Baru pada 1998, gerakan civil society di Indonesia pun menjamur. Pasca reformasi, jumlah civil society memang bertambah pesat. Hanya saja, hal ini belum bisa dijadikan ukuran kualitas civil society itu sendiri. 

    Reformasi yang dianggap sebagai kemenangan civil society juga menghasilkan ekses yang buruk bagi demokratisasi itu sendiri. Terlibatnya preman, paramiliter, dan kaum ekstremis (bad civil society) pada peristiwa pengerahan Pam Swakarsa menjelang Sidang Istimewa MPR/DPR RI 1999, Peristiwa Konflik Antar Suku di Ambon, Sampit dan Poso telah menciptakan konflik horizontal dan menghambat upaya demokratisasi itu sendiri. 

    Dalam banyak peristiwa kebebasan berpendapat digunakan untuk menyerang kelompok yang berbeda pandangan politik yang dibungkus dengan agama. Polarisasi lantas mengarah kepada ras dan keturunan imigran.

    Akhir-akhir ini banyak kelompok memanfaatkan kebebasan berkumpul dan berpendapat, menyerang kelompok-kelompok yang berbeda pandangan politik dibungkus agama. Kondisi itu dimanfaatkan oligarki (persekutuan pemodal dan kekuasaan) untuk membiayai aktivitas mereka dan membeli suara para pemilih.

    Polarisasi kemudian mengarah kepada ras dan keturunan imigran. Label buruk yang sebelumnya dilekatkan pada keturunan Tionghoa, kemudian beralih ke Arab misalnya, karena beberapa ulama keturunan Arab memanfaatkan agama untuk menyerang lawan politik. Tak pelak kondisi ini menumbuh kembangkan pula polarisasi kelompok kanan fanatik dan liberal fanatik. Polarisasi demikian tentunya tidak diharapkan dalam perkembangan demokrasi Indonesia, terutama sejak pengalaman kampanye Pilpres 2014 dan 2019 yang lalu, masyarakat seperti digiring kedalam polarisasi politik identitas, istilah dan pilihan yang tidak sedap seperti cebongdan kampret, bahkan istilah kadrun.

    Berbagai persoalan ini tentunya menjadi perhatian gerakan masyarakat sipil (civil society)terutama mahasiswa untuk lebih memfokuskan pada:

    1. Menjaga kualitas demokrasi berupa kontrol terhadap jalannya kekuasaan, gerakan harus  menghindari “demokrasi kosong” dimana pelibatan publik terhadap kebijakan negara tidak diabaikan. Aksi mahasiswa tidak diarahkan untuk “menumbangkan kekuasaan” tapi kritik untuk memperbaiki jalannya kekuasaan. Beberapa peristiwa dimana masyarakat sipil yang melakukan riset ilmiah dan mengungkapkan hasil kepada public tidak berakhir pada tindakan pemidanaan, namun riset ilmiah seharusnya dijawab dengan riset ilmiah.
    2. Mendorong peningkatan kebebasan pers, Membiasakan budaya politik yang menerima kritik, partisipasi politik warga yang meningkat, mendorong kinerja pemerintah yang optimal. Perlindungan kebebasan sipil, independensi lembaga yudisial.
    3. Konsistensi arah gerakan terhadap isu Perubahan Sosial dan Penguatan Kelembagaan Masyarakat Sipil, untuk dapat berpartisipasi dalam berbagai kebijakan pemerintah menjadi terbuka lebar dan dirasakan hasilnya oleh masyarakat. 
    4. Gerakan harus mampu keluar dari polarisasi residu Pilpres 2019, sekalipun ajang ini hanya berlangsung 5 tahun sekali, namun dampak ekses-eksesnya dapat merusak kohesifitas social, pluralism, toleransi, persamaan hak dan rasa keadilan.
    5. Gerakan mahasiswa tidak mengambil jarak dengan persoalan-persoalan rakyat (non-elitis) seperti petani, buruh, lingkungan, perempuan dll.
    6. Pentingnya menjaga stamina gerakan,  terus menerus melakukan konsolidasi, membangun jaringan nasional,  kaderisasi berlanjut, dan yang terpenting adalah penguasaan materi isu yang kuat.
    7. Demokratisasi pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan politik tidak bertumpu pada segelintir orang yang memiliki akses kekuasaan (Oligarki).

    “ Sepanjang kelas-Negara eksis, maka masyarakat yang teratur tidak akan bisa eksis, 

    lebih daripada metaphor” Antonio Gramsci (Catatan –Catatan Politik).

    Penulis: Lukman Hernawijaya, pemerhati masyarakat sipil.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here