More

    Tersesat di Tengah Pandemi

    Oleh: Andrezal*

    Andrezal, mahasiswa Fisip Universitas Andalas. (ist)

    Covid-19 telah membuat kehidupan manusia mengalami perubahan besar. Bagi orang optimis  ini adalah loncatan peradaban besar, bagi pebisnis ini adalah keuntungan besar, bagi orang kelas menengah ke bawah ini adalah kiamat besar. Orang-orang dipaksa untuk melanjutkan hidup secara terisolasi jauh dari masyarakat untuk secara langsung melakukan interaksi sosial, meningkatkan konsumsi energi dan makanan serta memperbaharui alat komunikasi yang lebih canggih untuk melanjutkan gaya hidup era pandemi, hidup yang lebih “canggih”. Maka tidak heran perusahaan internasional yang bergerak di bidang makanan, energi, teknologi dan farmasi mendapatkan keuntungan yang besar, menurut laporan Oxfam. Kita sekarang dikenalkan dengan istilah profiting from pain merujuk pada tindakan mencari keuntungan dalam kesulitan, itu banyak terjadi di masa sulit ini, menggugat moral kita. 

    Perubahan ini tentu juga berdampak pada kehidupan kampus, perguruan tinggi yang diharapkan menjadi media atau sarana pembelajaran bagi masyarakat untuk memperdalam ilmu mereka juga dipaksa untuk mengikuti era pandemi. Kelas-kelas kampus yang sering sesak karena pertambahan jumlah mahasiswa, sekarang menjadi terisolasi. Kelas dipindahkan ke dalam laptop, ke dalam handphone menjadi semakin sesak bahkan hanya untuk satu orang. 

    - Advertisement -

    Kehidupan kampus yang semacam itu membuat gairah akan pendidikan rasanya semakin menurun tidak hanya terjadi pada saya namun juga pada teman-teman yang saya perhatikan, mungkin juga pada mahasiswa se-Indonesia. Saya sebagai mahasiswa semester enam dilabeli dengan “mahasiswa pandemic” karena sudah dua tahun bertapa di rumah, menuntut ilmu di era yang semakin “canggih” dan sebentar lagi akan menjadi “sarjana pandemic” sebuah pencapaian yang tentu bersejarah untuk hidup yang semakin terasa parah. 

    Melanjutkan pendidikan di era pandemic menambah tingkat stress lebih satu tingkat, pertama beban pendidikan, kedua beban lingkungan. Gaya belajar yang ditawarkan lewat Zoom,  Google Classroom, Whatsapp Group, iLearn dan media pendukung lain membutuhkan adaptasi yang berbeda-beda bagi mahasiswa, tugas yang menumpuk, diskusi yang kurang, serta perbandingan jumlah dosen dan mahasiswa yang sangat senjang, 1:50, satu dosen menangani lima puluh mahasiswa bahkan lebih. Pertanyaannya apakah proses pembelajaran yang seperti ini bisa mendapatkan hasil masksimal? Dosen dan mahasiswa sama-sama dihadapkan pada kenyataan baru dan dituntut untuk lebih kreatif. Ini bukan sesuatu yang ideal untuk menciptakan mahasiswa berkualitas, ini lebih terlihat sebagai upaya untuk mengejar kuantitas. Proviting from pain? Mengingat biaya yang dikeluarkan untuk membayar UKT terbilang masih tinggi, walau fasilitas tidak benar-benar digunakan mahasiswa karena pandemi. Mungkin iya, mungkin tidak, antara dosen dan mahasiswa, siapa yang tahu?

    Beban itu juga muncul dari lingkungan rumah, rasanya tidak gagah melihat seorang yang sudah mahasiswa malah berdiam di rumah, untuk satu atau dua bulan mungkin masyarakat maklum, untuk satu tahun, bahkan dua tahun? Banyak dari mereka yang mulai pesimis, mending kerja, lebih jelas. Menggiurkan memang, tapi pada siapa pendidikan akan diserahkan nanti?. Selain itu, saat melihat orang tua bekerja, tidak mungkin kita tidak ikut membantu, mengingat kita berada di rumah walau sedang dalam kondisi kuliah, sebuah dilemma, mana yang lebih utama, membantu orang tua atau ikut kelas yang terasa semakin membosankan?

    Semakin hari pendidikan tinggi di masa pandemi semakin kosong, kamera semakin jarang on, bangun kesiangan, fokus semakin teralihkan, tugas tinggal salin punya teman dan banyak hal lagi yang semakin tidak ideal, hal menakutkan lain adalah bagaimana jika nanti kita offline? Sosialisasi lagi, penyesuaian lagi, dan banyak hal-hal yang akan dimulai dari nol mengingat dua tahun adalah waktu yang panjang, cukup untuk membuat seseorang menjadi orang lain. Biaya yang besar tidak menjamin hasil yang baik, jumlah yang banyak tidak menjamin kualitas yang bagus, hubungan dosen dan mahasiswa hanya formalitas, mahasiswa semakin terasing dari dunia pendidikannya walau biaya, sama saja.

    Sedangkan sebentar lagi mereka akan dihempaskan pada realitas dunia kerja yang kata sebagian senior dan dosen adalah dunia yang kejam, mahasiswa era pandemic akan semakin banyak melahirkan orang-orang sesat atau tersesat, ilmu pas-pasan, ikut organisasi udah ketinggalan, dan defenisi kehidupan lain yang mungkin akan lebih menyedihkan, apakah akan ada lagi bantuan untuk pengangguran? Semoga demikian.

    Padahal idealnya, mahasiswa adalah masyarakat yang memiliki tujuan untuk perubahan dan pergerakan, banyak persoalan bangsa yang perlu untuk diseriusi bersama, dari kemiskinan sampai pendidikan. Pandemi telah berhasil menunjukan wajah pendidikan yang semakin membosankan, pendidikan yang berorientasi pada kuantitas bukan kualitas, tidak heran banyak mahasiwa yang kehilangan arah, mereka semakin mengambang. Maka tidak heran juga jika pendidikan bagi sebagian orang dianggap sebagai bentuk penjajahan, mesin produksi massal, menciptakan komoditas-komoditas yang laku di pasar tenaga kerja kelas bawah. Satu hal yang pasti, ini harus segera diperbaiki. 

    Pada akhirnya, hubungan antara dosen dan mahasiswa perlu  dibangun ulang, mahasiswa harus membakar kembali semangat belajar, harus mampu mencari kesempatan dan memantik semangat dosen untuk melakukan diskusi terbuka, baik secara formal atau tidak. Karena dengan diskusi yang hidup, mahasiswa sebagai generasi penerus bisa terselamatkan dari keterasingan, karena mereka harus diarahkan kembali pada tujuan-tujuan mulia, pada kesadaran-kesadaran kolektif mengenai persoalan bangsa, karena pendidikan adalah dasar dari perubahan, tidak pantas untuk disia-siakan apapun situasinya.  

    * Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas (UNAND).

    - Advertisement -

    7 COMMENTS

    1. Keren tulisannya Bro

      Mewakili perasaan sebagian besar mahasiswa dan juga membantu para dosen memahami realitas yang terjadi pada mahasiswa mereka.

      Tulisan ini juga menggambarkan realitas sosial secara umum dengan cara yang asik…

      Terus produktif dan mengedukasi masyarakat, Bro! ✊

    2. Keren bro tulisannya. Ngewakilin perasaan gue banget di tulisan lu ini bro
      Terus munulis dan terus berkarya bro !!
      Gue tunggu tulisan tulisan dari lo berikutnya !!
      ✌️✌️

    3. I do can relate to this in so many levels! sangat menggambarkan perasaan dan kehidupan yang harus dilalui oleh mayoritas mahasiswa.

      Terus berkarya ya, mas! God bless.

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here