More

    Stoikisme: Solusi Untuk Si Overthinker

    Oleh: Richard Ivander Arli*

    Richard Ivander Arli. (ist)

    Satu bulan yang lalu, Saya mencoba untuk mendaftarkan diri pada suatu beasiswa ke luar negeri. Sayangnya, Saya tidak lolos dan peristiwa itu benar-benar membuat Saya merasa sangat kecewa. Pada saat itu, Saya merasa buruk akan diri sendiri dan menilai diri tidak lebih baik dari teman-teman lainnya. Saya telah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki, tetapi hasilnya berkata lain. Apakah kalian pernah merasa demikian? Berada dalam situasi di mana kalian telah mengupayakan sesuatu, tetapi hasil yang didapatkan tidak sesuai dengan ekspektasi? Jika iya, maka kita berada pada satu kondisi yang sama. Sebagai manusia, kita cenderung berupaya untuk mengendalikan sesuatu yang berada di luar kendali kita. Namun, ketika hal tersebut memberi hasil yang tidak sesuai dengan harapan, di sinilah seringkali memicu seseorang untuk menjadi“overthinker”. Berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar (RisKesDas) yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan Indonesia pada tahun 2018, tercatat sebanyak 11 juta orang yang berusia 15 tahun ke atas mengalami gangguan mental emosional. Angka tersebut setara dengan 11% total penduduk Indonesia saat itu. Tentu, keadaan sebelumnya semakin diperparah pada situasi pandemi COVID-19 dewasa ini. Namun, tahukah kalian bahwa perasaan tersebut dapat dihindari dan dikendalikan? Pada tulisan ini, Saya akan membahas mengenai sebuah filsafat yang dapat dijadikan sebagai solusi atas permasalahan di atas, yaitu stoicismatau stoikisme. Berikut penjelasannya.

    Stoikisme pertama kali muncul di Yunani pada abad ke-3 SM. Filsafat ini secara umum berisi mengenai cara yang dapat dilakukan manusia untuk mengeliminasi perasaan buruk yang seringkali dirasakannya. Filsafat ini dicetuskan pertama kali oleh filsuf Yunani Kuno bernama Zeno. Lalu perkembangan filsafat ini dilanjutkan oleh Chrisippus, Epictetus, dan Cicero yang mana dikenal berasal dari kalangan budak. Selain itu, paham ini juga ikut dikembangkan oleh Marcus Aurelius dan Seneca yang mana mereka berasal dari kalangan bangsawan. Keadaan ini secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa kebahagiaan seorang manusia, terlepas dari status sosial mereka, memiliki satu pendekatan solusi yang sama. Untuk membedah cara mengeliminasi perasaan buruk tersebut, stoikisme membagi dimensi manusia menjadi dua bagian, yaitu dimensi internal dan dimensi eksternal. Dimensi internal mengacu pada sesuatu yang terdapat dalam diri manusia dan dapat dikendalikannya, seperti ekspektasi, emosi, dan respon terhadap suatu hal. Sebaliknya, dimensi eksternal mengarah pada aspek-aspek yang berada di luar kendali manusia. Hal itu dapat berupa pendapat orang lain, hasil yang dicapai, dan segala hal yang sifatnya tidak dapat diprediksi. Nyatanya, manusia seringkali meletakkan fokus dan mencemaskan sesuatu yang berada pada dimensi eksternal tersebut. Di sinilah permasalahan terjadi, di mana secara tidak langsung manusia menggantungkan kebahagiaan mereka kepada sesuatu yang berada di luar kendalinya. 

    - Advertisement -

    Filosofi ini lalu ingin mendorong kita sebagai manusia untuk lebih berfokus terhadap sesuatu yang berada di dalam kendali kita, mengakui batas diri, dan memaksimalkan setiap upaya yang bisa dilakukan. Contohnya pada situasi yang Saya alami sebelumnya, di mana Saya merasa telah mengerahkan upaya terbaik yang dapat dilakukan, tetapi hasil yang didapat nyatanya tidak sesuai dengan ekspektasi. Pada situasi ini, stoikisme ingin kita untuk melihat pada usaha yang telah dilakukan sebelumnya, bukan terhadap hasil yang didapatkan setelahnya. Atau pernahkah kalian berada pada situasi di mana tidak mengharapkan sesuatu terhadap apa yang dikerjakan, tetapi berakhir dengan hasil yang baik? Keadaan itulah yang menurut stoikisme sebagai situasi di mana manusia akan cenderung optimal ketika tidak mengekspektasikan apapun.

    Stoikisme ingin agar kita dapat berfokus pada pengendalian perasaan dalam diri kita. Sejatinya, perasaan-perasaan, seperti senang, sedih, marah, dan kecewa memiliki porsi yang netral dalam diri seseorang. Hal yang membuat perasaan itu bergejolak adalah apa yang terjadi di luar diri kita dan bagaimana reaksi kita terhadap hal tersebut. Tentu, semua orang ingin lolos dalam seleksi beasiswa, mendapatkan nilai yang baik dalam ujian, atau berhasil dalam kariernya, tetapi kita kadang lupa untuk mengapresiasi proses yang telah dilalui. Lakukanlah usaha terbaik yang bisa dilakukan, tidak berekspektasi tinggi, dan tidak menggantungkan kebahagiaan terhadap hasil yang didapat setelahnya. Pemikiran filsafat ini yang sangat relate terhadap kehidupan manusia, terkhususnya remaja, membuat stoikisme sangat berkembang dewasa ini. Dapat kita lihat berbagai video di Youtube, buku-buku, dan berbagai media lainnya yang membahas tentang filsafat ini. Terakhir, Saya berharap tulisan ini dapat membantu teman-teman di luar sana yang mungkin saat ini sedang“overthinking”pada hal yang sama atau hal lain yang terjadi di kehidupan kalian. Setelah membaca tulisan ini, besar harapan agar kalian bisa menempatkan fokus dan emosi terhadap porsi dan hal yang sekiranya tepat. Hal itu sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Marcus Aurelius, “People are not disturbed by things, but by the views they take of them”.

    *Penulis adalah Mahasiswa Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Andalas (UNAND)di bawah bimbingan dosen Virtuous Setyaka, S.IP., M.Si.

    - Advertisement -

    2 COMMENTS

    1. Selamat Bro…

      Lebih produktif lagi menulis ya Bro…

      Dengan menulis akan membuatmu membaca juga, dan merangkainya menjadi analisis yang filosofis dalam dinamika kehidupan hari ini, sangat menarik .

    2. Belakangan memang banyak yang mengikuti stoicism ternyata karena ide yang aliran ini bawa adalah ide yang dibutuhkan saat ini

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here