More

    Kisah Bunda Maria; Spirit Memperjuangkan Kesetaraan Dalam Akses Kesehatan

    Oleh: Mikhail Adam*

    Ilustrasi: crosswalk.com

    Natal memberikan begitu banyak pelajaran bagi orang yang berpikir. Perhatian pada momen Natal lazimnya tertuju pada sosok Yesus, putra Maria yang diberkati. Jika menggeser sedikit perhatian, ada kisah yang penuh makna dan pelajaran berarti lainnya dari kelahiran Yesus dari Rahim suci Bunda Maria. Proses kelahiran yang ditempuh Bunda Maria menghadirkan isyarat, mengenai perjuangan perempuan dalam hal akses terhadap kesehatan dan stigma yang menempel pada diri perempuan. 

    Maria menempuh proses persalinan yang amat berisiko dan penuh perjuangan, konon Maria melahirkan di kandang domba atau lebih tepatnya di dalam gua yang digunakan oleh para gembala sebagai kandang di sekitar Bethlehem. Melahirkan di gua membuat akses apapun terhadap peralatan medis dan perlengkapan bersalin sangat minim. Bahkan sulit dibayangkan. Hal itu tergambar pada proses Bunda Maria dalam melahirkan sang juru selamat. Tanpa akses terhadap bidan atau tenaga kesehatan, alat bantu kelahiran, air bersih, dan bahkan untuk membedong bayinya, ia menggunakan jahitan dari kain-kain bekas yang tak terpakai. 

    Bunda Maria menanggung stigma negatif yang menyudutkan perempuan, terlebih kehamilan Maria terjadi di luar nikah. Perjalanan Maria dalam mencari tempat penginapan sangat terjal dengan stigma yang menempel kuat. Ia kenyang dengan pergunjingan atas dirinya saat mengandung bayi Yesus. Konstruksi gender yang tidak berkeadilan yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua, apalagi seorang perempuan hamil di luar nikah, yang kerap disematkan sebagai pembawa sial. Sebabnya kehadirannya selalu mendapat penolakan di tempat persinggahan yang dilalui. Di era sekarang, ketimpangan terhadap perempuan yang masih tajam, dapat dibayangkan perlakuan apa yang diterima Bunda Maria yang rela berkorban demi melahirkan sang juru selamat pada masanya. 

    Kini dua ribu tahun setelah persalinan berisiko besar yang dijalani Maria, angka kematian ibu bersalin masih tinggi. Menurut WHO (2019), angka kematian ibu menyentuh 303.000 jiwa meninggal dunia setelah berjuang dalam proses persalinan. Tahun 2017, angka kematian ibu setelah melahirkan mencapai 810 ibu setiap harinya. 94% diantaranya terjadi di negara berkembang. Sementara dalam lingkup ASEAN, menurut laporan World Bank pada tahun 2017 mencapai 177 kematian/100 ribu kelahiran atau menduduki posisi ketiga setelah Myanmar dan Laos di ASEAN. Yang mengantongi angka kematian 250/ 100 ribu dan 185/ 100 ribu kelahiran. Singapura mencatat 8 kematian/100 ribu kelahiran sebagai pelayanan kesehatan terbaik di ASEAN, tercatat lima negara di ASEAN, Singapura, Malaysia, Brunei, Thailand, dan Vietnam memiliki AKI di bawah 100 kematian/100 ribu per kelahiran hidup. Hal ini menjadi indikator keberhasilan sistem pelayanan kesehatan suatu negara dan menjadi target dalam SDGs tujuan ke-3 yakni, menjamin kehidupan yang sehat dan mendorong kesejahteraan bagi semua orang di segala usia. 

    Dari angka-angka tersebut dapat dilihat, bahwa kemiskinan tak hanya mengenai uang. Tapi meliputi akses dan stigma. Dapat kita saksikan perbedaan perlakuan yang diterima antara ibu-ibu miskin dan emak-emak kaya dalam akses kesehatan di rumah sakit. Tampilan Ibu-ibu miskin yang tidak mentereng mendapat stigma yang berimbas perbedaan perlakuan yang kerap diterima. Akses kesehatan menggambarkan ketimpangan struktural yang mengakibatkan angka kematian masih tinggi. 

    Dari kisah kelahiran bayi Yesus dari Rahim suci Bunda Maria, dapat direnungkan dan diresapi, pada kelahiran sang juru selamat, bukan hanya cerita tentang penyelamatan dunia. Tapi juga kisah perjuangan perempuan terhadap stigma negatif yang melekat hebat, juga spirit memperjuangkan akses pada jaminan kesehatan, keselamatan dan proses persalinan yang aman dan layak. Hal yang sama merundung ibu-ibu miskin di dunia dalam keterbatasan akses dalam hak atas hidup dan hak atas kesehatan yang adil dan setara. 

    Bayi Yesus dan perjuangan Bunda Maria, memberikan pelajaran mendalam bagi mereka yang berakal. Alih-alih hadir ke dunia sebagai penguasa tangguh dan gagah yang memporak-porandakan musuh, Yesus datang sebagai bayi miskin yang tidak punya akses terhadap fasilitas kesehatan, bahkan ia lahir di luar nikah yang kerap mendapat stigma buruk dan dipergunjingkan sana-sini. Pada kisah ini kita dapat memetik perintah tak tertulis, agar kita memastikan akses kesehatan bagi orang miskin dan juga mengangkat derajat mereka yang terpinggirkan, termasuk korban perkosaan dan kaum minoritas seksual. Natal mengingatkan kita, untuk meneladani ketangguhan Bunda Maria dalam memperjuangkan kehidupan dan bayi Yesus yang penuh belas kasih dan rendah hati, untuk kita semua dapat mengasah empati agar membawa cinta kasih, damai, dan terang bagi dunia. 

    *Penulis: adalah Mahasiswa akhir Fisip Universitas Kristen Indonesi (UKI), Inisiator FILeM (Forum Peduli Literasi Masyarakat). Tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here