More

    Apresiasi Pendidikan sebagai Penghubung Nagari, Mahasiswa dan Kampus dalam Pembangunan

    Oleh: Andrezal*

    Di kaki Gunung Singgalang yang berada di Sumatera Barat, terdapat sebuah nagari bernama Singgalang. (ist)

    Investasi pada ilmu pengetahuan akan mendatangkan hasil yang bagus.

    Benjamin Franklin

    Dalam perubahan sosial, pendidikan adalah salah satu hal terpenting. Idealnya pendidikan akan memberikan seseorang kesempatan untuk mengembangkan potensi yang mereka miliki. Semakin banyak anggota masyarakat yang berhasil mengembangkan diri maka semakin bagus untuk masyarakatnya. Mereka akan memiliki banyak modal untuk menjawab tantangan dan mendorong pembangunan.  

    Akan tetapi, bicara pendidikan berarti juga berbicara tentang biaya. Dari bangku Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi biaya yang dikeluarkan untuk seorang anak tidaklah kecil. Dengan jumlah keluaga miskin yang tidak sedikit di Indonesia, tentu ini menjadi persoalan serius. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada tanggal 16 Januari 2023, terdapat 26,36 juta orang miskin di Indonesia (9,57% penduduk). Maka tidak heran masalah biaya juga menjadi salah satu faktor yang memperlambat masyarakat kita menjadi terdidik dan maju. 

    - Advertisement -

    Menyadari itu, pemerintah mencoba menyalurkan bantuan pendidikan untuk keluarga tidak mampu. Mulai dari Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sampai Kartu Indonesia Pintar – Kuliah (KIP-Kuliah). Namun itu semua tidak serta merta menjadi jawaban atas masalah biaya pendidikan. Dalam tulisan ini penulis mencoba mengaitkan hubungan mahasiswa dan nagari untuk menyelesaikan masalah biaya pendidikan dan juga dampaknya untuk pembangunan nagari itu sendiri. Tidak hanya itu, tulisan ini juga berupaya untuk menarik kampus menjadi lebih dekat dengan masyarakat.

    Tidak dapat dipungkiri, bahwa anak muda adalah salah satu potensi yang dimiliki oleh nagari. Akan tetapi dewasa ini, anak muda semakin jarang menetap di nagari mereka. Hal ini disebabkan oleh budaya merantau yang dilatari dua faktor utama. Pertama untuk memperbaiki taraf hidup, kedua untuk melanjutkan pendidikan. Tidak jarang para mahasiswa setelah tamat sekolah akan mencari kerja dan berkarya di daerah lain. 

    Hilangnya minat mahasiswa akan nagari menurut penulis disebabkan oleh lapangan pekerjaan di nagari yang sedikit dan juga memudarnya rasa tanggung jawab untuk nagari. Alasan kedua cukup menarik untuk didiskusikan. Bagaimana bisa seseorang pelajar yang berasal dari suatu nagari (anak nagari), tidak merasa memiliki dan menjadi bagian dari nagari tersebut? Dari pengalaman penulis, terdapat satu hal yang kurang diperhatikan oleh nagari yaitu apresiasi pendidikan. 

    Untuk membangun ulang hubungan nagari dan mahasiswa, apresiasi pendidikan sangat perlu dilakukan. Menjadi mahasiswa adalah sebuah pencapaian hebat bagi seorang anak nagari karena jumlah mereka tidak banyak. Akan tetapi jika semua perjuangan itu tidak mendapat apresiasi dan perhatian nagari maka para mahasiswa akan merasa berjuang sendiri. Inilah yang menyebabkan mereka tidak merasa bertanggung jawab atas nagari.

    Sebenarnya di perguruan tinggi terdapat sebuah semangat pendidikan yang dinamakan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tiga poin itu adalah pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. Ketiga poin tersebut akan dijalankan oleh mahasiswa dalam pendidikan mereka. Di awal pendidikan mereka akan bergelut dengan teori yang sesuai dengan jurusan mereka. Setelahnya mereka akan menguji teori tersebut secara terbatas lewat penelitian. Kenapa terbatas? Karena teori tersebut tidak diuji secara langsung di lapangan lewat pengamatan mendalam. Dan di tahap akhir mahasiswa akan melakukan program seperti magang, praktek lapangan (PL), dan kuliah kerja nyata (KKN) untuk mendapatkan pengalaman empirik. 

    Dengan adanya Tri Dharma Perguruan Tinggi khsusnya poin ketiga, kampus tidak lagi dianggap sebagai menara gading. Menara gading adalah sebuah istilah yang muncul untuk mengkritik kampus. Kampus dianggap sebagai tempat berkumpulnya para intelek yang mengembangkan keilmuan mereka namun tidak berdampak pada masyarakat sekitar. Tidak lebih dari sebuah hiasan yang megah. 

    Selain itu Tri Dharma Perguruan Tinggi poin ketiga juga mendorong lahirnya para intelektual organik. Istilah intelektual organik dikemukakan oleh Anthonio Gramsci, seorang pemikir progresif dari Italia. Dia mengkritik intelektual tradisional yang hidup di dalam menara gading. Intelektual organik adalah para pemikir baik dosen atau mahasiswa yang turun ke lapangan. Mereka membaur langsung dalam perosalan masyarakat guna menyelesaikan permasalahan tersebut.

    Bersambung ke halaman selanjutnya –>

      

    - Advertisement -

    1 COMMENT

    1. Menarik bagaimana bung mengangkat dan menyadari permasalahan kurangnya manusia intelektual di sebuah nagari. SDM yang baik tentu sangat dibutuhkan dalam pembangunan manusia nagari, namun ada beberapa hal yang harus kita garis bawahi dalam hal ini, yaitu :
      1. Sistem pendidikan tinggi kita yang mayoritas berorientasi pada industri, sehingga membuat mayoritas alumni nya akan cenderung menjadi buruh; 2. Pembangunan menurut saya tidak selalu identik dengan kemajuan ekonomi, sebab hal ini bisa membuat nagari nantinya akan menjadi daerah industri baru yang akan cenderung merusak nilai, budaya, lingkungan dan tatanan sosial di sebuah nagari; 3. Pembangunan berbasis budaya dan lingkungan harus dikedepankan dalam membangun sebuah nagari.

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here