Israel-Palestina: Konflik Antar Imperial, Bukan Konflik Agama
Timur Tengah memiliki keistimewaan dengan letaknya yang strategis. Ia berada di antara persimpangan 5 laut dan persinggungan 3 benua. Ia menjadi jalur lintas regional dan lintas benua. Dan wilayah Levant, Palestina merupakan jantung dari kawasan Timur Tengah. Sebagai jembatan darat Asia dan Afrika, wilayah Palestina menjadi perlintasan berbagai kebudayaan dan peradaban yang masyhur. Seperti Baghdad sebagai kota peradaban, menjadi mercusuar saat masa keemasan Islam. Wilayah Palestina adalah pewaris dari interaksi peradaban dan kultur yang beragam dan amat kaya. Di sini terdapat kota suci dari tiga agama: Yerusalem.
Konteks Palestina hari ini dan kekelaman yang terjadi di dalamnya, tak lepas dari akibat kolonialisme. Dari kolonialisme memunculkan kapitalisme dan kehidupan modern. Yang dibangun dari perampokan besar-besaran negara-negara utara di bumi selatan. Walter Benjamin menyebutnya sebagai moments of danger (Löwy 2012), momentum yang disesaki bahaya. Laju modernitas-kapitalisme melahap ragam aspek yang berkelit-kelindan antara ruang, wilayah, dan bangsa. Dengan sifat kapitalisme yang ekpansif, memaksa penyeragaman dengan standar industri, dan surplus yang tersentralisasi. Fenomena ini mengoyak dunia. Menghasilkan kesenjangan yang terlampau lebar dan penderitaan berkepanjangan entitas-entitas terhisap dan terjajah. Dan bangsa Palestina pasca 1948 lewat pendirian negara Israel tertimpa nasib naas dengan settler colonialism, pendudukan Tanah Air secara langsung. Bangsa Palestina mengalami bentuk kolonialisme yang paling primitif kala dunia bergerak dalam arus kehidupan modern.
Tatkala kolonialisme melahap dunia dan meninggalkan dunia yang busuk, Palestina bagaikan tertimpa tangga dua kali. Kawasan ini dicacah oleh para kekuatan Imperialis. Kubu yang satu dengan kubu yang lain menggunakan proxy war atau pion geopolitik untuk memenangkan kawasan Levant. Berbicara kekuatan imperalis di Palestina, yang kekuatan imperialis bukanlah Israel. Melainkan AS dan Inggris. Inggris mengawali kiprahnya di Timur Tengah dengan menaruh modal segar di Terusan Suez. Kala itu Mesir sedang bergejolak antara penduduk Mesir pada tahun 1881, dengan pemerintahan Ottoman yang menaungi wilayah Mesir saat itu. Bertengger di Terusan Suez, memberi ruang bagi Inggris mendulang keuntungan ekonomi dan politik sekaligus. Kekuatan ekonomi yang terus bertumbuh, menguatnya posisi geopolitik, dan momentum sejarah yang tiba pada perang dunia 1, membawa perubahan konstelasi di Timur Tengah. Inggris menggusur kekuasaan Turki Ustmaniyah. Inggris mengarsiteki bangunan imperial di Jazirah Arab.
Lewat dokumen Balfour (1917), Inggris menginisiasi pembentukan negara Israel bagi orang-orang Yahudi setelah dinamika politik panjang di Eropa. Dari sinilah Negara Israel mulai terbentuk. Proyek imperialisme memasuki babak baru dengan Israel sebagai proxy. Geopolitik di Timur Tengah dihiasi konflik tak berkesudahan Israel dan Palestina. Setelah kekuatan Inggris memudar pasca perang dunia kedua, AS menggantikan Inggris sebagai kekuatan hegemonik global dan memainkan orkestra dalam geopolitik di kawasan ini. Karena gelombang anti penjajahan yang membara, AS tak bisa berkuasa langsung, yang artinya harus memakai proxy. Pasca 1948, menyempurnalah Israel sebagai proxy bagi kekuatan imperial yang posisinya diambil alih oleh AS.
Hingga hari ini menjadi cerminan konstelasi di kawasan ini. Baik, di Inggris dan AS, betapapun sengitnya persaingan Partai Demokrat dan Republik di AS dan Partai Buruh dan konservatif di Inggris, keduanya sama-sama mendukung Isarel. Karena Israel adalah kepanjangan tangan mereka di kawasan Timur Tengah.
Meski demikian, dalam dinamika politik nasional dan internasional. Pion politik bukanlah benda mati. Ia memiliki independensi relatif atau dalam kata lain memiliki dinamika internalnya sendiri. Tapi AS sebagai negara adidaya berupaya memastikan, kelompok yang selaras dengan kepentingannya yang memenangkan pemilu. Untuk mengamankan agenda-agenda AS tetap pada jalurnya. Yang secara umum tak bertentangan dengan politik luar negeri AS. Selama AS masih mendukung penuh Israel dan Israel dominan menguasai kawasan. AS akan terus berjaya di panggung global.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>