More

    Jangan sampai Kampus menjadi Ruang Kaderisasi Koruptor

    Menutup Lubang Besar Negara-negaraan

    Melirik dari alur tersebut, dari observasi saya selama ini dalam menjadi fungsionaris Ormawa–baik di legislatif ataupun eksekutif, di fungsi pengawasan dan pelampiran pertanggung jawaban ini lah perilaku-perilaku koruptif oknum Ormawa ini seringkali lolos. Mekanisme yang kurang efektif serta nihilnya regulasi untuk mencegah dan menanggulangi perilaku tersebut ditenggarai menjadi penyebab utama langgengnya korupsi di Ormawa. Di mana hal tersebut didukung oleh adanya “stigma suci” terhadap mahasiswa yang tergabung dalam Ormawa; sebagai ‘aktivis’ atau ‘pengabdi’, yang pada akhirnya mengurangi rasa awas dan skeptis dari unsur mahasiswa yang berperan sebagai legislatif dan yudikatif; serta birokrat kampus yang menjalankan pengawasan alur uang dalam Ormawa. Cara pandang tersebut tentu menjadi berbahaya, terlebih apabila tak diimbangi oleh penegakan regulasi dan pensistemasian yang mumpuni terhadap aktor-aktor di organisasi mahasiswa.

    Dari silklus yang ada, apabila dipetakan selayaknya negara, pola-pola korupsi relasi dalam Ormawa ini dapat dibedah salah satunya lewat kerangka fraud hexagon yang telah dikembangkan oleh Vousinas (2019)[3]. Dengan kerangka ini, kita bisa membedah bagaimana korupsi dalam tubuh Ormawa dijalankan dari sisi agensinya, seperti dari sisi: Stimulus (Tekanan), Kapabilitas, Kesempatan, Rasionalisasi, Ego (Arogansi), dan Kolusinya. Faktor-faktor ini lah yang dapat dijadikan awalan dalam melakukan pembacaan. Di mana dengan dilakukannya pembacaan secara serius terhadap keadaan Ormawa hari ini, nantinya mekanisme untuk dapat mengikis kejadian korupsi oleh oknum Ormawa dapat terselesaikan secara sistematis lewat pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance).

    - Advertisement -

    Praktik sebagai bentuk Konkrit Pendidikan Anti-Korupsi

    Sebagai perpanjangan dari pendidikan bernegara, terdapat suatu urgensi untuk menciptakan Ormawa yang bersih dari korupsi. Dalam proses ini tentu mahasiswa tak bisa berdiri sendiri dalam membentuk kondisi demikian, mengingat umurnya secara periodik yang pendek dan mengharuskannya berganti kepengurusan setahun sekali, rasanya mustahil apabila tak didukung oleh berbagai pihak di luar mahasiswa itu sendiri. Demikian, menggandeng pihak kampus, KPK, dan berbagai Lembaga Anti-korupsi yang sudah ada memang sudah seharusnya dilakukan. Namun, dengan cara seperti apa? Berkaca dari kegiatan penyuluhan/sosialisasi dari lembaga ini yang rasanya masih belum menyentuh titik efektivitasnya. Saya pikir dibutuhkan metode lain dalam membentuk pribadi anti-korupsi, kita butuh cara-cara baru. Salah satu hal yang dapat ditawarkan adalah dengan menanamkan sikap anti-korupsi secara laten lewat perancangan dan pembentukan organisasi mahasiswa yang anti-korupsi. Di mana nantinya dapat di buat sistemasi ruang yang dapat mencegah adanya tindak korupsi di lingkungan Ormawa. Dalam hal ini, bentuk pendidikan anti-korupsi dilakukan dalam hal yang lebih partisipatif dan praktikal dengan memberdayakan ormawa sebagai sarana pendidikannya. Dengan begitu, saya meyakini nantinya kampus secara benar-benar dapat menjadi ruang kaderisasi dalam membentuk insan yang berintegritas dalam menyongsong pemerintahan yang bersih dan anti-korupsi. Sehingga, moral force bukanlah hanya menjadi slogan, namun kenyataan yang memberi dampak pada kehidupan.

    * Penulis adalah Mahasiswa Kriminologi Universitas Indonesia.


    [1] https://suarausu.or.id/korupsi-di-lingkungan-organisasi-mahasiswa-jangan-jadi-budaya/ dan https://theconversation.com/modus-mark-up-laporan-kegiatan-mahasiswa-bibit-dan-peluang-korupsi-d i-lingkungan-kampus-197104.

    [2] https://ojs.stiem-bongaya.ac.id/BJRA/article/view/268/228

    [3] Vousinas, Georgios L. (2019). Advancing Theory of Fraud: The SCORE Model. Journal of Financial Crime 26: 372–81.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here