Peluang dan Tantangan
Indonesia termasuk dalam lima negara terbesar dalam penggunaan media sosial yang mempunyai potensi positif (kekuatan) dan potensi negatif (kerentanan/kelemahan) terkait perang siber. Penggunaan media sosial oleh masyarakat dapat menjadi ancaman terhadap kedaulatan negara. Namun media sosial dapat menjadi sumber pengetahuan tentang informasi, komunikasi, dan teknologi digital yang memungkinkan masyarakat menjadi terampil dalam dunia digital. Aktivitas pemanfaatan teknologi digital di Indonesia merupakan potensi dalam perang siber. Pemanfaatan teknologi informasi dapat dengan mudah disusupi oleh hacker atau cracker dari berbagai negara, sehingga mengakibatkan kerawanan informasi terutama dalam hal penyampaian informasi intelijen melalui dunia maya (Luiijf& Nieuwenhuis, 2019)
Indonesia mempunyai posisi yang signifikan dalam hal ini penggunaan media sosial mempunyai implikasi positif yaitu meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap dunia digital. Namun hal ini juga membawa kerentanan terhadap serangan siber yang dapat mengancam kedaulatan negara dan keamanan informasi yang dikirimkan melalui platform digital.
Potensi ancaman kejahatan siber dapat berdampak pada perang siber. Berikut beberapa potensi ancaman kejahatan siber di Indonesia (Luiijf & Nieuwenhuis, 2019):
Peretasan: Salah satu penyebab terjadinya serangan siber, mulai dari keinginan untuk menguji keamanan hingga penolakan pemerintah. Contoh kasus pada Pilpres 2014 adalah tersebarnya berita bahwa website KPU (Komisi Pemilihan Umum) telah diretas oleh hacker. Indikasinya, website KPU mengalami kendala akses sehingga menyebabkan tidak bisa diakses untuk sementara.
Cracking: Di Indonesia, pernah terjadi kasus peretasan yang dilakukan oleh oknum yang dikenal dengan istilah “carders”. Cara tersebut mereka gunakan untuk mencuri informasi kartu kredit, yakni mengintip data kartu kredit nasabah. Setelah mendapatkan akses terhadap informasi tersebut, para peretas kemudian mencoba mengakses data sensitif dan simpanan nasabah di bank tersebut untuk kepentingan pelaku.
Sabotase dunia maya: adalah suatu tindakan yang disengaja untuk mengganggu, merusak, atau menghancurkan data atau sistem jaringan komputer yang terhubung dengan internet. Tindakan ini merupakan cara yang paling ditakuti oleh banyak perusahaan besar di seluruh dunia.
Spyware: mengacu pada perangkat lunak yang merekam secara diam-diam penggunaan daring, yaitu pencatatan cookies atau data registry. Data yang berhasil direkam kemudian dapat dikirim atau dijual ke perusahaan tertentu atau individu, yang kemudian dapat menggunakan informasi tersebut untuk mengirimkan iklan yang tidak diinginkan atau menyebarkan virus berbahaya. Sayangnya, di Indonesia terdapat 24 kasus infeksi malware terkait penggunaan online banking oleh masyarakat.
Identifikasi risiko kejahatan siber sebaiknya dilakukan secara berkala untuk mengidentifikasi faktor- faktor pemicu kejahatan siber. Dalam prosesnya berbagai aspek yang berpotensi memicu kejahatan siber perlu dievaluasi. Pesatnya kemajuan teknologi penyadapan dalam peretasan media sosial telah menjadi ancaman yang signifikan di era perang siber.
Terdapat dua jenis utama kejahatan siber (Wahid dan Labib, 2005), pertama, kejahatan yang menggunakan teknologi informasi (TI) sebagai fasilitasnya: Ini mengacu pada kejahatan di mana pelakunya menggunakan TI sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindakan kriminal. Contohnya termasuk serangan siber, penipuan online, pencurian identitas, penyebaran malware, atau aktivitas ilegal lainnya yang memanfaatkan teknologi informasi sebagai alat implementasinya.
Dua kejahatan yang menargetkan sistem dan fasilitas teknologi informasi (TI): Ini mengacu pada kejahatan yang ditujukan langsung pada sistem dan fasilitas TI itu sendiri. Contohnya adalah serangan siber terhadap infrastruktur TI, pencurian data, sabotase jaringan komputer, atau eksploitasi kelemahan sistem keamanan TI. Dengan berbagai kasus kejahatan siber di Indonesia, stabilitas keamanan dan ketertiban nasional menghadapi ancaman yang signifikan.
Eskalasi kejahatan dunia maya telah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Penanganan perbuatan melawan hukum di dunia maya tidaklah mudah hanya dengan hukum positif konvensional. Hal ini disebabkan adanya hubungan yang kompleks antara lima faktor yang terkait, yaitu pelaku kejahatan, korban kejahatan, reaksi sosial terhadap kejahatan, dan hukum.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>