
Isu Palestina kembali menggema di ruang-ruang kampus, bukan hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negara di dunia. Dari aksi demonstrasi, forum diskusi, hingga gerakan boikot mahasiswa dan sivitas akademika menegaskan bahwa kampus masih menjadi ruang kritis dan tidak netral terhadap penderitaan manusia.
Menurut Dr. Virtuous Setyaka, S.IP., M.Si., Dosen Hubungan Internasional Universitas Andalas, situasi di Palestina saat ini sangat memprihatinkan. Ia menyebut kondisi tersebut sebagai bentuk kekerasan struktural dan sistemik, yang tidak hanya melalui kekuatan militer, tetapi juga lewat pemaksaan pemukiman ilegal, blokade, dan pelanggaran HAM terbuka.
“Kita sedang menyaksikan bentuk kekerasan struktural dan sistemik yang terus menerus—yang tidak hanya melibatkan kekuatan militer, tetapi juga pemaksaan pemukiman ilegal, blokade, dan pelanggaran HAM secara terang-terangan. Ini bukan sekadar konflik, melainkan penjajahan yang berlangsung terus di abad ke-21,” ujarnya tegas saat dihubungi Kabar Kampus.
Virtuous menyambut positif meningkatnya aksi solidaritas dari kampus-kampus dunia, termasuk Indonesia. Menurutnya, gerakan mahasiswa dari Columbia hingga Universitas Andalas membuktikan bahwa nurani akademik belum mati. “Menunjukkan bahwa nurani akademik belum mati. Kampus harus menjadi ruang etis yang tidak netral terhadap penderitaan manusia,” lanjut Virtuous.
Baginya, kampus harus menjadi tempat untuk membentuk warga dunia yang peka dan kritis, bukan sekadar menara gading intelektual yang netral terhadap ketidakadilan. Namun, ia menilai bahwa dukungan dari institusi kampus masih belum terstruktur secara jelas.
Beberapa kampus memang sudah memfasilitasi diskusi, penggalangan dana, hingga kajian akademik. Akan tetapi untuk menjadikan isu Palestina sebagai bagian dari misi keilmuan kampus, dibutuhkan dukungan institusional yang lebih kuat. Menyuarakan solidaritas terhadap Palestina di kampus, menurutnya, masih kerap menghadapi tantangan. Di antaranya adalah stigmatisasi, serta tuduhan membawa isu politik yang terlalu sensitif.
“Tantangan utamanya adalah stigmatisasi dan ketakutan akan dituduh politis atau ekstrem. Padahal, solidaritas kemanusiaan bukan ekstremisme. Selain itu, ada tekanan untuk menjaga “netralitas akademik” yang seringkali digunakan untuk membungkam suara keadilan,” ucap Virtuous.
Meski begitu, ia melihat adanya pergeseran positif dalam cara mahasiswa menyikapi isu Palestina. Jika dulu hanya dipahami lewat sentimen keagamaan atau identitas sempit, kini banyak mahasiswa melihat Palestina sebagai isu kolonialisme, apartheid, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Bersambung ke halaman selanjutnya –>