Virtuous juga menegaskan bahwa mendukung Palestina di ruang kampus adalah bagian dari kebebasan akademik dan berekspresi. Sebab, kebebasan akademik tidak hanya berhenti pada berpikir atau meneliti, tapi juga menyatakan sikap berdasarkan kesadaran etis dan moral. Menurutnya, akademisi memiliki peran penting sebagai penjaga nurani publik.
Tugas mereka bukan hanya mengajar teori, tetapi juga menyuarakan ketidakadilan, membongkar propaganda, dan menjadi saksi moral terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Menurutnya, ada beberapa langkah konkret yang bisa diambil kampus dan sivitas akademika untuk mendukung Palestina.
“Bentuknya bisa banyak. Menggelar forum ilmiah dan webinar bertema Palestina, mendorong publikasi akademik kritis soal kolonialisme dan apartheid, membuka beasiswa untuk mahasiswa Palestina, mendukung pemutusan kerja sama dengan institusi yang terlibat dalam penjajahan,” papar Virtuous.
Namun, ia mengingatkan bahwa semua itu harus dilandasi oleh pendidikan kritis, agar gerakan solidaritas tidak berubah menjadi permusuhan atau intoleransi. Sebab baginya, solidaritas bukan soal benci, tapi soal panggilan keadilan. Maka dari itu besar harapan Virtuous kepada mahasiswa terkait solidaritas Palestina ini.
Membangun komunitas lintas kampus pun tidak kalah penting. “Harapan saya, mahasiswa Indonesia terus menjadikan solidaritas ini bukan hanya sebagai bentuk simpati emosional, tapi sebagai komitmen jangka panjang terhadap keadilan global. Jangan takut bersuara, tapi tetap berpijak pada nalar, nilai, dan kemanusiaan,” himbaunya.
Di tengah hiruk pikuk akademik, kampus tetap harus menjadi ruang yang berpihak pada kemanusiaan. Solidaritas terhadap Palestina bukan sekadar pilihan moral, tapi juga tanggung jawab intelektual di era ketidakadilan global yang begitu telanjang. Kini saatnya kampus mengambil sikap—bukan untuk berpihak secara politis, tapi untuk berdiri bersama nilai-nilai keadilan, hak asasi manusia, dan nurani kolektif. Karena suara kampus adalah suara masa depan.






