
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) tengah menyiapkan langkah besar dengan membuka 500 Rumah Sakit Penyelenggara Pendidikan Utama (RSPPU) bagi program dokter spesialis di seluruh Indonesia. Program ini disebut sebagai salah satu strategi utama pemerintah untuk mengatasi krisis tenaga dokter spesialis yang hingga kini masih menjadi tantangan serius di berbagai daerah.
Anggota Komisi IX DPR RI, dr. Maharani, MM, menyambut baik kebijakan ini. Menurutnya, keputusan tersebut merupakan langkah progresif yang tidak hanya bersifat teknis, melainkan juga strategis dalam mempercepat pemerataan pelayanan kesehatan.
“Ini bukan hanya kebijakan teknis, tetapi langkah strategis untuk memastikan layanan kesehatan berkualitas bisa dirasakan masyarakat hingga ke pelosok. Dengan sistem pendidikan berbasis rumah sakit, proses pembentukan dokter spesialis akan lebih cepat, efisien, dan terdistribusi merata,” ujar Maharani seperti dikutip dari situs Fraksi Golkar.
Ia menambahkan, sistem RSPPU berpotensi memperkuat regenerasi tenaga kesehatan nasional sekaligus menekan biaya pendidikan yang selama ini menjadi hambatan bagi banyak calon dokter. Namun, Maharani menekankan pentingnya pengawasan mutu dan akreditasi, agar percepatan kuantitas tidak mengorbankan kualitas lulusan.
Politisi tersebut juga mendorong agar penetapan lokasi RSPPU tidak hanya terpusat di Pulau Jawa. “Kami akan terus mengawal agar kualitas pendidikan dokter spesialis tetap terjaga. Jangan sampai fokus pada kuantitas membuat mutu lulusan menurun. Akreditasi dan pengawasan harus menjadi prioritas utama,” tegasnya.
Pemerataan menjadi kunci untuk menghadirkan dokter spesialis di seluruh wilayah, dari Sabang hingga Merauke. Di sisi lain, kebijakan Kemenkes ini menuai kritik dan perdebatan hukum. Kuasa hukum pemohon uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), Nanang Sugiri, menilai langkah ini terkesan tergesa-gesa dan berpotensi menabrak norma hukum pendidikan tinggi.
Menurut Nanang, inti persoalan uji materi perkara Nomor 143/PUU-XXIII/2025 adalah tentang siapa penyelenggara utama pendidikan dokter spesialis, apakah tetap perguruan tinggi sebagaimana diatur dalam UU Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012, atau rumah sakit seperti diatur dalam Pasal 187 ayat (4) dan Pasal 209 ayat (2) UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.
Dalam sidang MK pada 20 Oktober 2025, disoroti adanya ketidakjelasan norma hukum. “Gebrakan ini tampak heroik di permukaan, tetapi menyimpan persoalan mendasar dalam hal norma, etika politik hukum, dan tata kelola pendidikan tinggi,” kata Nanang seperti dikutip dari Kompas.
Frasa “rumah sakit pendidikan dapat menjadi penyelenggara utama” dinilai menimbulkan kontradiksi dan ketidakpastian hukum. “Pendidikan dokter spesialis bukan sekadar pelatihan klinis, melainkan bagian dari pendidikan akademik dan profesi berbasis riset dan inovasi. Rumah sakit perannya vital, tetapi tetap sebagai teaching clinical center di bawah koordinasi universitas,” ujar Nanang.
Ia juga menilai pengumuman pembukaan 500 RSPPU saat norma hukumnya masih diuji di MK merupakan tindakan yang tidak etis secara politik hukum. Pemerintah, katanya, sebaiknya menunggu keputusan final MK sebelum melangkah lebih jauh.
Tujuan dan Target Kemenkes
Bersambung ke halaman selanjutnya –>






