Putra Agung Prabowo
Pemanasan global adalah salah satu isu lingkungan yang saat ini menjadi perhatian serius oleh masyarakat dunia. Penyebab utama terjadinya pemanasan global adalah meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer (Adinugroho dkk, 2006)[1].
Tak hanya itu, sumber dari segala petaka ini adalahadanya pembalakan, kegiatan penebangan liar dan perambahan hutan serta kebakaran hutan telah mengakibatkan banyak terjadinya lahan kritis. Keberadaan lahan kritis akan menyebabkan terganggunya siklus air dan terjadi tanah longsor.
Hutan di Indonesia sudah mengalami tekanan-tekanan sejak tahun 1950, dan lebih meningkat lagi setelah diundangkannya UU PMA dan PMDN pada tahun 1970-an, dimana era dimulainya exploitasi hutan secara besar-besaran sebagai sumber devisa dalam rangka pembangunan nasional.
Lahan yang ada sekarang ini kebanyakan terlantar dan menjadi padang alang-alang. Beberapa ahli mengatakan lahan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, perkebunan maupun hutan buatan dengan melakukan rehabilitasi.
Reboisasi merupakan upaya rehabilitasi lahan dengn penanaman tanaman hutan pada kawasan hutan untuk mengurangi terjadi erosi. Kegiatan reboisasi, yang dimulai dari kegiatan penanaman dan pemeliharaan tegakan akan mampu meningkatkan pertumbuhan tegakan hutan (penutupan lahan).
Sedangkan penghijauan adalah salah satu kegiatan penting dalam menangani penurunan kualitas lingkungan. Program ini juga dilakukan dalam rangka menjaga dan menata kenyamanan serta memelihara kelestarian lingkungan hidup dalam mengantisipasi dampak lingkungan yang buruk.
Kedua program ini merupakan bagian dari konsep “blusukan” menanam pohon. “Blusukan” menanam pohon merupakan sebuah gagasan program penghijauan bersama yang mewajibkan setiap orang yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS), pegawai swasta, buruh, dan lain-lain untuk melakukan penghijauan dan reboisasi selama 2 minggu setiap semester di daerah-daerah dengan lahan kritis yang sangat krusial untuk ditangani oleh pemerintah. INTAG (2000)[2] melaporkan bahwa terdapat 24.693.773 ha areal hutan yang perlu direhabilitasi, dimana sebagian besar (65% atau 16.100.356 ha) terletak di kawasan produksi dan sisanya (35% atau 8.594.417 ha) terletak di kawasan lindung. Program ini merupakan gerakan moral secara nasional yang terencana, terpadu, dan melibatkan seluruh komponen bangsa yang berprofesi sebagai pegawai untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan di daerah aliran sungai prioritas. Disisi lain, hal ini juga akan memberikan pengertian secara nyata kepada para pegawai tersebut untuk berani bertanggung jawab dalam pelestarian lingkungan.
Sasaran program ini terletak di 15 provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Lampung, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Selatan yang menurut Departemen Kehutanan memiliki lahan-lahan kritis.
Jika selama ini pegawai negeri sipil dan pegawai lainnya selalu diidentikkan dengan pekerjaan mereka yang padat dan kadang mereka ogah-ogahan (seperti pegawai kantoran), kini mereka dipaksa untuk membuang sifat malas tersebut untuk berkontribusi terhadap perbaikan lingkungan, seperti pencegahan erosi tanah dan pemanasan global. Dengan melihat dan merasakan hal tersebut, mereka jauh akan lebih mengerti bagaimana harus bertindak untuk kedepannya, terlebih mereka akan lebih tahu bagaimana bertindak selaras dengan alam.[]
[1]Adinugroho, W., I. Syahbani, M. Rengku, Z. Arifin dan Mukhaidil. 2006. Teknik Estimasi Kandungan Karbon Hutan Sekunder Bekas Kebakaran 1997/1998 di PT.Inhutani I Batuampar, Kalimantan Timur. Loka Litbang Satwa Primata. Samboja.
[2]INTAG. 2000. Data Luas Indikasi Rehabilitasi dan Reboisasi Hutan. www.dephut.go.id/INFORMASI/INTAG/RRH/Rrh25.htm