AHMAD YUNUS
Pesawat Twin Otter yang kami tumpangi mendarat mulus di Bandara Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Papua. Plong. Jantung terasa ringan. Akhirnya, roda pesawat bisa mencium aspal lintasan bandara dengan sempurna.
Rasanya, bandara ini sangat istimewa jika dibandingkan dengan kebanyakan bandara perintis lainnya di Papua. Bangunan pemantau bandara dan satu unit mobil pemadam kebakaran tersedia. Petugas bandara dan keamanan pun tampak sigap menjaga lintasan bandara.
Penerbangan dari Nabire menuju Sugapa ditempuh sekitar 45 menit. Pesawat melewati lembah yang menjulang dan langit yang sedikit mendung. Pesawat berkapasitas 20 orang ini lincah menembus gumpalan awan yang gelap.
Sekalipun bagi saya dan mungkin penumpang lainnya cukup membuat nyali semakin tegang. Mulut komat kamit berdoa sepanjang penerbangan. Satu-satunya hiburan, menikmati keindahan hutan lebat Papua yangmenyerupai brokoli. Dan juga perkampungan yang terpisahkan oleh pegunungan dan belantara hutan.
Sugapa terletak di atas pegunungan Papua. Udara dingin langsung mencubit kulit saat tiba di sini. Pemandangan bukit nan hijau di sekitar bandara sungguh memanjakan mata. Kami langsung naik ojek dan meninggalkan bandara. Hujan deras langsung mengguyur Sugapa.
“Udara di sini bisa mencapai 15 derajat celcius,” kata dr. Riny Bachtiar, koordinator doctorSHARE yang memimpin pelayanan medis ini. Kabut tipis langsung menyelimuti pepohonan.
Saya bergerak bersama doctorSHARE. Sebuah yayasan dibidang kesehatan yang didirikan oleh dr.Lie Dharmawan. Misinya membantu kesehatan di seluruh wilayah terpencil di Indonesia. Termasuk bagi warga yang tidak terlayani kesehatan oleh pemerintah.
Uniknya, layanan kesehatan medis doctorSHARE dilakukan di atas kapal di pulau-pulau. Termasuk kunjungan ke pedalaman seperti ke Sugapa atau dikenal dengan flying doctors. Pelayanan medis ini akan berlangsung selama tujuh hari. Mulai dari pengobatan umum, pembedahan hingga sosialisasi pendidikan hidup sehat pada anak-anak.
Rumah penginapan yang kami tinggali dikenal sebagai basecamp pendakian Cartenz. Salah satu gunung tertinggi di Indonesia yang diselimuti salju sepanjang tahun. Selain Sugapa, titik lain pendakian menuju Cartenz bisa melewati Timika.
“Jalan kaki menuju Cartenz bisa ditempuh sekitar empat belas hari,” kata Rini dari Yayasan Somatua yang mendampingi pelayanan medis ini. Sayang, puncak Cartenz tidak tampak dari sini.
Malam itu, kami langsung merebahkan badan. Semakin malam udara terasa semakin dingin. Beruntung, makan malam berupa oseng ikan asin dan nasi liwet cukup mengganjal isi perut. Kami tidur nyenyak sekali. Jaket, kantong tidur dan kaos kaki cukup melindungi dari rasa dingin.
“Air di kamar mandi cukup untuk basuh dua mata dan gosok gigi saja,” kata saya di pagi hari.
Tampaknya, yang lain juga setuju. Bukan karena air di bak mandi kosong tapi dinginnya seperti air es dari kulkas.
Di pagi hari, lima belas unit motor ojek sudah sigap depan penginapan. Kotak obat-obatan dan logistik selama pelayanan medis langsung diikat di atas jok belakang motor. Kebanyakan mereka adalah warga pendatang dari Sulawesi dan Jawa. Merantau ke Sugapa dan memilih menjadi tukang ojek.
Pendapatan menjadi tukang ojek di Papua memang menggiurkan. Bisa jadi, setara dengan gaji manager di perusahaan. Dalam sehari mereka bisa mendapatkan uang minimal 500 ribu rupiah. Tarif ongkos sekali naik jarak dekat sebesar 50 ribu rupiah dan jauh mencapai 150 hingga 500 ribu rupiah!
Kenapa mahal? Namanya juga Papua. Apalagi, bensin termasuk barang mewah. Hitungannya begini; harga satu liter bensin di Sugapa mencapai 50 ribu rupiah. Ditambah biaya untuk membawa satu unit motor ke dalam pesawat senilai lima juta rupiah. Tukang ojek ini mengeluarkan modal yang luar biasa besar ketimbang tukang ojek di mana pun.
Namun, risiko menjadi tukang ojek di Papua juga tidak gampang. Dan bisa jadi bisa bikin melarat si tukang ojeknya. Pertama, mereka mesti siap dengan segala medan dan kondisi jalan di pegunungan Papua yang masih amburadul. Kedua, jika terjadi kecelakaan, mereka harus siap dituntut hingga puluhan juta rupiah!
“Jangan sampai nabrak babi,” kata tukang ojek ini.
Kehidupan di wilayah pegunungan Papua memang punya rumus matematika sendiri. Hampir 90 persen kebutuhan sehari-hari didatangkan dari kota. Biaya angkut ini yang membuat kenapa semua kebutuhan hidup di Papua menjadi sangat mahal. Barang seperti telur, ikan, ayam, semen, hingga pakaian diangkut melalui pesawat. Jangan kaget jika Anda makan satu mangkok baso harus membayar hingga 60 ribu rupiah! Glek.
Rasanya, ngeri-ngeri sedap. Motor melaju kencang melibas jalan licin dan tanjakan terjal. Tiga puluh menit akhirnya kami tiba di Hitadipa. Kampung kecil eksotik yang terletak di kaki lembah. Aliran sungai Iyabu yang deras menjadi maskot distrik ini. Jembatan kayu “goyang dangdut” menjadi satu-satunya penghubung ke kampung ini.
Hitadipa termasuk distrik yang boleh dibilang sudah mandiri. Di sini terdapat puskesmas, SD hingga SMP, gereja, hingga unit tenaga listrik matahari. Aliran listrik mengalir pada pukul 6 sore hingga sepuluh malam. Televisi menyala. Orang bisa baca buku. Bahkan, Hitadipa memiliki satu lintasan pesawat sendiri!
“Perbedaan pulau, demografis, kesenjangan ekonomi sangat berpengaruh pada kehidupan dan penyakit,” kata dokter Lie Dharmawan. Minimnya pada akses layanan kesehatan menyebabkan kondisi kesehatan masyarakat di wilayah terpencil rendah. Keterbatasan ini mendorong dokter Lie Dharmawan mencari jalan membantu kesehatan warga di wilayah terpencil.
“Saya cari kapal bekas dan saya jadikan jadi rumah sakit,” katanya. Rumah sakit apung ini kemudian berlayar dan melayani warga yang tinggal di berbagai kepulauan Indonesia. “Medis menjadi kebutuhan dasar bagi warga di wilayah terpencil dan jauh dari akses kesehatan.”
Indonesia adalah negeri kepulauan. Namun, kesadaran sebagai negara maritim belum menjadi dasar untuk mengembangkan kebijakan pembangunan. Termasuk dalam sektor kesehatan. Rumah sakit hanya bertumpu di pulau-pulau besar. Tenaga kesehatan tidak terlatih bekerja di wilayah kepulauan.
“Belum ada yang mengembangkan konsep kesehatan maritim,” katanya.
Lie Dharmawan berharap, keberadaan rumah sakit apung bisa menginisiasi untuk mengembangkan kebijakan kesehatan maritim di Indonesia.
Saat di lapangan dokterSHARE merangkul para bidan, perawat atau tenaga kesehatan lokal. Mereka diajak sekaligus berbagi pengalaman mengenai tindakan medis. Keberadaan mereka menjadi ujung tombak untuk mendongkrak kualitas kesehatan warga lokal.
“Kerja mereka tidak mudah ditengah keterbatasan,” kata dr. Riny Bachtiar.
Melakukan pelayanan medis di wilayah terpencil memang tidak mudah. Seringkali para tenaga medis yang ada harus mampu melakukan banyak hal. Padahal, mereka memiliki keterbatasan baik dari pengalaman maupun kemampuan individunya.
“Namun, sekarang ada kebijakan bahwa mereka (bidan, perawat, tenaga medis) bisa bekerja seperti dokter. Tentu sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman mereka,” kata dr. Lie Dharmawan.
Istilahnya, dokter kaki telanjang.
Melalui Permenkes 90 Tahun 2013 tentang pelayanan medis di wilayah terpencil, tenaga medis lokal bisa bekerja dan melakukan tindakan medis layaknya seorang dokter. “Jadi tidak usah takut. Di sini kalian bisa belajar banyak hal,” katanya saat diskusi dengan tenaga medis lokal di Hitadipa.
“Kondisinya sudah termasuk wilayah terpencil.”
Hari pertama, warga berdatangan menuju puskesmas. docterSHARE langsung melakukan pelayanan medis. Satu persatu warga diperiksa kondisi kesehatannya. Termasuk mendata warga yang siap dilakukan operasi pembedahan. Tak sediikit warga terlihat mengalami benjolan di tubuh mereka.
Hari kedua, tenda operasi berdiri. Meja menjadi alas sebagai pengganti tempat tidur. Obat-obatan dan perlengkapan bedah disiapkan. Dokter langsung bekerja menyelesaikan operasi pembedahan warga.
“Warga mengalami hernia akibat kerja berat. Banyak yang merasa sakit pada bagian punggung dan kakinya. Termasuk soal pernafasan,” kata dr. Lie Dharmawan.
Pada hari ketiga, kami melakukan aktivitas belajar hidup sehat di sekolah. Salah satunya, mengajarkan kebiasaan sikat gigi pada anak-anak. Puluhan anak-anak SD hingga SMP berbaris di lapangan. Mereka tampak riang dan semangat belajar menggosok giginya.
Dokter terbang doctorSHARE telah berjalan selama dua tahun di 7 titik wilayah terpencil di pegunungan Papua. Usaha meningkatkan kualitas kesehatan warga Papua tak hanya terbatas pada aspek medis. Tapi juga berkaitan dengan aspek lainnya, sosial, budaya, bahkan politik. Membangun kualitas hidup di Papua membutuhkan kerja sama dan komitmen dengan berbagai pihak.
“Dengan begitu, kualitas manusianya semakin baik,” kata dr. Lie Dharmawan. []
* Ahmad Yunus adalah penulis buku “Meraba Indonesia” yang pernah melakukan perjalanan keliling Indonesia menggunakan sepeda motor. Selain bermotor, jurnalis freelance ini sehari-hari mengayuh sepeda di kota Bandung. Bersama tim Garis Api, mendokumentasikan tentang potensi alam dan keanekaragaman budaya Indonesia.