Boleh setuju atau tidak, mahasiswa sekarang terjebak dalam labirin administrasi di kampusnya. Mereka mengejar IPK tinggi dan lulus lebih cepat untuk menghindari bayar uang kuliah yang membengkak.
Akibatnya, mahasiwa tidak punya waktu membaca buku di luar buku mata kuliah. Mahasiswa juga enggan menghadiri atau menggelar diskusi-diskusi dengan tema-tema di luar kuliah.
Fenomena itu menjadi salah satu potret yang disuguhkan dalam novel Perpustakaan Kelamin karya Sanghyang Mughni Pancaniti, pemilik lapak buku Kebul yang buka di almamaternya Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati.
Novel tersebut dibedah di Kafe Kaka, Jalan Tirtayasa 49 Bandung, Sabtu (18/02/2017). “Mahasiswa sekarang terjebak dalam labirin administrasi, IPK ingin sekian, dan lain-lain. Muter di situ,” kata Muhnizar Siagian, salah seorang narasumber bedah novel.
Apakah mahasiswa salah? Muhnizar Siagian melihat fenomena tersebut berlangsung sejak lama. Bahkan sejumlah dosen senior mengalami hal serupa, terjebak dalam administrasi kampus. “Sistem pendidikan di kampusnya yang salah,” katanya.
Sistem kampus membuat mahasiswa yang berada di kelas lebih sering menatap jendela daripada dosen yang menerangkan, seolah mereka ingin segera keluar kampus. Sistem pendidikan pula yang membuat mata pelajaran tertentu lebih mengerikan daripada mata pelajaran lain.
Buktinya, kata dia, saat ini lebih banyak mahasiswa yang berbondong-bondong mempelajari ilmu-ilmu sosial karena takut bertemu dengan ilmu hitung atau mata pelajaran yang berkitan dengan matematika.
“Padahal Tan Malaka begitu kasmaran pada matematika. Matematika penting untuk revolusi. Hari ini orang kuliah ke ilmu sosial untuk menghindari matematika. Jadi banyak krisis dalam dunia kampus,” ungkapnya.
Akibat sistem tersebut, mahasiswa tidak punya kesempatan untuk diskusi mendalam atau mengasah kemampuan nalar. Praktek plagiat pun marak. Nah, novel Perpustakaan Kelamin penting dalam mendobrak iklim kuliah yang membosankan. Novel ini berkisah tentang Hariang yang kutu buku. Penulisan novel memakai gaya petualangan.
Tokoh Hariang aktif di komunitas Pasukan Anti Kuliah (Paku) yang berisi orang-orang drop out dan kecewa pada sistem pendidikan. Komunitas ini aktif melakukan diskusi dan mengkaji beragam buku. Di sinilah Hariang mengalami suatu perjalanan intelektual.
“Novel ini bisa menjadi pintu masuk ke banyak buku, banyak kutipan mulai sejarah Islam, peradaban Prancis, ada 60 referensi buku,” katanya. “Ini kaya guide untuk menyelami banyak pemikiran, bisa juga referensi.”
Apakah dunia kampus begitu membosankan sebagaimana digambarkan novel Perpustakaan Kelamin? “Bagi saya yang baru mengajar hampir dua bulan iya,” kata Muhnizar Siagian, dosen yang juga alumnus Unand dan Unpad.
Di kampus saat ini tumbuh semacam kemalasan untuk berpikir berat dan mendalam. Contohnya, mahasiswa lebih mudah menelan budaya K-pop yang membanjiri tanah air akhir-akhir ini daripada menyelami gerakan budaya di balik budaya Korea itu.
Lalu, apa kaitan perpustakaan dan kelamin dalam novel yang terbit pertengahan 2016 itu? Yuk, beli novelnya. []