Jeihan Sukmantoro dikenal sebagai pelukis figur mata hitam yang didominasi warna gelap.Dia kini menggelar pameran tunggal dengan tema “Sufi/Suwung”. Cuma satu lukisan mata hitam, selebihnya lukisan gaya baru dengan warna ceria dan kearab-araban.
Pelukis kelahiran Surakarta 1938 itu membuka pameran di kediamannya, Studio Jeihan, Jalan Padasuka 143-145 Bandung, tak jauh dari Saung Angklung Udjo. Pameran dibuka dengan peluncuran buku “Jeihan: Maestro Ambang Nyata dan Maya” yang ditulis Mikke Susanto, bertepatan dengan Hari Kelahiran Pancasila, Kamis (01/06/2017) malam.
Selain pelukis, Jeihan juga membuat patung, puisi, keramik, hingga meubel. Puisisnya berjudul “Suwung”—sesuai dengan tema pameran—dibacakan sebagai pembuka pameran. Lalu sambutan singkat disampaikan Mikke Susanto.
Mikke mengatatakan, pameran itu berbeda dengan pameran lukisan Jeihan sebelumnya. “Secara khusus pameran ini tak menyajikan mata hitam kecuali satu lukisan di belakang kami ini, lukisan Nyi Roro Kidul,” katanya, mengacu pada lukisan berjudul “Ratu Laut Nusantara”, 300×400 cm.
Satu-satunya lukisan figur itu sebagai respons Jeihan pada nusantara sebagai negara kepulauan. Lukisan itu berupa seorang perempuan memakai pakaian serba putih, juga kerudung. Dia berdiri seperti melayang, di bawah bulan sepotong. Mata perempuan itu hitam legam, dengan background biru gelap.
Kecuali lukisan “Ratu Laut Nusantara”, lebih dari 20 lukisan lainnya yang dipamerkan menyajikan “dunia sufi” ala Jeihan, dunia yang melukiskan “Keilahian yang selama ini bagian dari ambang nyata dan maya,” kata Mikke.
Lukisan-lukisan sufi ala Jeihan itu tertata di dinding pameran lantai satu dan dua Studio Jeihan. Di antara semua lukisan, ada beberapa kesamaan yang mempertemukan satu lukisan dengan lukisan yang lain, yakni warna-warna cerah hijau dan kuning. Meski ada juga lukisan dengan latar gelap.
Satu lagi persamaan dari semua lukisan itu adalah ditemukannya huruf-huruf Arab atau Hijaa’iy. Misalnya pada lukisan “Nur (cahaya)”, Jeihan melumuri kanvasnya dengan warna hitam pekat. Di atas lukisan ia menuliskan nuun, waaw, raa dengan cat putih.
Namun pada lukisan lain lebih didominasi warna-warna terang seperti hijau, biru, kuning, dan merah. Jeihan memainkan warna-warna tersebut dalam sapuan kuas vertikal maupun horizontal, ada juga motif lekuk-lekuk pinggang perempuan yang abstrak.
Di antara lukisan-lukisan yang mempermainkan warna terang itu, tetap ada yang dibubuhi huruf Arab. Tampaknya huruf Arab itulah yang mencerminkan dunia sufi ala Jeihan atau keilahian. Di masa tuanya, sepertinya Jeihan semakin religius.
Dalam pembukaan pameran itu, Jeihan melukis bersama dua seniman lain, yakni Tisna Sanjaya dan Nasirun. Jeihan melukis dengan cat hitam kesukaannya.
Tak jauh dari lukisan hitam itu, terdapat lukisan “Sufi/Suwung” lain di kanvas jumbo dengan latar biru yang tercabik warna putih dengan rona kuning dan hijau. Sepintas garis putih itu mirip horizon di laut saat senja. Di atas garis putih ada huruf Arab “taa”.
Jeihan menjelaskan tema sufi yang diusungnya, pada dasarnya munculnya seni untuk mendekatkan diri pada sang pencipta. “Sufi itu usaha manusia mendekatkan diri pada sang pencipta, yaitu Allah SWT. Kesenian atau berkesenian itu sesungguhnya mencari jalan kembali ke asal,” jelas Jeihan, kepada wartawan.
“Timbulnya kesenian ketika orang mulai sadar, sejak Homo sapiens, ketika makhluk seperti kita sudah mengerti tanda tanya, siapa, apa, dan sebagainya,” tambah seniman yang pada 1960 menempuh Seni Rupa ITB.
Pameran “Sufi/Suwung” digelar 2-20 Juni 2017. Sejumlah tokoh seni menghadiri pembukaan tersebut, antara lain Prof. Jacob Sumardjo (budayawan), HM. Nasruddin Anshoriy Ch (penulis dan pengasuh Pesan Trend budaya Ilmu Giri, Yogyakarta) dan KH. Zawawi Imron (penyair), Prof. Endang Caturwati dan lain-lain. []