More

    Perjalanan ke Gunung Lumbung, Benteng Terakhir Dipati Ukur

    Penulis : Muhammad Seftia

    Tepat di hari Minggu, 2 Desember 2018, saya berkesempatan untuk pergi mengunjungi Gunung Lumbung. Dalam pendakian yang diinisisasi oleh Komunitas Jelajah Gunung Bandung (JGB) ini dilakukan dalam waktu satu hari (pulang pergi). Kami menamakan perjalanan ini dengan Tektok Educatif, dimana dalam pelaksanaan kami bisa melakukan perjalanan wisata sejarah.

    Gunung Lumbung sendiri berada di wilayah Mukapayung Kecamatan Cililin – Kabupaten Bandung Barat. Bisa diakses melalui wilayah SD Lembang atau Daerah Cigadung Cikoneng.

    Mulanya, kami berkumpul di Alun-alun Cililin Pukul 08.00 WIB. Setelah semua berkumpul, perjalanan dimulai, pergi ke arah Mukapayung / Batulayang. Semua berhenti dan memarkir kendaraan di SD Lembang dan mulai berjalan kaki naik ke Gunung Lumbung sekitar jam 9.30 pagi.

    - Advertisement -

    Berhubung saya datang terlambat, setelah sebelumnya berkoordinasi dengan kawan yang sudah datang lebih dulu, saya memilih menyusul dan berangkat untuk melalui jalur yang lainnya, yaitu jalur dari Kampung Cigadung Desa Mukapayung Kecamatan Cililin. Tidak lain dari sisi yang bersebrangan dengan kawan-kawan yang telah lebih dulu berangkat.

    Kondisi kedua jalur yang dipakai relatif sama, yaitu melalui jalur pemukiman warga yang khas dengan suasana desa, jalan yang relatif landai melalui jalur tanah setapak, sawah, dan juga kebun. Tidak disangka, meski terlambat, namun saya datang di puncak lebih dulu. Di sana masih belum ada rombongan yang hadir. Namun, berselang beberapa menit, sekitar jam 10.30 WIB, dari jalan yang bersebrangan sudah mulai terdengar suara, pertanda rombongan sudah dekat dan segera tiba.

    Di puncak terdapat Batu dan diyakini sebagai arca peninggalan Dipati Ukur abad 17. Keyakinan ini berasal dari berbagai informasi yang dihimpun, entah itu dari sumber literasi ataupun cerita masyarakat setempat. Masyarakat setempat mempercayai bahwa arca tersebut merupakan patilasan Eyang Dalem Dipati Ukur, atau kurang lebihnya yang kita kenal sebagai Dipati Ukur sendiri.

    Kondisi di puncak relatif luas. Batu atau arca peninggalan Dipati Ukur tersebut berada persis di atas puncak dan dikelilingi oleh ladang yang dipakai masyarakat untuk bercocok tanam. Tidak jauh dari arca, ada gubuk atau saung petani yang biasa dijadikan sebagai tempat istirahat.

    Kisah Benteng Terakhir Dipati Ukur

    Batu yang diyakini sebagai arca peninggalan Dipati Ukur abad 17.

    Sekitar awal abad 17, Bandung saat ini adalah bagian dari wilayah Tatar Ukur (Ukur Sasanga) yang diperintah oleh seorang Adipati, yaitu Adipati Ukur.

    Dipati Ukur adalah orang yang dihormati di Tatar Priangan atau Tatar Ukur. Gunung Lumbung adalah salah satu tempat ia dalam akhir perlawanannya terhadap Mataram.

    Pada Masa pemerintahan Dipati Ukur, wilayah Tatar Ukur mencakup sebagian wilayah Jawa Barat yang terbagi ke dalam 9 wilayah yang disebut Ukur Sasanga; Ukur Bandung (Wilayah Banjaran dan Cipeujeuh), Ukur Pasir Panjang (Majalaya dan Tanjungsari), Ukur Biru (Ujung Berung wetan), Ukur Kuripan (Ujung Berung Kulon, Cimahi, Rajamandala), Ukur Curugagung (Cihea), Ukur Aranon (Wanayasa), Ukur Sagaraherang (Pamanukan, Ciasem), Ukur Nagara Agung (Gandasoli, Adiarsa dan Sumedangan), Ukur Batulayang (kopo, Rongga dan Cisondari).

    Sekitar Tahun 1620, Kerajaan Sumedang Larang ditaklukan oleh Mataram dan sejak saat itu, Status Sumedang Larang berubah menjadi kabupaten dengan nama Kabupaten Sumedang. Di bawah penguasaan Mataram yang diperintah Sultan Agung, Aria Suriadiwangsa diangkat menjadi Bupati wedana Priangan dengan gelar Pangeran Rangga Gempol Kusumadinata atau biasa dikenal sebagai Rangga Gempol I. Wilayah Priangan dijadikan sebagai wilayah pertahanan oleh Mataram karena sebagai antisipasi dari serangan Banten dan VOC setelah sebelumnya Mataram bermusuhan dengan mereka.

    Tahun 1624, Sultan Agung mengutus Rangga Gempol I untuk menyerang daerah Sampang. Untuk menggantikan posisi Rangga Gempol I, Sultan Agung mengangkat adik dari Rangga Gempol I menjadi Bupati wedana yang bernama Pangeran Dipati Rangga Gede. Tidak lama setelah itu, wilayah Sumedang diserang oleh Banten. Karena sebagian pasukan sedang berangkat ke Sampang, Pangeran Dipati Rangga Gede tidak bisa mengantisipasi serangan dan mengakibatkan pasukan dipaksa kalah. Akibatnya, Sultan Agung memberi hukuman kepada Dipati Rangga Gede dengan menahannya di Mataram. Untuk menggantikan posisi Dipati Rangga Gede, Sultan Agung lalu mengangkat Dipati Ukur, dengan catatan yang sama, yaitu bisa menaklukan Banten dan VOC.

    Tahun 1628, Sultan Agung memerintahkan Dipati Ukur dan Tumenggung Bahurekso untuk menyerbu VOC di Batavia dengan masing-masing membawa 10.000 pasukan. Mereka memilih jalan berbeda, darat dan laut, dan mereka berjanji untuk bertemu di Karawang.

    Setelah beberapa hari Dipati Ukur menunggu, Bahurekso tak kunjung datang. Akhirnya, Dipati Ukur memutuskan untuk menyerang Batavia. Namun, karena persenjataan kurang memadai, pasukan Dipati Ukur digempur habis-habisan dan dipaksa untuk mundur. Setelah itu, Dipati Ukur dengan pasukannya bersembunyi di Gunung Pangparang.

    Bahurekso merasa marah saat mengetahui Dipati Ukur tidak ada di Karawang. Ia segera menyerang Batavia meski akhirnya ia harus bernasib sama dengan Dipati Ukur, menerima kekalahan. Akhirnya Bahurekso mundur kembali ke Karawang. Setelah Bahurekso mendapat informasi tentang keberadaan Dipati Ukur, Ia segera bergegas kembali ke Mataram dan melaporkan apa yang terjadi kepada Sultan Agung.

    Selama Dipati Ukur di Gunung Pangparang, Ia melakukan musyawarah dengan para pengikutnya. Ia menyadari risiko dari kegagalan yang Ia terima. Kegagalan akan membuatnya dihukum oleh Mataram. Oleh karena itu, obrolan yang dilakukan dengan para pengikutnya melahirkan perdebatan, ada yang memilih untuk kembali ke Mataram, ada juga yang memilih untuk melawan. Beberapa pengikut Dipati Ukur yang berada di Gunung Pongporang yang tidak setuju dengan pilihan melawan, mereka kembali ke Mataram dan melaporkannya.

    Sultan Agung mengutus Bahurekso untuk menangkap Dipati Ukur. Perang tidak terelakkan, Dipati Ukur terdesak dan berhasil meloloskan diri. Ia bersembunyi dari tempat ke tempat. Dari Ciparay hingga ke Wilayah Cililin, tepatnya di Gunung Lumbung. Di sini, Dipati Ukur hidup menyamar sebagai warga biasa. Setelah sekian lama hidup di Gunung Lumbung, pasukan Mataram tiba dan menyerbu, namun Dipati Ukur berhasil bersembunyi. Beberapa pasukan Dipati Ukur ada yang pergi ke Batavia dan Banten, namun Dipati Ukur tetap berada di Gunung Lumbung. Berselang beberapa lama, serangan kedua terjadi, kali ini Dipati Ukur berhasil ditangkap pada 1632. Dipati Ukur ditangkap dan dihukum di Mataram.

    Selain Gunung Lumbung, banyak sekali tempat yang dipercaya sebagai petilasan dan peninggalan Dipati Ukur. Seperti Gunung Bukitcula, Gunung Pangparang, Pabuntelan (wilayah Tenjonagara) sampai Situ Cisanti Gunung Wayang.

    Perjalanan Pulang

    Berfoto bersama di depan Batu yang diyakini sebagai arca peninggalan Dipati Ukur abad 17.

    Setelah beristirahat dan berbincang-bincang, sekitar jam 1 siang kami kembali melanjutkan perjalanan. Searah jalan pulang, kami mencoba mengunjungi puncakan yang berada di sebelah barat puncak Gunung Lumbung, namanya Pasir Nagara. Jalan kembali menurun sampai dengan lembah, dari lembah jalan kembali naik dan sampailah di Pasir Nagara. Di sini, kondisinya relatif lebih terbuka, minim pepohonan, sehingga pemandangan ke sekitar daerah Gunung Lumbung dan Pasir Nagara tampak jelas.

    Tidak lama berada di Pasir Nagara, kami memutuskan untuk turun dan pulang. Sekitar jam 2 siang semua sudah mulai berjalan menuruni gunung. Sekitar 20 menit berjalan, saya dan rombongan berpisah di sebuah jalur persimpangan untuk kembali ke titik keberangkatan masing-masing. Saya tiba di rumah warga tempat menyimpan kendaraan sekitar jam 3 dan segera bergegas pulang.

    Perjalanan yang didalangi oleh JGB ini patut diteruskan. Selain dari sekadar main atau pendalaman sebuah Agenda yang dulu sempat dilaksanakan—Ekspedisi 7 Puncak Gunung Bandung, representasi wilayah Ukur / Tatar Ukur, kami juga bisa menggali sejarah atau budaya masyarakat setempat.

    Belum lagi, jika satu tempat dan lainnya memiliki kisah yang saling berkaitan, tentu ini akan menjadi kajian yang menarik. Atau bahkan satu dan lain tempat memiliki kisahnya sendiri terkait sejarah, adat, tradisi sampai budaya masyarakat kaki gunung.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here