More

    ITB Kelola Sendiri Sampahnya

    Adima – Koresponden

    Petugas memilah sampah sebelum dimasukkan ke dalam mesin pembakar sampah atau incenerator di Pusat Pengolahan Sampah Institut Teknologi Bandung (ITB), Sasana Budaya Ganesha, Bandung, Rabu (2/11). Setiap harinya para petugas di tempat ini mendapatkan kiriman sampah sekitar 20 kubik dari seluruh fasilitas ITB. FOTO : ADIMA

    BANDUNG,KabarKampus— Institut Teknologi Bandung (ITB) belajar banyak dari kejadian longsor sampah di Tempat Penampungan Akhir (TPA) Leuwi Gajah pada tahun 2004 lalu. Selepas kejadian tersebut, kampus yang melahirkan proklamator Indonesia, Soekarno, memutuskan untuk mengelola sampahnya sendiri.

    Saat ini, lima tahun setelah kejadian, kegiatan pengelolaan sampah di Pusat Pengolahan Sampah ITB berjalan setiap hari dengan melibatkan 11 orang pekerja. Salah satunya adalah Asep Maman, 58 tahun, yang bertanggung jawab untuk urusan sampah organik. Saat KabarKampus menghampirinya, Asep sedang sibuk memperbaiki satu dari tiga mesin pencacah sampah organik.

    - Advertisement -

    “Ini biar bisa kerja lebih cepat,” kata dia sembari mengelas mesin tersebut.

    Optimalisasi mesin pencacah menjadi penting karena setiap harinya pusat pengolahan sampah mendapatkan kiriman sekitar 20 kubik sampah organik dan anorganik dari seluruh fasilitas ITB. Kemudian sampah ITB diangkut dengan menggunakan dua unit mobil yang masing -masing memiliki kapasitas 3,5 meter kubik. Dalam bak mobil pengangkut yang sehari berjalan dua hingga tiga kali balikan, sudah ada pemisah di bagian tengahnya.

    “Ada juga sampah dari warga yang termasuk rukun warga di sekitar ITB. Tapi rata-rata sebanyak itu,” terangnya.

    Sampah organik seperti daun dan rumput dicacah oleh Asep agar bentuknya menjadi lebih halus. Setelah dicacah, sampah akan dikomposkan menjadi pupuk organik. “Biasa matang setelah satu bulan,” tambah dia.

    Setiap kantung pupuk organik berkapasitas tiga kilogram dijual dengan harga Rp 3 ribu. Untuk sampah berupa karton duplek dan wadah plastik bekas air mineral ditampung untuk kemudian dijual kepada penampung.

    Sampah lainnya yang tidak bisa dimanfaatkan kembali akan masuk ke mesin pembakar sampah yang disebut incinerator. Untuk membuat instalasi pembakaran sampah dengan suhu tinggi kampus ITB mengeluarkan dana hingga Rp.400 juta. Kapasitas mesin pembakar mencapai 100 kilogram sampah per jam.

    Meski tidak menarik retribusi dari proses pengumpulan sampah, Pusat Pengolahan Sampah ITB yang berlokasi di Sasana Budaya Ganesha dapat memberikan penghasilan buat warga sekitar. “Saya dapat Rp 1,1 juta setiap bulannya. Belum pemasukan sampingan dari rongsokan,” kata Ahmad, 41 tahun, yang sudah dua tahun bekerja.

    Ainur Rofiq, alumnus jurusan Biologi ITB angkatan 2000 menyambut baik upaya pengelolaan sampah ini.

    Seharusnya,  Pemerintah Kota Bandung mengupayakan agar masyarakat mau mengelola sampahnya sendiri secara komunal. “Sehingga kita tidak perlu lagi tergantung kepada tempat penampungan akhir, selain itu akan ada nilai ekonomi yang bisa dimanfaatkan,” ujar dia.

    Ainur mengungkapkan, pengelolaan sampah secara komunal tepat untuk Kota Bandung yang volume sampahnya mencapai 2 ribu meter kubik per hari. “Radius pengelolaan sekitar 10 kilometer persegi. Berdasarkan perhitungan yang pernah saya lakukan bersama dosen, konsep ini bisa dilakukan dalam skala seribu kepala keluarga,” paparnya.

    Semoga saja konsep pengelolaan sampah seperti ini bisa ditiru dan dikembangkan oleh masyarakat yang lain. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here