More

    Tragedi Bima Berdarah Pemerintah Tak Punya Nurani

    Frino Bariarcianur

    ILUSTRASI FOTO : AHMAD FAUZAN

    JAKARTA, KabarKampus–Warga Lambu tak terima tanah mereka rusak gara-gara penambangan emas. Mereka pun protes tapi akhirnya satu demi satu tewas ditembak aparat keamanan.

    Tragedi itu terjadi pada Sabtu, 24 Desember 2011, saat warga Lambu yang tergabung dalam Front Rakyat Anti Tambang (FRAT) menggelar aksi demonstrasi di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat.

    - Advertisement -

    Mereka menuntut Bupati Bima, Ferry Zulkarnain, agar mencabut izin eksplorasi pertambangan emas yang dilakukan oleh PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) seluas 24.800 hektare. Tuntutuan ini beralasan karena sebagian besar Warga bekerja sebagai petani dan nelayan. Mereka cemas jika eksplorasi terus dilakukan akan mengakibatkan kerusakan lingkungan. Artinya masa depan mereka terancam.

    Senin, 19 Desember 2011, FRAT yang terdiri dari warga kecamatan Sape, Lambu, dan Langgudu juga mahasiswa serta pemuda melakukan aksi demonstrasi.

    Koordinator aksi, Hassanuddin seperti dikutip dari BABUJU.COM (20/12) mengatakan “Masyarakat Sape, Lambu dan Langgudu adalah masyarakat yang bermata pencaharian sebagai Petani, Peladang dan Nelayan yang mengharapkan kebijakan pembangunan pada sektor pertanian dan kelautan. Namun, kontradiksi dengan keinginan pemerintah itu sendiri yang menjadikan wilayah Lambu, Sape dan Langgudu sebagai wilayah pengembangan sektor pertambangan.”

    Pada tanggal 20 Desember 2011, warga akhirnya menduduki pelabuhan Sape, Bima. Pelabuhan ini merupakan urat nadi perekonomian antara NTB dan NTT. Jika pelabuhan “macet” dipastikan distribusi barang kebutuhan hidup masyarakat NTT macet pula.

    Sehari kemudian, 21 Desember 2011, Bupati Bima di depan warga mengatakan,” Mencabut SK terkait Pertambangan Lambu tidak bisa kami lakukan, sebab UU sangat jelas mengatur itu. kecuali Menghentikan sementara waktu dan UU menetapkan 1 tahun utk penghentian sementara atas Pertambangan yg dimaksud.”

    Pada tanggal 22 Desember 2011, pelabuhan Sape, Bima masih diduduki oleh warga yang tergabung dalam FRAT. Mereka juga menuntut pembebasan Adi Supriyadi selaku koordinator aksi yang ditangkap Polresta Bima sebulan lalu. Adi Supriyadi, aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) ditangkap polisi karena diduga sebagai provokator dalam unjuk rasa di Kantor Camat Lambu pada bulan Februari 2011. Warga pada saat itu membakar kantor camat Lambu.

    Memasuki hari kelima, 23 Desember 2011, denyut perekonomian NTB dan NTT terganggu. Harga tomat, bawang merah, bawang putih serta kebutuhan makan di daerah Flores NTT menjadi mahal. Warga yang rata-rata petani itu tetap pada pendirian. Bupati Bima harus mencabut ijin eksplorasi PT SMN.

    Situasi menjadi sulit. Pihak keamanan tidak tinggal diam. Tidak tanggung-tanggung hampir seluruh pihak keamanan di Kabupaten Bima turun ke pelabuhan. Lengkap bersenjata. Berpeluru tajam.

    Pada tanggal 24 Desember 2011, pagi hari cuaca cerah, warga masih bertahan di Pelabuhan Sape. Sekitar pukul 06.00 WITA aparat melakukan pengepungan. Juga meminta agar warga meninggalkan pelabuhan. Tapi peringatan tidak diindahkan oleh warga. Tetap duduk tenang. Namun tiba-tiba, Sabtu pagi menjadi Tragedi Berdarah.

    Berdasarkan cerita Adi Rahmat dari Partai Rakyat Demokratik kepada Media Indonesia, sekitar pukul 08.30 WITA pihak kepolisian melakukan penembakan yang membabi buta dengan arah yang mendatar kepada warga. Mendengar tembakan tersebut, warga kalang kabut melarikan diri. Namun sayang kekejaman itu menelan korban jiwa.

    Anak-anak, kaum perempuan berteriak ketakutan. Mereka berlari. Tapi pihak kepolisian terus menembaki. Diantara mereka pun ada yang terkena peluru pihak kepolisian. Situasi mencekam. Sampai sore polisi melakukan penyisiran di kecamatan Lambu melalui Desa Soro, Malayu, Sumi, hingga Rato. Situasi masih tidak terkendali.

    Korban berjatuhan.

    Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) NTB, Ali Usman, mengatakan korban meninggal karena ditembak aparat keamanan. Mereka adalah Arif Rahman (19) tewas dengan luka tembak di lengan kanan, tembus ke ketiak. Kedua, Saipul (17) tewas dengan luka tembak di bagian dada.

    Dalam keterangannya kepada sejumlah media, satu korban luka tembak di leher belum teridentifikasi. Jadi korban yang tewas berjumlah 3 orang.

    Sementara korban lain yang juga terkena peluru aparat keamanan masih dirawat di Rumah Sakit Bima. Diantaranya : Dulana (23), Ibrahim Ama Lina (52), Iriani (50), Kasma (45), Ismail (55), Yaomin (27), Sabati (23), M Saleh Ama Huda (45), Ridwan Ahmad (17), M Ali (50), Hambali (20), dan Ilias (23).

    Masih banyak lagi korban yang menderita akibat kekejaman yang dilakukan pihak kepolisian. Pemerintah Kabupaten Bima, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pemerintah Pusat juga seluruh jajaran aparat pun kebakaran jenggot. Saling lempar kesalahan.

    Pihak kepolisian sangat cepat menetapkan sejumlah tersangka. Tapi pihak kepolisian tidak tahu siapa yang menembak warga Lambu.

    Apakah salah jika seseorang atau sekelompok orang mempertahankan hak mereka. Tanah yang mereka pertahankan adalah tempat mereka menyambung hidup dari generasi ke generasi. Emas yang diyakini mampu menaikkan taraf hidup bukanlah emas kehidupan. Ia adalah bara kebencian dan dendam.

    Tragedi ini bukti nyata pelanggaran HAM sekaligus membuktikan bahwa pemerintah Indonesia memang tidak memiliki hati nurani. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here