More

    Polri dan DPR Musuh Kebebasan Pers 2012

    Ahmad Fauzan Sazli

    Eko Maryadi, ketua AJI Indonesia (kiri) bersama perwakilan dari LBH Pers yang menerima penghargaan Tasrif Award pada resepsi Hari Ulang Tahun AJI ke-18 di Galeri Nasional, Jakarta, (07/08). FOTO : AHMAD FAUZAN SAZLI

     

    Jakarta, KabarKampus – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menetapkan Polri dan DPR RI sebagai musuh kebebaan pers tahun 2012. Kedua lembaga tersebut dianggap telah memperburuk situasi kemerdekaan pers di Indonesia, sekaligus meningkatkan resiko jurnalis menjadi korban kekerasan dan pemidanaan.

    - Advertisement -

    Menurut Eko Maryadi, ketua AJI Indonesia, Kekerasan yang dilakukan oleh Polri meningkat tajam saat terjadi gelombang unjuk rasa menolak rencana kenaikan BBM oleh pemerintah. Penanganan pengunjuk rasa oleh polisi berujung kekerasan terhadap jurnalis yang meliput berbagai unjuk rasa di berbagai daerah.

    “AJI Indonesia menyayangkan kekerasan yang dialami oleh jurnalis padahal polisi mengetahui keberadaan jurnalis. Kekerasan justru terjadi karena oknum polisi ingin merampas alat kerja jurnalis yang telah merekam bagaimana kinerja polisi menangani para pengunjuk rasa,” kata Eko pada resepsi Hari Ulang Tahun AJI ke-18 di Jakarta, Selasa (07/08).

    Eko menyatakan, hingga 2012 Polri sebelumnya telah enam kali ditetapkan sebagai musuh kebebasan Pers, tahun 2000, tahun 2003, tahun 2004, tahun 2005, tahun 2006, dan tahun 2008. “Itu menunjukkan reformasi institusi Polri hanya retorika. Sampai sekarang tak ada satupun aparat Polri dihukum karena melakukan kekerasan terhadap jurnalis,” terang Eko.

    AJI juga menetapkan produk-produk hukum yang tidak demokratis sebagai musuh kebabasan Pers. Sejumlah produk hukum buatan politisi di Senayan itu ternyata berpotensi memidanakan jurnalis dan mengancam kebebasan pers.

    Aryo Wisanggeni, koordinator Divisi Advikasi AJI mengungkapakan, ada dua Undang-undang yang dibuat oleh DPR pada 2011 dan 2012 yang mengacam kebebaan Pers. Undang-undanga no. 17 tahun 2011 tentang intelijen negara dan UU no. 7 2012 tentang penanganan konflik sosial. Berbagai rumusan pasal karet mengancam pemenuhan hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.

    “Undang-undang ini juga berpotensi disalahgunakan untuk memenjarakan jurnalis,” kata Aryo.

    Menurut Aryokerja DPR RI mengesahkan kedua UU tidak secara langsung melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Namun, kedua UU diatas secara masif mengubah serta mempengaruhi iklim kerja jurnalistik, dan pada masa yang akan datang berpotensi menimbulkan kekerasan atau pemidanaan terhadap kerja jurnalis dalam memenuhi hak warga negara akan informasi.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here