More

    Tiga Jurus Melani Membedah SGA

    Ahmad Fauzan Sazli

    Seno Gumira Ajidarma (dari kanan), kemudian Dr. Melani Budianta, Martin Alaida, dan Damhuri Muhammad dalam acara bincang tokoh “Dunia Ide Seno Gumira Ajidarma, Antara Fakta dan Fiksi” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, (14/11/2012). FOTO : AHMAD FAUZAN SAZLI

    - Advertisement -

    JAKARTA, KabarKampus – Meski bukan pendekar silat, perjalanan kepengarangan Seno Gumira Ajidarma (SGA) diulas bak seorang pendekar silat. Adalah Dr. Melani Budianta, Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia menelaahnya.

    “Ada tiga hal penting yang dapat digunakan untuk menelaah kepengarangan SGA. Pertama, “perguruan” macam apa yang menjadi yang menjadi sumber pertumbuhan kepengarangannya. Kedua,  jurus-jurus apa yang ditempa dan menjadi ciri khasnya. Dan ketiga, jenis petualangan, pencarian dan obsesi apakah  yang melandasi kepengarangannya,” kata Melani dalam acara bincang tokoh mengenai “Dunia Ide Seno Gumira Ajidarma, Antara Fakta dan Fiksi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Rabu, (15/11/12).

    Menurut Melani, lingkungan yang paling menentukan  dalam pengembangan kepengarangan SGA adalah buku dan budaya populer pada 1960-an dan 1970-an. Seno tumbuh dalam cerita petualangan Karl May yang menjadi cerita wajib saat itu. Kemudian karya Sebatang Kara karya Hector Mallot dan Tom Sawyer, komik dalam negeri R.A Kosasih sampai komik petualangan Jan Mintaraga.

    “Pilihan tersebut tercermin dalan pilihan karir SGA yang mengirimkan puisi ke majalah Horizon ketika remaja, memilih jurusan film di SPKJ (IKJ) dan menjadi wartawan dan fotografer,” jelas Melani.

    Selanjutnya adalah  petualangan berseri mengembangkan jurus lintas bentuk. Menurut Melani, SGA menghasilkan ratusan cerpennya dengan berbagai genre secara konsisiten dari tahun ke tahun. Dalam melatih jurusnya, SGA kadang memainkan sudut  pandang, siapa yang bicara, apakah dia orang ketiga atau orang pertama. Kadang SGA juga memainkan cerita berbingkai, bermain dengan majas, hiperbola, dan metafora.

    Melani mengungkapkan, ia melihat jurus- jurus tersebut dibuat secara berseri melalui tema-tema atau cerpen yang berseri. Seperti seri Sukab, SGA menggunakan Sukab terus menerus. “Ini seperti orang latihan silat melatih jurus sampai mapan. Sehingga muncul dari latihan ini, SGA menemukan gayanya, gaya yang kemudian disebut gaya Seno yang menjadi ciri khasnya,” jelas Melani.

    Selanjutnya adalah misi kependekaran Seno. Melani mengungkapakan, misi kependekaran SGA konsisten menunjukkan kepedulian pada persoalan kemanusiaan, solidaritas kepada yang tertindas dan kritik kepada penguasa.

    Dalam esainya berjudul “Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicar,” Seno cukup gamblang menjelaskan posisi tersebut. Ketika Seno sebagai jurnalis menyuarakan  protes terhadap kekerasan di Dili dan mengalami sensor oleh penguasa orde baru dan  dan oto-sensor media cerpen dan medianya bersaksi dengan caranya sendiri.

    Seno Gumira Ajidarma adalah pengarang yang banya menghasilkan karya fenomenal, antara lain seperti Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius(1993), Saksi Mata (l994), Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi(1995), Sebuah Pertanyaan untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Pernah Mati (1999), Matinya Seorang Penari Telanjang (2000), Negeri Senja (2004), dan Kitab 0mong Kosong (2005). Pada tahun 1987 Seno mendapat Sea Write Awards, pada 1997 mendapat  Dinny O’Hearn Prize for Literary, serta pada 2004 dan 2005 meraih Khatulistiwa Literary Awards. Pada 2012 ia mendapat Achmad Bakrie Awards, tapi ditolaknya.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here