Ahmad Fauzan Sazli
Dr. Kurtubi, pakar perminyakan
JAKARTA, KabarKampus – Indonesia sangat kaya akan migas, jumlahnya lima kali lipat dari jumlah minyak bumi yang ada dalam perut Indonesia. Dengan kekayaan migas tersebut Indonesia tidak akan kehabisan migas selama 50 – 100 tahun mendatang.
Namun menurut Dr Kurtubi, pakar perminyakan Indonesia, pemerintah masih ragu dan setengah hati menkonversi Bahan Bakar Minyak menjadi Bahan Bakar Gas. Pemerintah justru mengurangi subsidi BBM dengan menaikkan harga BBM.
“Padahal dampak menaikkan BBM tersebut adalah pertumbuhan ekonomi turun, ketergantungan minyak impor tinggi, ketahanan energi nasional rawan, harga barang dan jasa meningkat.” Kata Kurtubi dalam diskusi Menggugat Kenaikan BBM di LBH Jakarta, Kamis, (13/06/2013).
Menurut Kurtubi, ketergantungan imor minyak tersebut, membuat Indonesia mengalami defisit perdagangan minyak. Impor Minyak Indonesia lebih besar dari dari ekspornya.
Ia menjelaskan, seharusnya kebijakan energi dan implementasi kebijakan energi nasional Indonesia mendorong penggunaan gas. Dengan penggunaan migas dapat mengurangi subsidi BBM, mengurangi ketergantungan pada impor BBM, serta memperkuat ketahanan energi nasional. Pemerintah tinggal membangun infrastruktur gas untuk kendaraan pribadi, angkutan umum, seperti bajai, taksi dan sebagainya.
“Ini lebih murah tidak memerlukan pembebasan lahan,” jelas Kurtubi.
Sebenarnya menurut Kurtubi, cara lain agar agar pemerintah tidak perlu mencabut subsidi BBM adalah dengan membenahi harga ekspor migas ke negara lain. Indonesia masih menjual gasnya ke Cina dengan harga murah. Padahal bila dijual dengan harga standar, maka pendapatan negara akan naik menjadi 30 Trilyun.
“Subsidi untuk Bahan Bakar Minyak dapat tertutupi dengan pendapatan gas tersebut,” jelasnya.
Kurtubi menuturkan, konversi dari BBM ke BBG sebenarnya sudah dicanangkan bertahun-tahun oleh pemerintah. Tapi infrastrukturnya tidak dibangun. Dana anggaran untuk membeli infrastruktur tersebut dipakai untuk membeli yang lain.
Kurtubi mencurigai, dipilihanya kebijakan menaikkan harga minyak kemudian memberikan Bantuan Langsung Tunai merupakan taktik menjelang pemilu untuk partai berkuasa. Dengan BLT sebesar 30 trilun yang diberikan langsung kepada masyarakat membuat masyarakat berhutang budi.
“Dan mereka akan memilih partai tertetu. Ini kecurangan demokrasi. Karena uang negara dipakai untuk memberikan citra positif untuk partai tertentu,” jelasnya.[]