More

    Candra Malik Membumikan Tulisan Dengan Panca Indra

    Candra Malik. Foto : Fauzan Sazli
    Candra Malik. Foto : Fauzan Sazli

    BANDUNG, KabarKampus – Dalam membuat karya sastra atau musik, yang mahal adalah idenya. Namun kadang orang menggunakan “berpikir” untuk mencari ide daripada panca indra. Padahal untuk menemukan ide bisa dimulai dengan panca indra.

    “Contohnya dalam menciptakan lagu. Si musisi tidak mungkin bepikir tentang suatu hal, dia  hanya melihat dan mendengarkan, mencium atau meraba. Contohnya dia lihat gitar, jadinya lagu “ku ambil gitar dan mulai kumainkan”. Bukan karena dia berpikir gitar,” kata Candra Malik, seorang sufi dan juga penulis dalam diskusi buku “Asal Muasal Pelukan” di KaKa Kafe, Jalan Tirtayasa, Bandung, Rabu, (15/06/2016).

    Contoh lainnya seperti lirik lagu “rumah kita sendiri” yang dibuat ketika melihat rumah. Kemudian lagu “Sepasang Sepatu” yang dibuat Tulus ketika melihat sepatu.

    - Advertisement -

    Penulis Buku Sekumpulan Esai Republik Ken Arok ini menjelaskan, ketika karya dibuat dengan mematikan panca indra, maka karya tersebut akan berjarak dengan masyarakat dan berjarak dengan pembaca.

    “Tapi saat ini kita ada lemah di sana, cendekiawan, kita hanya kerja pikiran dan itu akhirnya berjarak dengan masyarakat, berjarak dengan pembaca. Kita tidak lagi menemukan tulisan semembumi Gusdur, Umar Kayam, Cak Nun, yang bener bener intetek, tapi seperti bodo,” ungkap Candra Malik yang sering dipanggil Gus Can ini.

    Ia menuturkan, seorang pengkarya harus mengaktifkan kembali panca indranya, agar bisa menciptakan karya dalam waktu cepat atau menulis dengan sangat cepat. Atau bisa juga menggunakan jurus komedi situasi seperti Srimulat. Apa yang ada di sana dimainkan.

    “Kalau ada orang kribo orang kribo dihabisin, ada orang gundul, orang gundul yang dihabisin. Titik berangkatnya pada titik terdekat, apa yang kita alami saat itu. Ngga perlu cari, penokohan pikiran,” tutur pria yang sudah menelurkan dua album religi ini.

    Jadi menurut Gus Can, apa yang diraba, apa yang didengar, apa yang dilihat bisa menjadi sumber ide. Setelah menggunakan panca indra baru kemudian pikiran bekerja,

    “Kegiatan panca indra itulah yang membuat karya kita sangat manusiawi dan sangat membumi. Bisa dimengerti oleh yang paling awam dan bodoh. Kalau menurut Rasul, ilmu itu cahaya, ilmu itu menerangi bukan menggelapi. Kalau saya baca puisi berat maka itu bukan ilmu,” jelasnya.

    Penulis buku kumpulan cerpen Mustika Naga dan Mawar Hitam ini mengaku, bila dirinya memiliki mengerti background santra saja tidak mengerti, bagaimana teman yang lain. Artinya, kalau bicara hak, mereka yang sudah beli Koran Kompas sekian ribu, dia berhak mendapat informasi yang banyak. Kemudian dia melewatkan halaman puisi yang dia tidak mengerti.

    “Padahal dia sah mendaptkan segala informasi Kompas. Dan menjadi one prestasi bila kompas memberikan sesuatu yang tidak dimengerti oleh pembacanya. Ngga  bisa kamu bilang salahmu dewe. Ngga bisa begitu. Kamu bisa bilang, itu salah mu, kecuali itu terjadi di majalah sastra. Ketika koran umum memberikan puisi yang berjarak dari pembacanya. Minimal itu yang salah editornya,” terang Gus Can.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here