More

    Dosen NUS Ajak Mahasiswa Lihat Persoalan Masyarakat

    Prof Dr. Johannes Widodo, Dosen NUS memberikan seminar dengan tema "Responsible University for Sustainable Future di Bandung, Jumat, (03/06/2016). Foto : Fauzan
    Prof Dr. Johannes Widodo, Dosen NUS memberikan seminar dengan tema “Responsible University for Sustainable Future”di Bandung, Jumat, (03/06/2016). Foto : Fauzan

    BANDUNG, KabarKampus – Ditengah kapitalisme dan keserakahan yang melada dunia, pendidikan tidaklah hanya boleh berfokus pada ilmu pengetahuan saja. Namun bagaimana menerapkan sistem pendidikan holistik yang berfokus pada nilai dan etika.

    “Jadi pendidikan bukan hanya memberikan pengetahuan. Gampang pengetahuan bisa dicari di google  dan di wikipedia, skill bisa belajar sendiri, justru yang hilang di pendidikan adalah attitude,” kata Prof. Dr. Johannes Widodo, dosen National University of Singapore dalam Seminar Nasional “Towards Sustainable University” yang digelar Fakultas Ekonomi Unpar, di Bandung, Jumat, (03/06/2016).

    Menurut lulusan Arsitektur Unpar ini, salah satu yang bisa dilakukan perguruan tinggi adalah mengajak mahasiswa turun ke masyarakat. Mengubah kurikulum dari project based learning menjadi problem based learning.

    - Advertisement -

    “Kalau Jakarta banjir ajak mahasiswa nyebur ke Ciliwung dan mereka berpikir bagaimana menyelesaikan masalah Ciliwung,” kata Prof Johannes.

    Kemudian melihat bagaimana orang berjualan di pingir jalan, bagaimana orang goreng kerupuk dengan minyak yang sudah dipakai 100 kali. Kemudian bisa juga melihat bagaimana sumur  di rumah warga berada di sebelah kakus.

    “Tapi sekarang mahasiswa tidak pernah melihat itu, mereka nongkrong di kafe, browsing internet dan bikin tugas kuliah dengan copy paste,” ungkap profesor yang menyelesaikan gelar doktornya di University of Tokyo ini.

    Salah satu yang telah dilakukan NUS, kata Prof Johannes adalah dosen dan mahassiwa NUS bekerjasama dengan perguruan tinggi lokal membangun mushola dan tempat pertemuan di Kulon Progo, saat terjadi bencana di sana.

    “Mahasiswa NUS dari kota yang tidak punya kampung, yang tidak punya konflik agama, dihadapkan kepada masalah di Kulon Progo yang masyarakatnya muslim menolak bantuan dari universitas  Kristen, yang dananya dari komunitas kristian,” ungkap Prof Johannes.

    Dari sana mahasiswa NUS diajak menyelesaikan konflik dan masyarakat secara terbuka menerima bantuan. Hingga akhirnya masyarakat secara terbuka menerima pembangunan mushola dan balai pertemuan warga tersebut.

    “Dan mahasiswa  masuk dalam proses tersebut,” ungkap dosen Arsitektur ini.

    Ia menjelaskan, menurunkan mahasiswa kepada masyarakat untuk menyelesaikan berbagai persoaln seperti itu, bisa dilakukan pada saat liburan. Mahasiswa bisa mendapatkan dua atau tiga kredit SKS.

    “Tapi yang paling penting adalah mengubah cara pandang mahasiswa,” ungkap Profesor Johannes.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here