ENCEP SUKONTRA
BANDUNG, KabarKampus-Prof. Ir Adang Surahman M.Sc meyakini ada sejumlah manfaat dari pembongkaran gedung Panin Bank, Bintaro, Tangerang Selatan, khususnya bagi ilmu teknik sipil dan lingkungan.
Anggota Tim Ahli Bangunan Gedung (TABG) Tangerang Selatan yang turut mengawasi pembongkaran gedung 18 lantai itu mengungkapkan, pihaknya bersama kontraktor telah melakukan dokumentasi lengkap terkait pembongkaran gedung. Dokumentasi penting untuk melakukan studi bukan hanya pembongkaran, tetapi juga ketahanan gedung.
“Jadi kita pelajari cara yang sedang kita lakukan. Lalu kita lihat ada yang berhasil baik ada yang tidak. Itu barangkali akan menjadi acuan untuk ke depannya,” kata Adang Surahman saat berbincang dengan Kabar Kampus, Selasa (18/10/2016).
Ia mengatakan, Gedung Panin Bank menjadi gedung pencakar langit pertama di Indonesia yang diruntuhkan sesuai dengan prosedur resmi. Ditempuhnya langkah prosedural ini seharusnya menjadi contoh bagi pembongkaran gedung-gedung lain di Indonesia.
Dengan menempuh prosedur resmi, pembongkaran mempertimbangkan berbagai aspek, antara lain lingkungan. Kemudian pembongkaran diawasi Tim Ahli Bangunan Gedung.
“Yang menarik ini dilakukan di Kota Tangerang Selatan, kota yang baru dimekarkan. Kota ini bisa menjadi contoh yang bagus, karena di sana sudah ada TABG , di kota lain belum tentu ada,” ungkap Guru Besar ilmu teknik sipil dan lingkungan ITB ini.
Pembentukan TABG Tangerang Selatan bahkan hampir bersamaan dengan Bandung. “Padahal di Bandung banyak ahli ITB-nya,” ujarnya.
Pembongkaran gedung tersebut diharapkan bisa menjadi acuan bagi teknik pembangunan.
“Kita perlu acuan seperti ini. Saya kira ini akan banyak manfaatnya. Akan dimanfaat dan kita dokumentasinya sudah lumbayan, kawan-kawan sudah mengumpulkannya,” katanya.
Dipilihnya metode pemberatan dengan pasir sebagai cara untuk menghancurkan gedung juga akan memberikan masukan berarti bagi teknik bangunan. Para pakar yang terlibat harus menghasilkan hitungan yang pas sehingga bangunan bisa benar-benar rubuh.
Ia mengakui, kontraktor yang melakukan pembongkaran gedung menghadapi sejumlah kesulitan yang muncul karena tidak adanya dokumen rancangan gedung. Hilang atau tidak adanya dokumen rancangan awal gedung memang tidak bisa disalahkan.
Sebab, kata Adang Surahman, usia gedung tersebut sudah lebih dari 10 tahun. Dalam aturan memang disebutkan bahwa dokumen bangunan yang usianya sudah di atas 10 tahun boleh dimusnahkan.
“Jadi hilangnya dokumen tidak salah. Cuman sayangnya mereka tidak tahu bahwa umur bangunan kan 50 tahun, seharusnya selagi bangunan itu ada disimpanlah dokumennya. Boleh sih boleh dokumennya dimusnahkan, tapi alangkah baiknya kalau disimpan,” terangnya.
Masalah dokumen juga menjadi pelajaran penting dalam teknik bangunan. Akibatnya, proses penghancuran gedung beberapa kali meleset dari perhitungan awal. Pertama kontraktor mentargetkan Sabtu (15/10/2016) pagi penghancuran sudah selesai, dengan perhitungan gedung akan hancur setelah dibebani pasir seberat 50 ton.
Namun prediksi itu jauh meleset. Hingga Selasa (18/10/2016) beban pasir yang sudah diangkut ke puncak gedung sudah mencapai 180 ton. Tetapi gedung itu masih berdiri kokoh.
Kontraktor dan para ahli pun harus menghitung ulang. Hasilnya sebuah perhitungan yang jauh berbeda dengan perhitungan awal, bahwa gedung tersebut akan rubuh dengan pasir 400 ton.
“Kemungkinan banyak hal kenapa bisa meleset dari perkiraan,” jelas Adang Surahman.
Pertama, gedung tersebut diduga mengalami over desain, yakni adanya perbubahan desain awal gedung. Kedua, pembangunan gedung mengalami percepatan konstruksi. Untuk mempercepat konstruksi ini mutu betonnya ditingkatkan.
Contohnya, pembuatan beton dalam waktu normal memerlukan waktu 28 hari. Namun karena mutu betonnya ditingkatkan maka waktu yang diperlukan menjadi 15 hari saja dengan kekuatan beton yang meningkat dua kali lipat.
Kemungkinan ketiga, kata Adang Surahman yang juga pakar gempa bumi, gedung tersebut didesain untuk menghadapi goncangan gempa. “Nah, sekarang kita mau merubuhkannya dengan beban di atas. Jadi merubuhkan dengan beban dari atas itu beda dengan gempa. Jadi supaya rubuh perlu bebannya banyak,” terangnya.
Metode pembebanan dipilih karena dinilai paling aman dan ramah lingkungan, meskipun metode ini belum banyak teruji. Adang Surahman menyatakan metode pembebanan dengan pasir tidak perlu diuji karena sudah sesuai dengan logika.
Hanya saja dalam pelaksaanaan di lapangan, kontraktor tidak bisa bekerja ideal. Kontraktor melakukan pembebanan pasir menggunakan crane ke lantai 18 gedung. Dalam peletakan pasir, ada yang sesuai dengan target tetapi ada juga yang melenceng karena jangkauan crane yang terbatas. Sehingga peletakan menjadi tidak efisien.
Kendati demikian, Adang Surahman yakin pembebanan itu bisa membuat bangunan roboh. “Kalau peletakan pasirnya efisien barangkali dengan 300 ton saja bisa roboh. Tapi karena tidak efisien sehingga perlu bebannya lebih banyak,” terangnya.
Sebelum penerapan metode pembebanan, kontraktor sudah menyuntikan cairan kimia untuk melemahkan beton. Cairan yang diimpor dari luar negeri itu disuntikan pada balok-balok beton yang ada di lantai 17 dan 16.
Dengan adanya beban 400 ton di lantai 18, ditargetkan beton-beton di lantai 17 dan 16 yang sudah disuntik akan mengembang dan hancur. Hancurnya tiga lantai teratas diharapkan akan menimbulkan efek domino ke lantai bawah.
Meski tidak memakai bahan peledak, beton-beton di tiga lantai teratas diperkirakan akan meledak akibat efek beban berat di atasnya. Ledakan batang-batang beton yang hancur, menurut Adang Surahman, tidak akan berbahaya dalam radius 200 meter.
Sehingga warga yang menonton di luar radius tersebut akan aman, tidak akan terkena semburan puing-puing. “Kita rubuhnya ke dalam, impulsive, bukan ekplosif. Dan kita hanya ingin rubuhkan balok dan kolomnya saja. Sedangkan roll-nya tidak. Roll-nya nanti dibongkar manual,” terangnya.
Dari sejarah penghancuran gedung, memang penghancuran lebih banyak dilakukan dengan peledakan memakai dinamit. Namun Adang Surahman mengatakan, perlu ada perhitungan yang rumit untuk meledakan gedung Panin Bank. Selain itu, peledakan banyak mengandung resiko mengingat posisi gedung dengan gedung lainnya relatif dekat.
“Kalau kita pakai peledak, kita kan tidak tahu kekuatannya mesti berapa. Dan di sebelah bangunan itu ada mal yang jendelanya kaca. Jadi saya bisa bayangkan kalau diledakan itu pasti pecah kaca itu, paling jaraknya berapa 100 meteran. Padahal jarak amannya kita sudah hitung 200 meter. Jadi repotlah kalau pakai peledak,” ujarnya.
Ada juga metode penghancuran gedung dengan wreking ball atau bola logam yang beratnya 2,4 ton. Metode ini dinilai sama repotnya dengan metode dinamit karena akan menimbulkan suara berisik dan akan terkendala banyak masalah teknis.
Selain itu, kapasitas crane yang dimiliki kontraktor hanya mampu mengangkut beban 1,5 ton. Sedangkan menggunakan wreking ball yang beratnya 2,4 ton tidak bisa dilakukan sekali dua kali. []