More

    Demonstrasi Mahasiswa Papua di Semarang Dihadang Polisi

    Aksi mahasiswa Papua di Semarang di hadang polisi saat hendak longmarch dari Patung Kuda Undip, Senin, (20/03/2017). AMP Semarang

    SEMARANG, KabarKampus – Aksi puluhan mahasiswa dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) berujung bentrok dengan aparat Kepolisian. Buntut dari bentrok ini, seorang mahasiswa kepalanya berdarah dihajar polisi.

    Bentrokan terjadi pada saat mahasiswa ingin longmarch dari Patung Kuda Undip Semarang menuju Jalan Pahlawan, dan Bundaran Simpang Lima, Senin, (20/03/2017). Namun, belum jauh longmarch berjalan, mereka sudah dihadang aparat Kepolisian dan meminta mahasiswa kembali ke Patung Kuda.

    Menurut  Hupla Ney Sobolim, Sekertaris AMP Komite Kota Semarang-Salatiga, pada saat massa aksi baru bergerak, mereka dihadang oleh pihak kepolisian Polrestabes Semarang. Kepolisian ketika itu menyuruh massa aksi untuk kembali ke titik kumpul sebelumnya.

    - Advertisement -

    “Terjadi adu mulut dan sekitar 10 menit kemudiaan pihak belasan Aparat melakukan pemukulan kepada masa aksi, sehingga sempat terjadi keos dan pihak kepolisian mendorong beberapa masa masuk ke dalam mobil Sabhara memaksa masa aksi untuk naik ke dalam truk tetapi ditolak,” kata Hupla melaporkan kepada KabarKampus, Senin, (20/03/2017)

    Hupla mengatakan, pada saat itu Kepolisian melakukan pemukulan kepada salah mahasiswa bernama Yuli Gobai di kepala. Pemukulan ini mengakibatkan seorang mahasiswa berdarah di kepalanya. Setelah bentrokan tersebut, kata Hupla mereka kembali ke titik aksi di Patung Kuda Undip.

    Hupla mengungkapkan, dalam aksi tersebut, mereka menutut agar Freeport ditutup dan meminta diberikan hak penentuan nasib sendiri kepada bangsa Papua sebagai solusi demokratis bagi rakyat Papua. Mereka menganggap kehadiran Freeport adalah awal penajajahan dan pemusnahan rakyat bangsa Papua.

    “Saat pemerintah Indonesia menerbitkan ijin eksplorasi dan eksploitasi tambang Freeport melalui Kontrak Karya I yang diterbitkan pada 7 April 1967, rakyat dan bangsa West Papua tidak dilibatkan. Padahal status West Papua belum secara resmi diakui internasional sebagai bagian dari wilayah Indonesia. West Papua dalam status wilayah tak berpemerintahan sendiri,” ungkap Hupla.

    Begitu juga saat ini, kata Hupla, kisruh pemerintah Indonesia vs Freeport dalam soal bagaimana Ijin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Rakyat dan bangsa West Papua lagi tidak dilibatkan.

    Oleh karena itu, Hupla dan kawan-kawan mendesak agar Freeport diusir dan ditutup. Mereka juga menginginkan audit kekayaan Freeport dan buruhnya diberikan pesangon untuk buruh. Selanjutnya adalah mereka meminta kerusakan lingkungan di Freeport diaudit.

    “Berikan hak menentukan nasib sendiri solusi demokratik bagi bangsa West Papua.Usut, tangkap, adili dan penjarakan pelanggaran HAM selama keberadaan Freeport di Papua. Biarkan rakyat dan bangsa West Papua menentukan masa depan pertambangan Freeport di tanah West Papua,” tutup Hupla.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here