More

    Pekerja Kreatif Rawan Depresi

     

    Ilustrasi Pekerja Kreatif. Foto : jobsandcareermag.com

    Industri kreatif digadang-gadang bakal menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Pertumbuhan sektor ini terus tumbuh 43 persen dalam setahun. BPS mencatat sektor ekonomi kreatif telah menyerap 15,9 juta pekerja pada 2016 lalu.

    Namun Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) melihat sisi kesehatan dan keselamatan kerja banyak diabaikan ketika persoalan ekonomi kreatif menjadi perbincangan. Padahal pekerja industri kreatif Indonesia memiliki kecenderungan overwork dan depresi.

    - Advertisement -

    Seperti yang banyak terjadi di Jepang. Kementerian Perburuhan Jepang mencatat kerja lembur berlebih mengakibatkan 96 pekerja tewas karena sakit dan 93 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri karena gangguan mental atau yang dikenal dengan “Karosi”.

    “Saya cerita ke teman bahwa saya mengalami gejala depresi. Ternyata mereka pun mengalami gejala yang sama,” kata Anggota SINDIKASI Ellena Ekarahendy  dalam diskusi berjudul “Antara Dedikasi dan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)” yang diselenggarakan SINDIKASI bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) serta Federasi Serikat Pekerja Media (FSPM) Independen di Gudang Sarinah Ekosistem, Jakarta Selatan, Kamis (16/03/ 2017).

    Ellena yang bekerja sebagai Desainer grafis ini mengungkapkan, banyak kerja lembur muncul karena tidak ada sistem yang melindungi para pekerja kreatif. Bahkan, ada yang kerja full time dan lembur dalam sebulan gajinya Rp 1,5 juta. Inilah kondis suram pekerja kreatif.

    Untuk itu, Ellena mendesak adanya instrumen hukum sebagai penjamin kesehatan dan keselamatan kerja bagi sektor ini. Terlebih, banyak pekerja kreatif cenderung informal tanpa tempat kerja yang jelas.

    Salah satu kasus yang menyita perhatian di Jepang adalah peristiwa tewasnya Matsuri Takahashi, pekerja perusahaan periklanan raksasa Dentsu Inc setelah terjun dari apartemen. Hasil penyelidikan menyimpulkan perempuan 24 tahun ini mengalami depresi akibat beban psikologi di tempatnya bekerja. Kondisi ini terjadi karena beban kerja Matsuri bertambah drastis dan membuatnya harus lembur selama 150 jam dalam sebulan. Setelah kematian Matsuri, perusahaan iklan Dentsu Inc pun melarang pekerjanya bekerja di kantor di atas pukul 22.00.

    Sementara di Indonesia mata publik di buka lewat kasus meninggalnya pekerja periklanan Mita Diran pada 2013 lalu. Perempuan 27 tahun itu meregang nyawa setelah bekerja non stop selama 30 jam.

    Sementara itu Wiranta Yudha Ginting, Koordinator Lembaga pemerhati K3 Local Initiative for OSH Network (LION) menganggap pemerintah gagap dalam melindungi para pekerja kreatif. Ini karena banyak pekerja kreatif cenderung berada di ranah informal.

    “Pekerja dengan pola hubungan non standar tidak punya jaminan pasti. Itu berdampak pada K3, negosiasi kenaikan upah,” terang Koordinator LION,

    Ia mengusulkan agar pemerintah menyusun definisi ulang hubungan ketenagakerjaan di sektor kreatif. Di antaranya adalah definisi ulang tempat kerja dan kerja. Kajian itu dapat menjadi dasar pembentukan regulasi untuk perlindungan pekerja kreatif.

    Overwork memang masalah serius di seluruh Asia meskipun ternyata panjangnya jam kerja tak otomatis membuat produktifitas negara meningkat. Hasil studi, seperti dikutip Nikkei Asian Review, terhadap 18 perusahaan manufaktur di Amerika menunjukan 10 persen peningkatan terhadap jam lembur malah menurunkan 2,4 persen produktifitas.

    Data International Labor Organization (ILO) pada 2015 mencatat sebanyak 26,3 persen pekerja di Indonesia bekerja lebih dari 49 jam dalam sepekan. Padahal, Undang-undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mensyaratkan 40 jam kerja dalam sepekan. Data lain menunjukkan pekerja di Jakarta, berdasarkan survei UBS pada 2015, menghabiskan 2.102 jam untuk bekerja dalam setahun atau di atas Manila (1.950 jam per tahun) dan Kuala Lumpur (1.934 jam per tahun).

    Oleh karena itu, SINDIKASI menyerukan agar ada kerjasama antara berbagai sektor pekerja kreatif untuk menyusun standar-standar kerja yang lebih manusiawi.

    “Mari kita mencari waktu, melihat sumber daya manusia yang ada, organisasi dan komunitas apa saja yang sudah ada dan apa yang kita bisa lakukan bersama,” ajak anggota SINDIKASI, Ellena.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here