BANDUNG, KabarKampus – Mungkin sebagian orang, termasuk mahasiswa, memandang miring aksi-aksi yang kerap dilakukan para buruh. Padahal bisa jadi begitu lulus kuliah nanti, para “mantan” mahasiswa masuk ke dalam sistem tenaga kerja yang sama dengan para buruh.
Hal itu tersirat dalam diskusi “Meraba Skema Ekspansi Modal di Indonesia” di Kaka Cafe, Jalan Tirtayasa, Bandung, Kamis (11/05/2017) lalu. Diskusi menghadirkan narasumber, antara lain, Hermawan, Sekjen Konfederasi Serikat Nasional (KSN).
“Saya ke sini bukan untuk membangun simpatik kepada buruh, tapi saya berharap mudah-mudahan sistem yang sekarang ini tidak terjadi senasib kepada kawan-kawan nanti saat kerja,” ungkap Hermawan, kepada peserta diskusi yang mayoritas mahasiswa.
Ia mengakui, sewaktu masih SMA dulu, dirinya tak peduli dengan demonstrasi yang dilakukan para buruh. Demonstrasi tersebut hanya menjadi bahan tertawaannya saja.
“Karena saya nggak paham waktu itu. Ngapain bantu teman-teman buruh,” tuturnya.
Namun begitu lulus sekolah, ia masuk ke dalam sistem perburuhan atau tenaga kerja yang sangat buruk. Sistem tersebut mulai dari aturan dirumahkan bagi buruh, sistem kontrak, outsourching, hingga magang.
Bahkan sistem tersebut bagi tenaga kerja yang duduk di manajemen, bukan hanya buruh. “Apa pun pekerjaan kawan-kawan di sini akan dihadapkan dengan sistem. Meski di nantinya kerja sebagai HRD, di manajemen, sistemnya kontrak,” ujarnya.
Menurutnya, perusahaan atau pabrik yang berkolaborasi dengan pemerintah akan terus melahirkan aturan yang tak berpihak pada buruh. Misalnya aturan mengenai buruh yang dirumahkan. Aturan tersebut diduga kuat terkait over produksi yang dialami perusahaan. Sementara penjualan tidak lancar. Maka buruh dirumahkan.
Selama dirumahkan, kata Hermawan, buruh masih dibayar dengan besaran tertentu. Namun jika barang yang diproduksi pabrik tak kunjung diserap pasar, maka buruh yang dirumahkan itu akan menjadi korban pertama. Buruh akan dipesangon atau PHK.
Sistem tidak adil lainnya adalah kontrak dengan masa kerja beragam, ada yang dua tahun, ada pula yang cuma tiga bulan! “Ketika perusahaan mengalami over produksi, cukup putus kontrak saja,” katanya.
Lebih buruk lagi sistem outsourching, yaitu tenaga kerja yang disediakan oleh pihak di luar perusahaan. Jadi, pihak di luar perusahaan tersebut membuat yayasan untuk menampung tenaga kerja yang akan disetorkan ke pabrik.
Upah buruh outsourching pasti sangat murah, karena akan dipotong yayasan atau pihak penyedia tenaga kerja. Sistem ini membuat buruh tak berdaya. Dia tidak bisa protes atau demonstrasi ke perusahaan karena bukan organik perusahaan, melainkan hanya tenaga alih daya.
“Ketika mereka protes, perusahaan tinggal bilang mereka outsourching. Outsourching tidak manusiawi, seperti rental mobil saja. Kalau ada yang pesan dikasih, kalau tidak butuh dibalikin. Mending mobil masih bisa dirawat, kalau buruh paling disuruh pulang kampung. Siapa yang merawat,” ungkapnya.
Menurut Hermawan, sistem buruk ketenagakerjaan terjadi selama 10 tahun ke belakang. Tapi ke depan ia memprediksi sistem perburuhan akan lebih baruk lagi. “Karena ada sistem baru yaitu pemagangan,” sebutnya.
Ia menjelaskan, definisi magang sebenarnya latihan kerja. Anehnya, kata dia, magang di sini sama dengan kerja. Derajatnya bahkan lebih rendah dari kontrak atau outsourching.
Sitem magang sudah dimulai di pabrik-pabrik milik Jepang yang beroperasi di Karawang, Jawa Barat. Selama magang, buruh hanya berhak mendapat uang makan dan transportasi.
“Mereka magang kalau setahun bagus akan kerja lalu dikontrak. Jadi menuju kontrak yang mengerikan saja harus melalui magang,” jelasnya.
Jadi, kata dia, beragam sistem kerja yang buruk itu bisa menjadi perhatian mahasiswa. Sebab mahasiswa nantinya bakal berada dalam sistem kerja yang sama dengan buruh.
“Jadi kita harus sama-sama berjuang, jangan sampai nasib anak lebih buruk dari nasib bapaknya,” ujarnya. []