Popok bayi merupakan salah satu sampah rumah tangga penyumbang pencemaran lingkungan yang cukup besar. Dari data yang diperoleh ECOTON, sampah popok bayi menempati urutan ketiga di bawah sampah tanaman seperti ranting dan daun serta sampah plastik seperti bungkus mie instan, minuman kemasan, dan lain-lain.
Padahal popok bekas pakai tersebut mengandung materi fekal atau sumber penyakit yang seharusnya dibuang ke dalam lingkungan anaerob seperti WC untuk kemudian diurai oleh bakteri anaerob. Fenomena ini sangat membahayakan bagi kualitas air sungai di sekitar kita.
Hal ini mendorong mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk membuat inovasi popok yang ramah lingkungan dan sesuai dengan ekonomi masyarakat Indonesia. Mereka menamakannya dengan POPOK 2 IN 1 (From Popok to Pupuk).
Para mahasiswa IPB ini adalah Sekar Ilma Tiarani, Sri Ilmiati, Siti Nuratiah Hafsah, Arih Amirah Sari, dan Sofa Azizah. Inovasi mereka tuangkan lewat penelitian berjudul “POPOK 2 IN 1 (From Popok To Pupuk) : Inovasi Popok Ekonomis yang Ramah Lingkungan dan Aman Bagi Bayi.
Sofa Azizah, salah satu anggota peneliti menjelaskan, popok bayi sekali pakai adalah jenis umum yang digunakan masyarakat Indonesia. Penggunaanya yang praktis dan sederhana menjadi salah satu faktor penarik minat konsumen.
“Hal ini merupakan masalah besar yang harus segera diselesaikan, karena sampah plastik merupakan limbah yang penguraiannya membutuhkan waktu lama, berpotensi menjadi sumber penyakit, dan merusak nilai estetika lingkungan,” ungkap Sofa dalam penelitiannya.
Menurut Sofa, POPOK 2 IN 1 merupakan popok bayi yang didesain sedemikian rupa dan ramah lingkungan.
Bahan yang digunakan berasal dari bahan biodegradabel yang akan mengurangi resiko pencemaran plastik pada lingkungan. Limbah alami yang berasal dari kotoran bayi akan diarahkan untuk menjadi sumber pupuk organik dengan petunjuk pemanfaatan pada kemasan popok.
Desain popoknyapun dibuat sedemikian rupa agar mengurangi kontak langsung tangan ibu dengan kotoran, namun tidak mengurangi kenyamanan dan keamanan bayi. Hal ini menjadi keunggulan tersendiri, karena hampir semua manusia merasa jijik dengan kotoran, sehingga selalu menghindari kontak langsung dengannya. Akibatnya banyak pemanfaatan kotoran tidak maksimal dan malah merusak lingkungan.
“Secara ekonomis, popok ini ditargetkan dapat dijangkau oleh kalangan masyarakat Indonesia dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah,” tambah Sofa.
Pengerjaan prototip POPOK 2 In 1 ini dimulai sejak 12 Maret 2017 hingga pertengahan Juli 2017 di sekitar kampus IPB (Dramaga), dan Laboratorium Anorganik, Kimia, IPB. Prototip ini tersusun dari tiga komponen utama yang memengaruhi pembuatan pupuk. Ketiga komponen atau bahan tersebut adalah bahan penyerap (polimer super absorben), membran biodegradabel dan kapas organik.
Sekar Ilma Tiarani menambahkan, cara pembuatan pupuk menggunakan tiga teknik pengolahan kotoran dari bayi yaitu pengeringan feses, pengomposan feses dan pengomposan dengan tanah. Bagian dalam diambil dan dicampur dengan tanah untuk dijadikan pupuk yang ditambahkan dengan EM4 serta dibiarkan tertutup selama satu minggu.
“Setelah 1 minggu, beberapa tanah diambil dan ditanami kedelai. Tanaman kedelai digunakan karena mudah diamati secara fisik sebelum dilakukan uji di laboratorium,” tambahnya.
Berdasarkan beberapa hasil pengujian, kata Sekar, POPOK 2 IN 1 memiliki potensi ekonomis dan keramahan lingkungan yang tinggi. Secara ekonomi, penggunaan POPOK 2 IN 1 dapat meminimalisir biaya hingga 30% dibandingkan dengan popok komersial yang beredar dipasaran.
“Bahan luaran POPOK 2 IN 1 dapat digunakan secara berulang dan memiliki nilai estetika yang tinggi, sehingga pantas dikenakan oleh bayi tanpa memerlukan penggunaan celana pendek sebagai luaran,” ungkapnya.
Adapun potensi keramahan lingkungannya, tambah Sekar, terdapat pada bahan sekali pakai yang bersentuhan langsung dengan kulit bayi. Bahan ini dapat terurai di lingkungan dalam waktu singkat. Selain itu komponen komponen penyusunnya sangat berpotensi untuk dijadikan bahan utama penyusun pupuk.
Dari hasil pengujian, pupuk dari popok ini memiliki daya simpan air (dari bahan penyerap) yang lebih lama dibandingkan tanah. Terbukti dari penampakan media tanam uji yang terlihat lebih lama basah dibandingkan tanah. Begitu juga nutrisi yang dikandungnyapun lebih tinggi dibandingkan tanah tanpa campuran, yang terlihat dari umur kembang tanaman yang lebih lama dibandingkan tanah biasa.
Meskipun pengujian belum sampai pada pengujian popok yang telah mengandung feses dan urin, namun berdasarkan pengujian sebelumnya feses dan urin memiliki kandungan nutrisi yang baik bagi tumbuhan. Oleh karena itu keduanya sering kali dimanfaatkan sebagai bahan utama pupuk kompos.
POPOK 2 IN 1 berhasil dihasilkan dan mampu bernilai ekonomis serta ramah lingkungan yang dapat dibuat menjadi pupuk. Selanjutnya Sekar dan teman-teman berencana untuk mendaftarkan hak paten dan perluasan wawasan terkait POPOK 2 IN 1 kepada masyarakat utamanya Ibu dan bayi.[]