JAKARTA, KabarKampus – Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kasus First Travel yang korbannya mencapi 50 ribuan orang, terjadi karena pengawasan pemerintah yang mandul. Oleh karena itu, YLKI menghimbau kepada korban, agar memberikan gugatan Class Action kepada pemerintah.
“Jika dilihat dari perspektif keperdataan, permasalahan calon jemaah First Travel adalah hubungan perjanjian keperdataan. Namun, kondisi tersebut tidak akan terjadi secara eskalatif dan masif jika fungsi pengawasan Kementerian Agama berjalan,” kata Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI dalam keterangan persnya, Kamis, (31/08//2017)
Menurut Tulus, secara moral dan politik Kemenag harus turut bertanggungjawab atas nasib calon jemaah. Tidak bisa lepas tangan begitu saja.
Bagi Tulus, gugatan Class Acton ini, untuk memberikan pelajaran pada Kemenag atas kelalaiannya. Apalagi korban umroh bermasalah bukan hanya dari First Travel saja, tapi dari berbagai biro umroh. Seperti Kafilah Rindu Ka’bah dan Hannien Tour.
“YLKI mencatat 22.163 pengaduan umroh mangkrak dari 6 (enam) biro umroh. Belum lagi biro-biro umroh yang lainnya,” tambah Tulus.
Tulus menjelaskan, tujuan gugatan Class Action ini agar Kemenag bertanggung jawab untuk menanggung kerugian calon jamaah First Travel dan biro umroh lain. Selain itu memberikan pelajaran dan efek jera pada pemerintah atas keteledorannya tersebut.
“Sekaligus juga memberikan efek jera kepada para biro umroh yang lain agar tidak meniru dan mengulang perbuatan serupa,” tambahnya.
Gugatan class action punya dasar hukum yang cukup kuat dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. UU ini menyebutkan bahwa gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh sekelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama (Pasal 46, UU Perlindungan Konsumen).
“Atas dasar itu, pelanggaran yang dilakukan pelaku usaha/First Travel yang diakibatkan adanya kelalaian Kemenag, adalah fakta hukum yang sangat kuat untuk dilakukan gugatan publik dengan model Class Action,” terang tulus.[]