More

    Mencermati 5 Penyebab Tragedi Rohingnya

    KabarKampus, BANDUNG – Tragedi kemanusiaan yang menimpa Rohingya di Myanmar tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Ada lima dimensi yang meliputinya.

    Dina Y Sulaeman, doktor dari Indonesian Center For Middle East Studies, mengatakan lima dimensi tersebut penting agar tak terjebak pada kesalahpahman. Misalnya, hanya memandang warga Rohingya sebagai korban ekstremis Budha.

    Menurutnya, lima dimensi tersebut ibarat lima keping puzzle. Pertama, klaim sejarah. Siapa yang lebih berhak untuk tinggal di tanah Rohingya? Pertanyaan ini juga mendapat jawaban beberapa versi.

    - Advertisement -

    Ada sumber yang menyebut Rohingya adalah orang Bengali yang datang ke Rakhine State, Myanmar. Namun ada juga yang mengatakan Rohingya bukan pendatang, melainkan warga asli Rakhine State. Sumber lain mengatakan baik Rohingya maupun etnis Burma (etnis mayoritas di Myanmar), sama-sama pendatang.

    “Tetapi kita hidup di alam modern. Sejarah itu tidak bisa dijadikan klaim. Kalau begitu, Amerika Serikat juga harus bubar karena warga yang asli adalah Indian. Sehingga klaim sejarah kalau mau dibahas ok, tapi tak menyelesaikan masalah. Seperti mencari tepi sarung, tak jelas mana tepinya,” papar Dina Y Sulaeman.

    Dina menyampaikan hal tersebut dalam diskusi #Savekemanusiaan: Indonesia, Rohingnya dan Kemanusiaan di Kaka Cafe, Bandung, Senin (18/09/2017).

    Dimensi kedua, kata dia, ialah politik domestik Myanmar. Misalnya, sepak terjang Aung San Su Kyi yang memanfaatkan isu Rohingya untuk mendulang suara di pemilu.

    Politik domestik seperti ini berlaku juga di Indonesia dimana agama sering dipakai komoditas politik untuk mendulang suara. Bahkan agama dijadikan dalih untuk menyiarkan kebencian pada kelompok yang satu dengan tujuan meraih simpatik dari kelompok yang lain.

    Nah, pada kasus Rohingya, tidak sedikit yang menuding ekstremis Budha. Ekstremis ini menindas warga Rohingya karena sentimen agama. Warga Rohingya beragama Islam. Kemudian, muncul juga pandangan rasis bahwa warga Rohingya berbeda dengan Burma, baik warna kulit maupun wajahnya.

    Cuma kalau dilihat dari perspektif politik-agama, tampaknya tidak berlaku bagi muslim non-Rohingya yang hidup di Myanmar. Kenyataannya di Myanmar umat Islam yang bukan Rohingya masih bisa hidup tenang, mendirikan masjid dan beribadah.

    Dimensi ketiga, lanjut Dina Y Sulaeman, ialah adanya intervensi dari gerakan jihadis bernama Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA). “Namun ada analis yang cuma berputar-putar di situ sehingga muncul kesimpulan pantas saja digrebek, dibakar, karena mereka angkat senjata,” ungkapnya.

    Analisa tersebut diperkuat fakta bahwa ada 400 orang yang angkat senjata, mereka mendapat kucuran dana dari Arab Saudi, Pakistan dan Banglades. “Tapi analisa itu tetap saja tak bisa dijadikan landasan perspektif,” ungkap Dina Y Sulaeman.

    Dimensi keempat, kata dosen Hubungan Internasional Unpad ini, ialah politik domestik Indonesia. Dimensi ini rumit karena ada upaya mempolitisasi isu Rohingya. Sementara Indonesia harus melakukan diplomasi.

    Padahal kemampuan diplomasi Indonesia di Myanmar lemah. Sedangkan untuk diplomasi diperlukan power. Faktanya, investasi Indonesia di Myanmar sangat kecil, yakni urutan ke-21 dari sekian negara yang berinvestasi di Myanmar.

    Negara yang memiliki nilai investasi terbesar di Myanmar adalah China, Thailand dan Amerika, sehingga dua negara inilah yang sebenarnya sangat mempu menekan Myanmar secara diplomasi.

    Ada pun Indonesia melakukan diplomasi sebagai negara sahabat, bukan sebagai negara kuat. Contohnya ketika muncul manusia perahu pada 2012, AS mampu menekan Myanmar melalui wakil menteri luar negerinya.

    Dimensi kelima, dan ini yang menurut Dina Y Sulaeman sebagai akar masalah, ialah politik ekonomi global. Ia menyebutkan, ada banyak kekuatan ekonomi global yang punya kepentingan di Myanmar. “Politik ekononi ini yang jadi akarnya,” kata Dina Y Sulaeman.

    Dia mencatat, ada pertempuran kepentingan ekonomi China dan Amerika Serikat terkait perebutan sumber daya alam di Myanmar. China sudah lebih dulu membangun pipa-pipa gas alam tanpa menyertakan AS.

    Kepentingan AS semakin menguat manakala taipan George Soros sejak dua tahun terakhir berempati pada nasib Rohingya. Menurut Dina Y Sulaeman, Soros yang pernah merasakan penindasan Nazi merasa senasib dengan Rohingya.

    Jejak Soros di berbagai negara, termasuk krisis moneter di Indonesia, sudah menjadi rahasia umum. Di balik jejak itu, ada motif ekonomi. Di Myanmar, Soros bahkan mendanai gerakan pro-demokrasi. Bantuan Soros pada gerakan ini berlangsung sistematis.

    “Tak ada makan siang gratis. Pertempuran taipan di dunia sering terjadi,” katanya.

    Rakhine State ialah daerah kaya akan bahan tambang. Dina Y Sulaeman yakin jika pengusiran Rohingya dilakukan dengan tujuan untuk mengeksploitasi tambang di sana, dimana China sudah lebih dulu membangun pipa gas alam. Pembangunan ini bukan hanya mengusik Rohingya, melainkan memicu protes warga Budha atau etnis Burma sendiri.

    “Karena itulah dua pihak ini (China dan AS) diam tak melakukan tekanan melalui PBB, tak ada penyelidikan pembantaian massal, Dewan Keamanan PBB tak punya keinginan untuk melakukan investigasi,” ungkapnya. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here