Lampu warna merah menjadi satu-satunya cahaya penerangan panggung. Dua orang berdiri di sana, salah satunya memakai tutup wajah dengan tambang melingkar di leher. “Atas nama keadilan,” teriak algojo. Tubuh itu pun menggantung dan menggelepar. Panggung gelap.
Adegan tersebut menjadi prolog mencekam dalam teater “Atas Nama Keadilan” yang dimainkan kelompok Neo Theatre di Studio Teater Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, dalam rangkaian Seni Bandung #1, akhir September 2017 lalu.
Lakon tersebut disutradarai Fathul A Husein yang juga dosen ISBI dan Universitas Prahyangan. Lakon bersumber dari naskah teater Les Justes karya sastrawan Prancis, Albert Camus.
Albert Camus menulis Les Justes berdasarkan kisah nyata yang terjadi pada 1905 di Moskow, Rusia, yang masih dipimpin Tsar. Fathul A Husein kemudian menerjemahkan Les Justes menjadi “Atas Nama Keadilan”.
Lakon dengan latar menjelang Revolusi Bolshevik itu diperankan 10 orang aktor, penonton berjejalan, kebanyakan mahasiswa. Setelah adegan eksekusi gantung diri, lampu panggung kembali menyala. Para aktor mulai berakting di panggung 8×5 meter.
Di atas panggung yang dilengkapi meja dan kursi, Dora Deublebov (Christie Vaam Laloan) yang ahli merakit bom, serius menghadapi botol-botol kimia. Aktor lainnya ialah Stefan Federov (Rusli Keleeng).
Mereka ialah aktivis bawah tanah Partai Sosialis Revolusioner Rusia pimpinan Boris “Boria” Anenkov. Dari perspektif Tsar, mereka disebut teroris.
Dora, Goria, dan Stefan bercakap-cakap tentang revolusi agar bebas dari belenggu Tsar yang tiran. “Kebebasan masih terpenjara jika masih ada satu manusia terbelenggu di muka bumi ini,” kata Stefan, yang berdandan pakaian musim dingin ala Rusia.
Stefan merupakan aktivis pergerakan yang kenyang makan asam garam kehidupan. Pandangannya keras tanpa kompromi. Dia baru bebas dari penjara Tsar yang sadis. Dia disiksa di hadapan istrinya. Hingga sang istri melakukan bunuh diri sebagai protes terhadap kekejaman itu.
Tiga orang revolusioner tersebut sedang merencanakan aksi, yaitu membunuh Grand Duke Sergey Romanov, paman Tsar Nikolas II, dengan cara dibom.
Stefan ingin menjadi pelempar bom pertama. Namun Goria sudah memilih Ivan “Yanek” Kalyayev (Heksa Ramdono), seorang penyair revolusioner, dan pelempar bom kedua adalah Alexis Voinov (Zanuar Eko Rhayu), seorang mahasiswa lugu namun kritis.
Singkat cerita, Yanek dan Alexis pergi ke tempat sasaran, yaitu gedung teater yang akan menjadi tempat hiburan Sergey Romanov. Dora dan Goria menunggu gelisah di tempat persembunyian. Mereka sudah menyusun pernyataan sikap terkait aksi pengeboman itu.
Namun setelah lama menunggu, tak ada dentuman bom. Malah kereta kuda bangsawan Rusia aman saja melintas. Tiba-tiba Yanek datang ke tempat persembunyian, tubuhnya lunglai. Ia mengaku tak berani melemparkan bom ke kereta bangsawan itu karena di dalamnya ada anak kecil dan perempuan.
“Aku lari menuju kereta kuda, aku melihat mereka tertawa dengan tatapan mata lurus ke depan, tampak menyedihkan. Aku hnya melihat mereka. Seandainya mereka melihatku, aku akan melempar bom ini agar bisa menghentikan pandangan menyedihkan mereka,” kata Yanek, si penyair revolusioner.
Setelah mendengar penjelasan dari Yanek, semua aktivis gerakan itu setuju bahwa revolusi tidak boleh mengorbankan anak kecil. Sasarannya hanya satu: kaum tiran. Kecuali Stefan yang tetap ngotot bahwa bom itu mesti diledakkan meskipun anak kecil menjadi korban.
“Hanya karena kau tidak berani melemparkan bom kepada anak-anak maka jutaan anak-anak Rusia terancam mati kelaparan di tahun-tahun mendatang lantaran despotisme Tsar,” ungkap Stefan, nada suaranya tinggi.
Menurut Stefan, bom harus dilemparkan demi menjalankan perintah partai dan revolusi. Tapi Dora yang tak terima Yanek disudutkan, berusaha membela. Katanya, jika revolusi membunuh anak kecil tak berdosa, maka, “Hari itu revolusi akan dibenci seluruh manusia,” tandas perempuan jangkung itu.
Stefan sendiran. Teman-temannya yang lain sepakat menolak revolusi yang menghalalkan segala cara. Di balik prinsip keras Stefan, para aktivis melihat bentuk tiran baru yang bakal lahir sehari pasca-revolusi.
Yanek yang sudah pulih dari syoknya, menegaskan bahwa hakekat revolusi ada kemurnian. Orang tak berdosa tidak boleh menjadi tumbal. Apalagi membunuh anak-anak.
“Aku akan menolak dan berpaling dari revolusi semacam itu,” ucap Yanek.[]