Di masa tua mereka mendapati dunia yang kacau. Perang menghancurkan kota-kota. Mereka jenuh dan ingin segera mati. Tapi sebelum ajal tiba, mereka harus sabar menunggu bersama kenangan dan sepi.
“Aku mendengar suara yang dulu lagi, angin begitu keras, suara orang berkata-kata. Kita berdua mendapat panggilan,” ujar Henry kepada istrinya yang datang menghampiri membawa sebatang lilin.
Kakek dan nenek itu tak bisa tidur. Suara-suara itu menggaggu malam-malam yang dingin dan berangin. Henry yang pertama turun dari kamarnya dengan penerangan lilin. Tertatih-tatih ia melangkah ke depan panggung.
Henry duduk di kursi panjang menghadap penonton yang memadati Gedung Kesenian Rumentang Siang, Bandung, Rabu (27/09/2017) malam. Henry dan istrinya (diperankan Deden Syarif dan Sugiyati SA) adalah dua tokoh dalam lakon teater “Kereta Kencana” yang disadur seniman WS Rendra dari naskah Les Chaises karya sastrawan Prancis Eugène Ionesco.
Deden Syarif maupun Sugiyati SA merupakan dua seniman Studiklub Teater Bandung (STB) yang menyajikan lakon “Kereta Kencana” garapan sutradara IGN Arya Senjaya, malam itu. Pertunjukan kelompok teater tertua di Indonesia ini bagian dari rangkaian festival Seni Bandung#1.
Di atas panggung 8×12 meter gedung peninggalan Belanda itu, pasangan renta Henry dan istrinya berdialog sambil menanti kematian. Lakon ini memang cuma diperankan dua tokoh.
Henry baru saja ulang tahun yang ke-200, rambut putih dan cambangnya hampir sama panjangnya. Sekilas dia mirip Karl Marx. Sementara istri Henry yang diperankan sangat baik oleh Sugiyati SA (istri almarhum tokoh teater nasional Suyatna Anirun), berusaha menghibur kegelisahan suaminya.
Baik Henry maupun istrinya sama-sama mendengar suara-suara, bahwa: “Tengah malam nanti, apabila angin mendayu, dan bulan luput dari mata. Akan datang sebuah kereta kencana untuk menyambut kita berdua.”
“Wahai-wahai. Dengarlah engkau dua orang tua. Di tengah malam ini, akan kukirimkan kereta kencana untuk menyambut engkau berdua. Kereta kencana, sepuluh kuda, satu warna …”
Di usia mereka yang sudah sangat sepuh, kenyang akan asam garam dunia, mereka merindukan kematian. Tapi mereka ingin mati bersama malam itu juga. Mereka tak tahan hidup terasing di masa tua bersama kenangan masa muda yang indah namun menyakitkan.
“Malam ini kita akan mati bersama,” ujar Henry dengan suara putus asa. Musik dari gesekan biola, piano dan contra bass pun mengalun. Penonton teater muram itu seakan ikut hanyut.
Teater Absurd
Eugène Ionesco yang disebut pentolan sastrawan absur menulis naskah drama Les Chaises pada 1952. WS Rendra menyadurnya pada 1960. Tahun-tahun tersebut merupakan kecamuk Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin AS dan Blok Timur yang dikomando Uni Soviet.
Kedua blok yang sama-sama punya senjata pemusnah massal nuklir, tidak perang frontal.
Perang justru terjadi di negara lain yang terjerumus ke masing-masing blok, misalnya perang Korea, Vietnam, krisis Berlin, krisis Suez, bahkan Indonesia yang non-blok pun tak lepas dari pengaruh Perang Dingin.
Waktu itu kebudayaan Indonesia terbelah antara Lekra yang dicap PKI (Blok Timur) dan kelompok Manifesto Kebudayaan. Puncaknya, peristiwa 65 yang menjadi akhir dari PKI, jatuhnya Sukarno, dan berawalnya rezim otoriter Orde Baru yang dipimpin Soeharto.
Dalam situasi penuh kehancuran pasca-perang Henry dan istrinya menjalani kehidupan yang absurd. Absurditas kian terasa ketika Henry mendongeng kepada istrinya, dongeng yang selalu ia ulang untuk mengisi waktu selama menunggu kereta kencana.
Henry menceritakan telah mengarungi perjalanan selama 125 tahun menuju gerbang taman nan indah, padang rumput, jalan berkerikil, kebun anggrek dan bunga gradiol. Namun penjaga tak mau membukakan gerbang dan memintanya melakukan perjalanan selama 125 tahun berikutnya.
“Kita tak diperkenankan masuk, kita harus mengembara lagi, 125 tahun lagi. Kita tiduri kota, seluruh ibu kota di dunia. New York, New Delhi, Angkara, Peking, Madrid, Jakarta,” kata Henry dengan suara emosional.
Henry juga menyayangkan banyak kota yang hancur, di antaranya London, Madrid, bahkan Moskow jadi padang belantara, Berlin tinggal belukar, dan New York menjadi rawa.
“Dan Paris, kota yang tercinta itu, telah hancur, kota yang jaya itu telah lebur, manisku. Batu bata di atas batu bata telah punah. Eifel terjungkir balik, Arc de Triumph hilang dengan jejaknya, dan Noterdam telah terlibat oleh sangkala, hanya tinggal sebuah lagu di kota itu.”
Dongeng Henry untuk istrinya diakhiri dengan kalimat lirih yang lagi-lagi diiringi sayatan biola, “Kehancuran dunia segera tiba.”
Henry yang murung terus-menerus dihibur istrinya yang sabar. Dalam hal ini, akting Sugiyati SA tak kalah dengan Deden Syarif. Padahal usia keduanya terpaut jauh. Deden berusia 40 tahun sedangkan Sugiyati SA 72 tahun.
Lakon dengan genre tragic comedy ini sesekali mengajak penonton tertawa getir. Misalnya Henry yang muram, tiba-tiba ceria begitu diingatkan istrinya tentang badut. Henry dulunya pernah menjadi badut.
Henry lalu merengek minta istrinya jadi layang-layang. Istrinya lantas berlari-lari ke kiri dan kanan sambil membentangkan tangan seperti layang-layang hingga terjerembab ke kursi.
Tiba-tiba ada ketukan keras di pintu. Rupanya sang tamu ialah perdana menteri. Tak lama kemudian, tamu-tamu lainnya berdatangan, termasuk kardinal, habib, guru, anak-anak hingga kaisar.
Namun para tamu itu hanya imajiner saja, Henry dan istrinya melukiskan kedatangan mereka lewat dialog yang ketat. Dan setelah para tamu pergi, mereka kembali dicekam sepi sambil menunggu kereta kencana.
Kontekstual Naskah
Sutradara IGN Arya Senjaya mengatakan, lakon “Kereta Kencana” mengingatkan pentingnya berbuat kebaikan dalam kehidupan agar kematian tidak menakutkan.
“Kalau panjang umur tapi kita tidak baik, masihkah kereta kencana datang menjemput kita,” kata sutradara yang aktif di STB sejak 1988 itu.
Arya Senjaya sudah menyutradarai dua kali lakon Kereta Kencana. Meski demikian, ia menyebut naskah tersebut tetap kontekstual dengan konteks saat ini di mana Indonesia digerogoti kegaduhan-kegaduhan politik maupun hukum.
Di konteks global, dunia berada dalam ketegangan antara AS dan Korea Utara, dua negara yang sama-sama punya nuklir. Ketegangan ini seakan mengulang Perang Dingin yang menjadi latar belakang kehidupan Eugène Ionesco, juga WS Rendra.[]