YOGYAKARTA, KabarKampus – Tradisi penamaan nama anak di Pulau Jawa mengalami perkembangan dari masa-ke masa. Diantaranya adalah karena pengaruh Islamisasi di Pulau Jawa.
Pada awalnya nama diri orang Jawa sangat sederhana dan biasanya terdiri dari satu kata. Namun kini semakin komplek dan panjang, lebih sarat makna, dan dengan variasi lingual yang beragam.
Masalah penamaan anak ini menjadi penelitian Askuri, seorang mahasiswa doktoral Program Studi Inter-Religious Studies Sekolah Pacasarjana Lintas Disiplin (SPs LD) UGM. Askuri mempertahankan disertasinya terkait politik penamaaan dalam islamisasi di Indonesia dalam ujian terbuka program doktor di Auditorium SPs LD UGM.
“Dalam seratus tahun terakhir, nama diri berkembang sedemikian rupa mengikuti semangat zaman,” kata Askuri, Selasa (29/01/2018).
Askuri menyebutkan, pertumbuhan nama Arab mengalami pertumbuhan pesat dalam perkembangan taradisi penamaan di Jawa. Nama Arab telah lama digunakan orang Jawa dalam penamaan dengan beragam domestiikasi.
“Pertumbuhan nama Arab meningkat pesat sejak akhir abad 20 dan bisa merepresentasikan perubahan umat Islam di Indonesia ,” jelas peneliti perbandingan agama ini.
Sebelum pertengahan abad 20, cerita Askuri hanya sedikit orang tua di Jawa yang memperhatikan makna bagi masa depan anak-anaknya. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan literasi orang tua.
Umumnya, bagi komunitas santri yang memiliki hubungan patron-client dengan kyai mendatangi tokah agama tersebut untuk meminta nama yang bermakna bagi anak-anak mereka.
Askuri mengatakan penamaan Arab ini menjadi sebuah register keislaman. Nama Arab menjadi kode linguistik yang merepresentasikan perubahan generasi baru muslim yang tumbuh menjadi orang tua.
“Terjadi perubahan pola nama Arab di Jawa di akhir abad 20 salah satunya pertumbuhan purified Arabic names yang mencerminkan pertumbuhan literasi Qurani di kalangan para orang tua,” terangnya.
Namun dalam 30 tahun terakhir nama-nama Arab lebih terstandarisasi sesuai dengan transliterasi Arab Indonesia. Sementara sebagian nama-nama Arab lainnya lebih terasa moderen dan mendunia dengan menggunakan ejaan bahas Inggris.
Kemunculan nama-nama Arab yang belum pernah ada dalam khazanah perbendaharaan nama Arab di Jawa dikatakan Askuri juga menyiratkan semakin luasnya sumber-sumber penamaan. Sumber penamaan tidak hanya lagi bersumber pada otoritas tradisional kyai,tetapi juga dari buku, majalah, koran, dan internet.
“Hal ini menunjukkan semangat zaman dimana otoritas tradisional keagamaan semakin bersaing dengan berbagai media baru yang diintroduksi para intelektual muslim baru yang tidak berbasis pesentren maupun kekuatan industri yang tidak berbasis agama,”paparnya.[]