More

    Keamanan Penumpang Taksi Online Masih Lemah

    Pada bulan Agustus 2015, sebanyak 1,2 juta layanan UberX digunakan di Melbourne, Sydney, Brisbane dan Perth. (Credit: ABC)

    JAKARTA, KabarKampus – Pembunuhan Yun Siska Rohani (29 tahun) yang dilakukan pengemudi online di Bogor pada 18 Maret Kemarin menunjukkan betapa lemahnya keamanan taksi online. Apalagi dalam lima bulan terakhir, juga terjadi tiga kekerasan lainnya terhadap penumpang oleh pengemudi taksi online.

    Peringatan keras terhadap kasus kekerasan di taksi online ini datang dari Yayasan Lembaga Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI). Mereka menyatakan, banyaknya kekerasan yang terjadi tersebut merupakan bukti managerial taksi online tidak memiliki standar keamanan dan keselamatan dalam melindungi konsumennya.

    “Misalnya, tidak ada akses telepon call center untuk penanganan pengaduan,” kata Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI dalam keterangan persnya, Jumat, (23/03/2018).

    - Advertisement -

    Selain itu tambahnya, hal tersebut juga membuktikan aplikasi taksi online tidak mempunyai standar yang jelas dalam melakukan rekruitmen kepada pengemudinya. Hal ini juga menjadi bukti nyata, taksi online tak lebih aman dari taksi meter.

    Oleh karena itu, Tulus mendesak Kementerian Perhubungan dan Kepolisian untuk secara tegas dan konsisten mengimplementasikan Permenhub No. 108/2017. Kalau perlu menurut Tulus, diperkuat lagi, karena. masih terlalu longgar.

    “Harus dibuat Permenhub yang sejalan dengan misi UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni hak konsumen untuk mendapatkan keamanan dan keselamatan saat menggunakan taksi online,” tambahnya.

    Sementara itu, kepada konsumen, khususnya konsumen perempuan agar berhati-hati menggunakan taksi online. Diantaranya jangan sendirian, jangan mengorder taksi online terlalu malam atau dini hari. Kemudian Tulus menyarankan, agar menggunakan taksi meter yang mempunyai reputasi baik.

    “Saat antar jemput, konsumen sebaiknya jangan berhenti langsung di depan rumahnya. Jangan berikan kesempatan pengemudi online mengetahui rumah atau bahkan tempat kerja konsumen. Ini untuk mencegah tindakan tidak terpuji dari oknum pengemudi kepada konsumennya,” ungkap Tulus.

    Sementara itu, Azas Tigor Nainggolan Analis Kebijakan Transportasi dan Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA) menjelaskan, perlindungan hukum terhadap pengguna taksi online nyaris tidak ada hingga saat ini. Pemerintah terlihat tidak peduli dan diam saja tidak berani  mengambil tindakan tegas terhadap aplikator yang mitra atau pengemudinya melakukan kejahatan terhadap penumpangnya.

    “Padahal yang merekrut dan mengoperasikan para pengemudi itu adalah perusahaan aplikasi atau aplikator taksi online,” ungkapnya.

    Tigor mencontohkan, baru saja pengadilan Uni Eropa (European Court of Justice (ECJ) memutuskan bahwa Uber (taksi online) bahwa pelayanan transportasinya diawasi sebagaimana pengawasan terhadap operator taksi lainnya. Contohnya mulai dari pengaturan tanda (stiker) Lisensinya dan lain-lain.

    “Bagaimana dengan Indonesia? Pengawasan terhadap SPM taksi umumnya  (konvensional) saja lemah dan keamanan layanan taksi konvensional juga lemah sampai saat ini. Masalah keamanan taksi online dan konvensional sama-sama kemah, banyak tindak kejahatan dan belum ada penegakan peraturan serta pengawasan ketat oleh pemerintah,” terang Tigor.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here