More

    Badan Pembinaan Ideologi Khawatir Generasi Digital Tak Kenal Pancasila

    Penulis : Iman Herdiana

    Romo Benny Soesetyo, Anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) (Kedua Kanan) dalam Seminar Kebangsaan yang digelar Pusat Studi Pancasila – Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Jalan Ciumbuleuit, Bandung, baru-baru ini. (FOTO: IMAN HERDIANA)

    BANDUNG, KabarKampus – Menguatnya politik identitas di era digital akhir-akhir ini menjadi kekhawatiran Romo Benny Soesetyo, anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP menduga, generasi milinial tak mengenal Pancasila sebagai dasar negara.

    Menurutnya generasi milenial tak mengenal nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, musyawarah dan persatuan harus dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Anak muda tersebut sehari-harinya sangat tergantung pada teknologi, mereka lebih akrab dengan internet, gadget, media sosial, dan transaksi online.

    - Advertisement -

    “Bahkan belajar agama pun melalui media sosial,” kata Romo Benny, dalam Seminar Kebangsaan yang digelar Pusat Studi Pancasila – Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Jalan Ciumbuleuit, Bandung, baru-baru ini.

    Menurutnya, fenomena tersebut berbahaya jika dibiarkan. Apalagi internet dan media sosial saat ini memiliki banyak sekali konten yang menonjolkan politisasi suku bangsa agama dan antar golongan (Sara) atau politik identitas, politik kebencian, dan propaganda yang menghendaki perpecahan.

    Ia menghawatirkan, anak muda dikhawatirkan terjebak pada keunggulan identitas dan menomorduakan yang lain di luar identitasnya. Sementara konten tentang Pancasila sendiri sepi.

    “Itulah piolitik identitas yang selalu dipiara yang menjadikan bangsa ini tak produktif dan berada dalam lingkaran kerugan,” tambahnya.

    Sehingga lahirlah generasi sent atau share tanpa memikirkan atau mengkritisi informasi yang mereka sent atau share itu mengandung kebenaran atau tidak, hoaks atau bukan. Menurut Romo Benny, generasi itu menelan bulat-bulat informasi yang didapat dari arus teknologi.

    Benny menyebut fenomena ini sebagai babak baru dalam sejarah Indonesia yang cenderung mundur jauh ke era sebelum Sumpah Pemuda. Jika pada 28 Oktober 1928 para pemuda dari berbagai daerah di nusantara berjanji untuk bersatu dan menanggalkan politik identitas, kini politik identitas justru dihidupkan kembali.

    Di tengah babak baru sejarah ini, Benny berharap anak muda melakukan gebrakan agar mereka tak terjebak politisasi politik identitas, hoaks, propaganda dan hal-hal tidak produktif lainnya. Menurutnya, semangat anak muda seharusnya seperti 28 Oktober, yaitu spirit mendobrak.

    “Kita butuh mendobrak dengan kreativitas di saat seperti ini,” katanya.

    Tantangan lain yang tak kalah penting dihadapi anak muda kekinian, kata Romo Benny ialah krisis ekonomi global di mana Indonesia terombang-ambing dalam pertarungan raksasa kapital. Jika anak mudanya sibuk berkutat dengan politik identitas, bagaimana mungkin bisa menghadapi ekonomi global.

    Ekonomi global sendiri tambahnya memiliki keserakahan yang menuntut anak muda sibuk bekerja dan melupakan aktivitas santai yang kreatif dan menggebrak. Ekonomi global menempatkan mereka sebagai mesin-mesin produksi.

    “Anak muda sibuk cari pekerjaan tapi diperbudak, tak bisa hidup dalam suasana santai. Kita jadi alat produksi. Kalau anak muda kreatif bisa lawan arus global,” katanya.

    Lagi-lagi kreativitas, katanya menjadi kunci bagi anak muda untuk keluar dari krisis. Dengan kreativitas, anak muda bisa membangun ekonomi baru. Misalnya membantu petani yang harganya dikendalikan cuaca dan tengkulak, dan lebih jauh lagi membangun narasi baru dengan konten-konten positif dan mencerahkan.

    Sebuah teori menyatakan, siapa yang menguasai informasi maka akan menguasai dunia. Anak muda harus menjawab tantangan itu dengan prestasi. Lalu di manakah posisi Pancasila di era digital ini bagi anak muda?

    Benny menyatakan Pancasila sebagai nilai harus dipraktekkan dalam kehidupan, menjadi gaya hidup dan spirit. Dalam aplikasinya, misalnya, sila kemanusiaan dan keadilan menjadi etos kerja. Orang yang mengamalkannya harus punya integritas, berprestasi, dan tidak korupsi.

    “Persatuan, kerakyatan, keadilan itu konsep, tapi bagaimana konsep itu menjadi bagian dari gaya hidup. Caranya, Pancasila masuk ke dalam sistem pendidikan maupun keluarga,” lanjut Romo.

    Ia menjelaskan, bila Pancasila sudah menjadi kebiasaan prilaku, akan sadar bahwa Pancasila akan melekat dalam dirinya. Sila kemanusiaan dan keadilan menjadi ukuran bagi sila yang lain. Kalau percaya Tuhan ya mereka menghormati perbedaan, tidak diskriminasi, dalam pekerjaan, tidak membedakan suku atau identitas.

    Kemudian, orang yang mengamalkan Pancasila harus disiplin, jujur, dan memiliki integritas. Misalnya, dimulai dari hal-hal kecil seperti tidak merokok di ruang ber-AC, jika naik kendaraan umum mendahulukan tempat duduk untuk orang tua atau ibu hamil, dan seterusnya.

    “Jadi punya kepekaan. Di situ ada nilai kemanusiaan,” katanya.

    Untuk menurunkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan, kuncinya ada di dunia pendidikan. Walaupun Benny mengkritik sistem pendidikan yang cenderung mengajarkan hafalan dan kurang mendorong anak didiknya kreatif. Pendidikan karakter pun cenderung diajarkan, bukan ditanamkan sampai jadi kebiasaan.

    “Kita telalu banyak beban kuliah jadi tak fokus. Pendidikan tak memerdekakan. Kita tertinggal terlalu banyak. Sesuatu tak terkait dengan mata kuliah berusaha dikaitkan. Semua dikaitkan. Mari kita putus tali rantai yang mengaitkan, dan menjadi insan Pancasila dalam perbuatan yang nyata. Banyak pemuda berprestasi di situlah Pancasila,” katanya. []   

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here