More

    KitaAgni Desak Rektor UGM Pecat Mahasiswa Pelaku Pemerkosaan

    Gerakan #kitaagni menggelang dukungan atas menyelesaian kasus pemerkosaan yang dialami mahasiswa UGM di Fisipol UGM, Kamis, (08/11/2018). Foto : BerkahPutraSetia

    YOGYAKARTA, KabarKampus – KitaAgni, sebuah gerakan advokasi korban pemerkosaan di Universitas Gadjah Mada mendesak Rektor UGM  untuk memecat mahasiswa pelaku pemerkosaan. Mereka beranggapan proses penanganan dan penindakan kasus pelecehan dan kekerasan seksual semestinya dilakukan berdasarkan konsultasi berkelanjutan dengan penyintas maupun pendampingnya.

    “Dengan mempertimbangkan kondisi, kebutuhan, dan keinginan penyintas. Dalam kasus Agni, penyintas menginginkan mahasiswa pelaku pemerkosaan dikeluarkan dengan catatan buruk dari UGM, bukan memprosesnya melalui jalur hukum maupun kekeluargaan,” kata Kita Agni dalam keterangan persnya, Minggu, (11/11/2018)

    Selain itu KitaAgni juga mendesak, agar UGM memberikan pernyataan publik yang mengakui bahwa tindak pelecehan dan kekerasan seksual dalam bentuk apapun, terlebih pemerkosaan, merupakan pelanggaran berat. Bagi Kita Agni, pernyataan ini penting untuk menunjukkan komitmen serius UGM sebagai institusi pendidikan dalam mencegah, menangani, dan menindak kasus kekerasan dan pelecehan seksual.

    - Advertisement -

    “Kekerasan dan pelecehan seksual termasuk tindak kekerasan serius yang semestinya tidak dilakukan oleh kalangan sivitas akademika UGM,” tambah KitaAgni.

    Menurut KitaAgni, pemerkosaan yang dialami Agni (bukan nama sebenarnya), seorang mahasiswa UGM terjadi pada bulan Juni 2017 lalu. Ia diperkosa oleh rekan satu timnya saat mengikuti kegiatan KKN di Pulau Seram.

    Agni tambahnya, baru mengumpulkan keberanian, melaporkan kejadian yang dialaminya pada Direktorat Pengabdian kepada Masyarakat (DPkM) melalui Dosen Pembimbing Lapangan (DPL). Karena merasa tidak mendapatkan keadilan, Agni lantas mengadukan kasusnya pada tingkat Fakultas untuk kemudian diteruskan ke Rektorat UGM.

    “Namun selama setahun berjuang, tuntutan Agni agarpelaku dikeluarkan tak kunjung dipenuhi,” terang KitaAgni.

    Meskipun, ungkap KitaAgni, Rektorat UGM mengklaim bahwa pelaku sudah diberi sanksi berupa, kewajiban menandatangani permohonan maaf, melakukan konseling, dan mengulang KKN-PPM. Selain itu juga rektorat  menunda pemberian surat keterangan kelulusan dan pelaksanaan wisuda selama satu semester hingga rekomendasi Tim Investigasi selesai dilaksanakan.

    Bagi KitaAgni, respon di atas tidak tepat dan problematik, karena, pertama, ada pihak yang sudah dihancurkan dalam peristiwa ini, yaitu Agni. Sehingga perspektif Agni sebagai penyintas pemerkosaan penting untuk diprioritaskan. Namun Rektorat UGM justru mengabaikan tuntutan penyintas.

    Kedua, menurut KitaAgni, beberapa langkah yang dilakukan oleh UGM seperti menarik pelaku dan memintanya mengulang KKN-PPM hanyalah konsekuensi logis dari pelanggaran berat yang dilakukan. Tetapi tidak mencerminkan pengakuan dan reparasi terhadap pemerkosaan dan penderitaan yang dialami oleh penyintas.

    “Ketiga, respon-respon di atas semakin menunjukkan bahwa UGM, sebagai institusi pendidikan publik, masih cenderung menyalahkan penyintas (victim-blaming) dan menganggap sepele kekerasan seksual. Ketika kekerasan dan pelecehan seksual dalam bentuk apapun, apalagi pemerkosaan, tidak dianggap sebagai pelanggaran berat, pada saat itulah UGM gagal menjadi rumah belajar yang aman dan nyaman bagi anak didiknya,” ungkap KitaAgni.

    KitaAgni sendiri merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi para mahasiswa, dosen, staf, dan alumni yang menjadi bagian dari keluarga besar UGM. Beberapa di antara kami adalah penyintas kekerasan seksual, beberapa diantara mereka pernah mengalami kekerasan seksual di kampus.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here