More

    Walhi Jabar: 2019 Rakyat Masih Jadi Korban Pembangunan

    Imah Herdiana

    Dadan Ramdan, Direktur Walhi Jabar.

    BANDUNG, KabarKampus – Masalah lingkungan tiap tahunnya tak menunjukkan kabar gembira. Bahkan dari segi kualitas terus memburuk. Di Jawa Barat pun demikian, ada kerusakan dan pencemaran yang menjadi ancaman nyata bencana ekologi. Di sisi lain, ada konflik, sengketa, perampasan, bahkan kriminalisasi terhadap warga yang melawan.

    Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Barat memprediksi, 2019 masalah itu akan berulang. Hal ini terjadi karena masifnya pembangunan infrastruktur yang didukung keputusan politik yang tidak ramah lingkungan. Sementara posisi rakyat tetap menjadi objek pembangunan, bahkan dikorbankan. Kualitas hidup bagi rakyat masih jauh dari harapan.

    “Hari ini ceritanya tak berubah, tidak ada perubahan signifikan secara kualitatif yang dihadapi atau yang dialami oleh rakyat termasuk saya sebagai rakyat Jabar, rakyat yang bersama dengan komunitas lainnya sama berjuang di lapangan, di kota, di pedesaan, untuk bagaimana agar perubahan sosial yang mengarah pada perbaikan secara kualitatif itu terwujud,” kata Dadan Ramdan, Direktur Walhi Jabar dalam orasi ilmiah “Kilometer Perjuangan” di KaKa Café, Jalan Sultan Tirtayasa 49 Bandung, Senin, (10/12/2018).

    - Advertisement -

    Dalam orasi ilmiah terkait Hari Hak Asasi Manusia Internasional yang dihadiri puluhan aktivis dan mahasiswa itu, Dadan mengajukan data kasus konflik lingkungan. Mulai dari pembangunan Waduk Jatigede yang direndam 2015. Pembangunan yang memakan sekitar 6.000 hektar itu disebut berdampak pada 40 ribu jiwa.

    “Hingga kini warga terdampak pembangunan waduk Jatigede belum terpulihkan hak-hak hidupnya, baik hak sosial, ekonomi, budaya,dan hak lingkungannya,” kata Dadan.

    Dari luasan lahan waduk Jatigede, menurut Dadan, terdapat 1.300 hektar hutan, belum lagi sawah dan sumber mata air yang menjadi sumbu kehidupan warga. Padahal sebelum pembangunan waduk Jatigede, warga di sana sudah bisa menghidupi diri sendiri, tidak menggantungkan hidup dari negara.

    Ironisnya, lanjut Dadan, warga terdampak Jatigede yang kini tinggal di daerah Congeang kini terancam kembali oleh pembangunan jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan (Cisumdawu). Mereka pun harus pindah kembali ke tempat lain.

    Kasus lain ialah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara 2000 mw di Indramayu, PLTU batubara 1200 mw Cirebon, dan 600 mw Sukabumi.

    Dadan menyebutkan, tahun ini ada 4 warga harus berurusan dengan hukum karena melakukan perlawanan atas pembangunan PLTU tersebut. Padahal mereka mempertahankan tanah air berupa sawah, kebun, pesisir dan tempat tinggal.

    “Mereka hidup dari itu semua, tapi sekarang terampas kehidupannya akibat PLTU batubara,” katanya.

    Dua bulan sebelumnya, ada tiga warga yang berurusan hukum. Saat ini mereka dalam proses persidangan.

    Menurutnya, lingkungan pantai dan udara terancam pembangunan PLTU batubara. Pemerintah membangun pembankit listrik dengan teknologi yang sebenarnya sudah tidak digunakan lagi di negara maju.

    Masalah lingkungan juga terjadi di Sukabumi di mana warga yang tergabung dalam Forum Warga Sirnaresmi sudah empat tahun berjuang melawan pencemaran akibat operasi pabrik semen.

    “Sampai warga Sukabumi berjuang tertatih-tatih. Hak untuk mendapatkan informasi sekalipun harus berurusan dengan pengadilan,” katanya.

    Warga Sukabumi berusaha mendapatkan dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan salinan izin lingkungan (IMB) pabrik semen. Namun, dokumen publik tersebut sulit didapat. Padahal melalui dokumen tersebut, akan diketahui sejauh mana pabrik semen itu ramah terhadap lingkungan dan warga sekitar.

    Di Cibitung, Sukabumi Selatan, juga tercatat terdapat perlawanan warga terhadap praktik kotor pertambangan pasir besi yang telah merusak pesisir pantai dan hutan.

    Lalu kasus pertambangan di Antajaya, Kabupaten Bogor. Warga di sana memperjuangkan hutan dan resapan-resapan air di gunung Kandaga, kaki gunung Sanggabuana, yang merupakan sumber kehidupan mereka. Namun sudah empat tahun ini sumber kehidupan itu terancam pertambangan andesit.

    Masih di Bogor, rakyat Cileungsi terus berjuang melawan pencemaran sungai Cileungsi dari pembuangan limbah pabrik.

    Kemudian Rakyat desa Mekarsaluyu Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung Barat, masih berjuang melawan keserakahan perusahaan yang mengupas bukit resapan air. Lalu  rakyat di Sumedang dan Bandung berjuang melawan penggusuran reaktivasi pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung.

    Di Kota Bandung juga terdapat perlawanan warga terhadap penggusuran pembangunan di Taman Sari. “Tak jauh dari kehidupan kita di Kota Bandung, juga bisa melihat bagaimana perjuangan warga Taman Sari untuk dapat keadilan. Hingga sekarang mereka tetap masih berjuang dengan tersenyum, riang gembira, namun jauh di dalam relung hati mereka itu ada kepedihan, ada kepiluan kesedihan yang itu bisa diekpresikan secara langsung dan tidak,” paparnya.

    Masih di kawasan Bandung, rakyat korban penggusuran kolam retensi Cieunteung Baleendah masih berjuang untuk mendapatkan hak-hak pemulihan ekonomi dan sosial.

    Di Jabar selatan tepatnya di Pangandaran, rakyat berjuang melawan penebangan pohon akibat ekspansi pabrik, pertambangan karst, serta pencemaran limbah pabrik.

    Dengan banyaknya kasus pembangunan yang menjadikan rakyatnya sebagai korban, Walhi Jabar mengajak merenungkan kembali makna demokrasi di mana sesungguhnya rakyatlah pemegang kedaulatan.

    “Di mana meletakan kebebasan, meletakan rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Saya kira 5 – 10 tahun ke belakang kita tidak menemukan wujud atau praktek bagaimana rakyat betul-betul berdaulat,” katanya.

    Kondisi saat ini menunjukkan bahwa Jabar belum terbebas dari berbagai macam permasalahan mendasar, hak asasi manusia belum bisa diwujudkan dan dinikmati oleh seluruh lapisan rakyat.

    “Dalam sejarah Jabar yang sudah hampir 50 tahun lebih itu belum tercipta. Bahkan sejak Indonesia merdeka penegakan HAM masih belum terwujud, termasuk atas hak lingkungan yang baik dan sehat,” katanya.

    Ia menilai, Jabar sendiri saat ini menjadi objek pemerintah pusat. Jabar memang strategis bagi tumbuhnya investasi-investasi infrastruktur skala besar, properti, pembangunan sarana komersil, investasi pemodal. Hal ini tak lepas dari kayanya sumber daya alam di Jabar. Namun kekayaan ini belum dinikmati secara maksimal secara adil oleh 47 juta rakyat penduduknya.[]

     

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here