JAKARTA, KabarKampus – Dalam berdemokrasi, tidak memilih atau Golput menjadi sebuah keniscayaan. Tidak memilih adalah hak, seperti halnya memilih dan setiap orang memiliki kebebasan dalam menjalankan hak pilihnya itu.
Namun akhir-akhir muncul kelompok yang menganggap buruk mereka yang golput. Padahal mereka yang tidak memihak kedua calon memiliki merupakan bentuk ekpresi protes dan penghukuman terhadap mekanisme penentuan capres-cawapres oleh partai politik yang masih didominasi pertimbangan politik praktis.
Selain itu, terbatasnya pilihan calon-calon pemimpin bukanlah terjadi secara alamiah. Ada desain sedemikian rupa yang membuatnya demikian.
ICJR, Kontras,LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lokataru, PBHI, YLBHI merinci sebanyak lima alasan yang menjadikan seseorang atau kelompok memilih Golput. Golput menurut mereka dapat terjadi dari kondisi-kondisi dalam sistem politik Indonesia, seperti yang disampaikan dalam konferensi pers yang digelar di kantor LBH Jakarta, Rabu, (23/01/2019).
Berikut alasan seseorang atau kelompok Golput :
- Syarat terbentuknya partai yang dipaksakan nasional, sehingga hanya partai-partai modal besar yang dapat ikut pemilu dan sistem politik kita menutup adanya partai lokal, kecuali di Aceh yang memiliki Otonomi Khusus.
- Dalam sistem partai modal besar itu, masih ada sistem presidential threshold, di mana seseorang hanya bisa dicalonkan sebagai presiden jika didukung 20 persen dari jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara nasional. Jadi meski sebuah partai politik telah lolos verifikasi nasional dengan syarat yang berat dan berbiaya mahal, telah punya kursi di DPR, tapi tidak dapat serta merta mencalonkan siapapun sebagai Presiden Republik Indonesia. Syarat yang berat untuk mengajukan calon presiden ini, memaksa sesama partai modal besar, bergabung menjadi kekuatan modal yang lebih besar agar dapat mencalonkan seseorang sebagai presiden. Padahal, pengalaman memiliki presiden secara langsung selama tiga kali sejak 2004, menunjukkan bahwa calon yang diinginkan masyarakat umum bisa berbeda dengan calon-calon yang dikehendaki para kumpulan partai modal besar ini.
- Aroma oligarki para elit ini semakin dikunci dengan tidak ada peluang mengajukan calon presiden independen. Padahal, masih dalam sistem NKRI yang sama, gubernur, bupati, atau walikota dapat dicalonkan dari jalur independen.
- Padahal sistem rekrutmen pejabat publik lewat mesin-mesin partai modal besar bersama para sponsornya ini (oligarki) tidak selalu menjamin hasil yang baik. Dalam 13 tahun terakhir, terdapat 392 kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi. Dan sebagian besar dari mereka dipastikan adalah pejabat yang disorongkan dan didukung lewat jalur partai-partai politik.
- Dengan sistem politik yang oligarkis dan tertutup seperti ini pun, kedua capres dan cawapres saat ini sama-sama terjebak dalam politik identitas yang menggunakan simbol-simbol agama tertentu semata-mata untuk meraih dukungan. Dalam situasi ketiadaan pilihan karena capres-cawapres hanya dapat diusulkan partai politik, dan partai politik hanya dapat dibentuk jika memiliki modal besar, lalu keduanya tak mewakili banyak aspirasi yang ingin melihat Indonesia bebas dari politisasi agama, maka tidak memilih salah satu pasangan calon adalah suatu pilihan dan keniscayaan dalam berdemokrasi.