JAKARTA, KabarKampus – Robertus Robet, seorang dosen dan aktivis HAM ditangkap polisi di rumahnya di Jakarta, sekitar pukul 11.45 malam pada Rabu, (06/03/2019). Ia ditangkap terkait orasinya soal dwiFungsi TNI dalam aksi Kamisan di depan Istana Negara, pada 28 Febuari 2019 lalu.
Kamisan yang dihadiri Robet merupakan Kamisan pekan ke-576 yang mengangkat tema tolak dwifungsi TNI. Mereka menolak mengembalikan TNI di instansi-instansi sipil seperti zaman Orde Baru. Video orasi Robet pun tersebar di laman Youtube.
Robet ditangkap dengan jeratan pasal 45 ayat (2) Jo pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. 11 tahun 2009 tentang ITE. Selain itu juga Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU No 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan/atau Pasal 207 KUHP.
Menurut Yati Andriyani, Kuasa Hukum Robet, penangkapan kepada Robertus Robet adalah ancaman kebebasan sipil di masa reformasi. Mereka memandang, pengajar jurusan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta tersebut tidak menyebarkan informasi apapun melalui elektronik.
Ada sejumlah alasan Yati bersama Tim Advokasi Kebebasan Berekspresi menolak penangkapan tersebut, pertama adalah yang dipersoalkan adalah masalah refleksinya. Padahal refleksi yang memberikan komentar apalagi atas kajian akademis atas suatu kebijakan tidak dapat dikategorikan sebagai kebencian atau permusuhan.
“TNI jelas bukan individu dan tidak bisa “dikecilkan” menjadi kelompok masyarakat tertentu karena TNI adalah lembaga Negara,” kata Yati dalam keterangan persnya.
Menurut Yati, Robet tidak sedikitpun menghina institusi TNI. Ia justru mengatakan mencintai TNI dalam artian mendorong TNI yang profesional. Baginya, menempatkan TNI di kementerian sipil artinya menempatkan TNI di luar fungsi pertahanan yang akan mengganggu profesionalitas TNI seperti telah ditunjukkan di Orde Baru.
Pasal-pasal Anti Demokrasi.
Yati menjelaskan, pasal-pasal yang dikenakan untuk menangkap Robet adalah yang selama ini kerap disalahgunakan untuk merepresi kebebasan berekspresi (draconian laws). Baginya itu sungguh tidak tepat.
Seperti, pada Pasal 207 KUHP yang berbunyi “barang siapa dengan sengaja di muka umum menghina suatu penguasa atau badan hukum akan diancam pidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan. Sementara putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dalam pertimbangannya mengatakan “dalam masyarakat demokratik yang modern maka delik penghinaan tidak boleh lagi digunakan untuk pemerintah (pusat dan daerah), maupun pejabat pemerintah (pusat dan daerah).”
Sedangkan ungkap Yati, pasal 28 ayat (2) jo, UU ITE mengatur “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).”
Sehingga tegas Yati, Penangkapan terhadap Robet tidak memiliki dasar dan mencederai negara hukum dan demokrasi. Oleh karenanya Robertus Robet harus segera dibebaskan demi hukum dan keadilan.[]