More

    Tiga Ancaman Siber di Pemilu Indonesia

    Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM menggelar konferensi pers terkait ancaman siber di Pemilu 2019. Dok. UGM

    BANDUNG, KabarKampus – Ada sejumlah ancaman keamanan yang terjadi di Pemilu di Indonesia pada tahun 2019. Mulai dari ancaman siber sebelum, saat hingga pasca pemilu 2019 yang terbagi dalam tiga jenis yaitu operasi siber, operasi informasi, dan operasi campuran antara siber dan informasi.

    Hal ini diungkapkan Dr. Dedy Permadi, Direktur Center for Digital Society (CfDS) Fisipol UGM, dalam konferensi pers di Fisipol, UGM, Kamis, (18/04/2019). Konferensi pers tersebut mengusung tema “Ancaman Keamanan Siber Masa Pemilu 2019.

    Menurut Dedy, operasi siber merupakan jenis ancaman yang berupa perusakan atau gangguan terhadap  sistem IT dalam penyelenggaraan pemilu. Misalnya, denial of service (DoS), distributed denial of services (DdoS), pengendalian sistem secara ilegal, serta intercept dan pencurian data pribadi. Operasi siber saat pemilu pernah terjadi di Indonesia ketika terjadi peretasan situs KPU pada tahun 2004 oleh seorang konsultan teknologi asal Indonesia.

    - Advertisement -

    Sedangkan operasi informasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menganggu aktivitas dan proses dalam pemilu dengan menyebarluaskan informasi tidak sehat seperti hoaks. Operasi ini dapat berupa misinfromasi, disinfromasi, serta malinformasi yang diwujudkan dalam bentuk ujaran kebencian, perundungan siber, kekerasan daring, pembocoran data pribadi, dan delegitimasi hasil. Selain itu, juga pemelintiran kebencian oleh aktor dalam pemilu.

    “Pemelitiran kebencian ini seperti aktor dalam pemilu membuat kemarahan yang dibuat-buat untuk memengaruhi persepsi publik. Hal ini bisa merusak informasi karena pokok persoalan kemarahan adalah sesuatu yang dikonstruksi,” paparnya.

    Operasi informasi ini pernah melanda Amerika Serikat saat kemenangan Presiden Trump yang didukung oleh disinformasi dan malinfromasi. Selain itu, juga terjadi di Brazil saat kemenangan Presiden Jair Bolsonaro yang didukung oleh penyebaran hoaks melalui aplikasi whatsapp berskala masif.

    Lebih lanjut Dedy menjelaskan bahwa hoaks menjadi salah satu bentuk ancaman keamanan siber yang mengancam kualitas demokrasi, khsusunya pemilu. Data Kominfo 2019 mencatat selama Agustus 2018 hingga Maret 2019 terdapat 1.224 hoaks yang teridentifikasi berkaitan dengan isu politik. Jumlah tersebut meliputi 175 hoaks pada Januari 2019, 353 hoaks pada Februari 2019, serta 453 hoaks di Maret 2019.

    Operasi informasi ini memanfaatkan bias kognitif manusia yang memiliki keterbatasan dalam memproses informasi. Manusia hanya memilih sumber informasi yang mudah dikonsumi.

    Saat ini, dikatakan Dedy, masyarakat juga hidup dalam era post truth saat informasi kebohongan dapat dianggap sebagai kebenaran karena informasi tersebut dekat dengan keyakinan dan terus menerus diterima orang tertentu. Selain itu, juga terjadi fenomena eco chamber ketika pengguna media sosial (medsos) terisolasi pada satu ruang berpikir. Algoritma medsos dapat menggiring pengguna berlama-lama mengakses konten-konten yang dekat dengan kesukaannya sehingga berimbas pada isolasi terhadap perspektif lain.

    Menyitir Shackelford dkk, 2016, Dedy menyampaikan ada lima area dalam proses elektoral yang rentan akan serangan siber. Lima area itu adalah informasi yang diterima pemilih menjelang pemilu, daftar peserta pemilu, mesin untuk memilih, mekanisme rekapitulasi untuk menentukan pemenang, dan sistem diseminasi untuk menyebarluaskan berita terkait hasil pemilu.

    Ancaman serangan siber disebutkan Dedy sangat berpotensi merusak pemilu.  Namun, dia yakin dengan membangun keamanan siber kolaboratif-progresif dapat menjadi benteng menghadapi serangan siber. Salah satunya dengan membangun kesadaran manusia dengan pengetahuan atau literasi digital yang baik. Disamping itu, juga membuat regulasi terkait keamanan siber yang mumpuni dan meningkatkan kualitas sistem IT keamanan siber.

    “Gerakan literasi digital yang sifatnya kolaboratif sudah seharusnya didukung oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya progresif,”pungkasnya.[]

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here