JAKARTA, KabarKampus – Kebijakan sistem zonasi banyak menimbulkan kekisruhan di tengah masyarakat. Sehingga kebijakan ini perlu dikaji ulang ulang pemerintah.
Nadia Fairuraza Azzahra, Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menjelaskan, penerapan sistem zonasi memiliki tujuan yang baik, yaitu demi pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun penerapannya justru menimbulkan kekisruhan.
Direvisinya Permendikbud nomor 51 tahun 2018 di tengah-tengah proses pelaksanaan PPDB di Indonesia, lanjut Nadia pun justru menimbulkan masalah lain. Padahal revisi Permendikbud menumbuhkan harapan orangtua siswa untuk tetap dapat menyekolahkan anaknya di “sekolah favorit.”
Sebelumnya, peraturan tersebut mensyaratkan bahwa 90% siswa baru berasal dari jalur zonasi, 5% berasal dari jalur prestasi, dan jalur migrasi sebesar 5%. Setelah direvisi, kuota untuk jalur zonasi dikurangi sementara kuota jalur prestasi ditambah.
Nadia menjelaskan, peraturan yang tiba-tiba direvisi ini mengakibatkan pemerintah daerah dan sekolah-sekolah membutuhkan waktu untuk menyesuaikan peraturan tersebut dengan proses PPDB yang sedang berlangsung. Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak daerah kesulitan mengimplementasikan sistem ini. Hal tersebut membuat proses PPDB tidak berjalan sesuai yang diharapkan.
“Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam evaluasi penerapan sistem zonasi. Hasil dari evaluasi ini sebaiknya benar-benar dijadikan pegangan bagi pemerintah sebelum kembali mengimplementasikan sistem serupa,” jelas Nadia dalam keterangan persnya, Senin, (24/06/2019).
Beberapa evaluasi dalam penerapan sistem ini, ungkap Nadia, pertama adalah mengenai persebaran sekolah. Persebaran sekolah yang ada di daerah-daerah di Indonesia tidak merata.
Banyak sekolah yang berada di perkotaan mengalami kelebihan jumlah siswa diakibatkan oleh banyaknya jumlah penduduk yang bermukim di wilayah tersebut. Sementara sekolah di kawasan lain kekurangan siswa, karena penduduknya sedikit.
Kemudian, kedua, meskipun pemerintah pusat memberi kebebasan bagi pemerintah daerah untuk menyesuaikan peraturan ini terhadap kondisi di daerah masing-masing, namun faktanya ada beberapa daerah yang kesulitan dalam mengimplementasikan peraturan ini. Salah satunya karena persebaran sekolah yang tidak sebanding dengan wilayah penduduk.
Faktor ketiga adalah ketidakselarasan peraturan sistem zonasi dengan peraturan lain. Meskipun pemerintah ingin menghapuskan stigma “sekolah favorit” dan “sekolah non favorit”, pada kenyataanya orangtua memiliki alasan untuk bersikeras menyekolahkan anaknya di sekolah favorit.
Salah satunya lanjut Nadia, terkait dengan peraturan SNMPTN. Seperti tahun-tahun sebelumnya, salah satu pertimbangan untuk dapat diterima oleh PTN adalah melihat prestasi sekolah yakni jumlah alumni yang ada di PTN tertentu.
Apabila sebuah SMA memiliki banyak alumni yang tersebar di PTN favorit, maka dari itu siswa yang berasal dari SMA tersebut juga memiliki peluang yang lebih besar untuk dapat diterima di PTN favorit. Meskipun jalur SNMPTN undangan telah dikurangi pada tahun ini, namun kenyataannya perbedaan antara sekolah favorit dan sekolah non favorit dalam penerimaan mahasiswa baru tetap ada.
“Selanjutnya adalah pelaksanaan sistem zonasi ini tidak dibarengi dengan adanya peningkatan dan pemerataan kualitas guru serta sarana dan prasarana sekolah yang notabene merupakan permasalahan utama yang seharusnya mendapatkan perhatian lebih. Hingga saat ini, ketimpangan fasilitas antara sekolah favorit dan sekolah non favorit masih terasa,” ungkap Nadia.
Bagi Nadia, pemerataan pendidikan yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan harusnya tetap mempertimbangkan hal ini. Kebebasan orangtua dan anak untuk dapat memilih layanan pendidikan yang mereka inginkan sebaiknya tidak dibatasi oleh pemerintah. Di sisi lain, pemerintah juga harus membantu meningkatkan kualitas sekolah-sekolah yang dianggap “non favorit” agar dapat bersaing sehingga akan meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia dalam jangka panjang.
Selain itu, minimnya sosialisasi kepada masyarakat juga membuat penerapan sistem ini semakin bermasalah. Sosialisasi yang dimaksud meliputi regulasi dan petunjuk teknis pelaksanaan. Pelaksanaan yang mendadak juga membuat banyak siswa dan orang tua tidak memiliki persiapan seandainya anak mereka tidak diterima di sekolah negeri yang dituju.[]