More

    PTUN Tolak Gugatan Warga Taman Sari, Warga Sebut Hakim Bohong

    Suasana sidang gugatan warga Taman Sari di PTUN Bandung.

    BANDUNG, KabarKampus – Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung menolak gugatan warga RW 11 Taman Sari terhadap izin lingkungan dalam pembangunan rumah deret yang dikantongi Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan, dan Pertamanan (DPKP3) Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung, Kamis (19/12/2019). Warga yang sepekan sebelumnya mengalami penggusuran paksa oleh Satpol PP dan aparat gabungan, pun kecewa. Mereka melampiaskan kekecewaan dengan menyebut hakim “bohong” dan “masuk angin”.

    Sidang dengan agenda putusan itu digelar di PTUN Bandung, Jalan Diponegoro. Sejak awal, warga dan massa solidaritas memenuhi ruang sidang. Sementara di luar gedung pengadilan, massa juga melakukan demonstrasi mendukung warga Taman Sari.

    Putusan dibacakan majelis hakim yang dipimpin Yarwan, SH, MH., dengan hakim anggota Danan Priambada, SH, MH., dan Dr. Novy Dewi Cahyati, S.Si., SH., MH.

    - Advertisement -

    Hakim menyatakan, pihaknya telah memeriksa fakta atau bukti hukum yang didukung keterangan saksi-saksi, saksi ahli, substansi objek sengketa, dalam mekanisme izin lingkungan dalam pembangunan rumah deret di RW 11 Taman Sari, Kota Bandung.

    Materi gugatan adalah penerbitan izin lingkungan proyek rumah deret oleh Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kota Bandung. Izin ini dikantongi Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan, dan Pertamanan (DPKP3) Kota Bandung. Menurut materi gugatan warga, izin tersebut tidak sah dan harus dicabut karena tidak memiliki dasar sertifikat atas tanah yang menjadi lokasi pembangunan rumah deret.

    Proses pembangunan rumah deret, kata hakim, terjadi sejak 2017. Pembangunan akan dilakukan di lahan seluas 6.616 meter persegi dengan luas bangunan 12.309 meter persegi. Hakim menilai, permohonan izin lingkungan telah memenuhi persyaratan sesuai peraturan perundangan, antara lain dengan melampirkan foto kopi KTP warga yang mendukung, bukti kepemilikan dan pemanfaatan. Rencana pembangunan rumah deret juga dinyatakan telah melewati tahap sosialisasi, termasuk relokasi bagi warga terdampak pembangunan.

    “Menimbang hal-hal tersebut, majelis hakim menilai tergugat dalam menerbitkan objek sengketa telah sesuai dengan peraturan yang berlaku,” kata hakim.

    Menurut hakim, tergugat tidak perlu memiliki bukti kepemilikan sertifikat dalam mendapatkan izin lingkungan. Tergugat cukup memiliki bukti-bukti pemanfaatan tanah. “Sehingga penerbitan izin objek sengketa telah sesuai,” kata hakim.

    Saat hakim membacakan putusan akhir itulah, warga mulai bereaksi. Ada warga yang merespons keputusan hakim dengan kata “Haduh” dan “masuk angin”. Sejumlah warga mulai membentangkan tulisan dari karton di muka hakim. Tulisan tersebut berisi penolakan terhadap proyek rumah deret.

    Hakim terus membacakan putusan. Hakim mengesampingkan pernyataan saksi-saksi warga sebagaimana tertera dalam putusan yang menyatakan izin lingkungan rumah deret sebagai pelanggaran, mencemari lingkungan, dan ada penyalahgunaan kewenangan. Ada kesaksian yang menyatakan bahwa sisa bangunan akibat pembongkaran paksa rumah deret menjadi sarang penyakit, sarang tikus, kumuh, gelap, udara tercemar, dan tidak asri lagi.

    Menurut hakim, dareah tersebut akan dilakukan penataan kawasan berupa rumah susun. Mayoritas warga juga telah setuju. “Untuk penanganan objek sengketa, pemugaran, peremajaan dan permukiman kembali dan relokasi warga dengan filosofi membangun tanpa menggusur,” kata hakim.

    Warga kembali bereaksi dengan menyatakan, “Bohong”. Namun hakim tak menggubris, dan melanjutkan pembacaan putusan. Hakim justru menyalahkan warga yang masih bertahan. Menurutnya mereka telah menghambat berhentinya proyek pembangunan rumah deret. “Sehingga kenyamanan, keserasian, menjadi sulit diwujudkan. Akibat tindakan warga yang mendiami justru menyebabkan penyemaran lingkungan.”

    “Bohong!” timpal warga, “masuk angin,” kata warga lainnya. Warga mulai kesal dengan keputusan hakim. Begitu hakim menyatakan penolakan terhadap seluruh gugatan warga, maka warga dan massa solidaritas kompak berdiri dan melantunkan lagu perjuangan.

    Perwakilan warga, Eva Eryani Effendi, menyatakan di depan majelis hakim bahwa dirinya dan warga lainnya memilih bertahan di Tamansari demi mempertahankan hak hidup yang dijamin konstitusi. Hingga kini pihaknya belum menerima sepeser pun uang kerohiman dari Pemkot Bandung sebagai ganti rugi atas penggusuran rumahnya. “Semua masuk angin ini,” tukas Eva.

    Di saat yang bersamaan, hakim Yanwan mengakhiri pembacaan amar putusannya dan langsung mengetukkan palu tanda sidang ditutup. Tiga hakim lantas bergegas meninggalkan ruang sidang. Massa terus menyanyikan lagu perjuangan yang mendukung warga Tamansari. Suasana pengadilan jadi penuh gemuruh.

    Eva lalu mendatangi massa yang berdemonstrasi di luar gedung PTUN. Di hadapan puluhan massa pendukung, ia menyampaikan orasi yang menuntut pencabutan penghargaan Bandung sebagai kota ramah HAM. “Harus dicabut karena kebengisan yang dilakukan Pemkot Bandung kepada kami,” tukas Eva.

    Penolakan gugatan tersebut tak mengecilkan perjuangan warga Tamansari. Mereka melalui Kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Gugun Kurniawan, menyatakan akan mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi.

    “Upaya selanjutnya, tadi kami sudah diskusi dengan warga, akan melakukan upaya banding 14 hari setelah putusan ini dibacakan,” tandas Gugun Kurniawan, yang juga Kepala Departemen Tanah dan Lingkungan LBH Bandung. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here