More

    Tanah di Bandung Turun 20 CM Per Tahun, Tukang Bor Jadi “Terdakwa”?

    Gambar peta Tim Geodesi ITB di wilayah Bandung yang dilakukan Irwan Gumelar, Heri Andreas, Teguh P Sidiq, Hasanuddin Z Abidin, dan Yoichi Fukuda (Jepang). (Dok Geodesi ITB)

    BANDUNG, KabarKampus – Tim geodesi Institut Teknologi Bandung (ITB) mengungkap pentingnya mewaspadai penurunan tanah (land subsidence) yang terjadi di Bandung Raya. Tim merilis data setiap tahunnya sejumlah daerah mengalami penurunan tanah antara 5 cm sampai 20 cm.

    Angka ini dinilai sebagai penurunan paling cepat di dunia. Tim menyebut pengambilan air tanah secara berlebihan menjadi penyebabnya.

    - Advertisement -

    Dalam kajian Tim Geodesi ITB di wilayah Bandung yang dilakukan Irwan Gumelar, Heri Andreas, Teguh P Sidiq, Hasanuddin Z Abidin, dan Yoichi Fukuda (Jepang), dilakukan pemetaan Bandung Raya yang disebut juga Cekungan Bandung yang mengalami penurunan tanah. Dalam peta, laju penurunan tanah paling besar 15-20 cm per tahun yang diberi warna merah. Sementara warna kuning menunjukkan laju penurunan sedang 5-10 cm per tahun.

    Disebutkan, tempat-tempat yang laju subsidence-nya sangat besar (tinggi) yaitu Cimahi, Dayeuhkolot, Gedebage, Kopo, Majalaya, Banjaran dan Rancaekek. Baleendah, penurunan tanah terjadi di area pemukiman padat penduduk; Gedebage, penurunan tanah terjadi di area pemukiman jarang dan pesawahan; Solokan Jeruk terjadi di area pesawahan pemukiman jarang; Rancaekek di area industri dan pemukiman jarang; Cimahi di area industri.

    Dibantah di Badan Geologi

    Penelitian tersebut mendapat tanggapan serius dalam diskusi “Menguak Lebih Jauh Fenomena Land Subsidence Bandung” di Museum Geologi, Badan Geologi, Bandung, Jumat (13/12/2019), yang menghadirkan sejumlah narasumber yang juga pakar air, salah satunya Dr. Sc. Rachmat Fajar Lubis dari Perhimpunan Ahli Air Tanah Indonesia.

    Fajar tidak menerima jika pengambilan air tanah dengan cara pengeboran dijadikan “terdakwa” yang jadi penyebab penurunan air tanah di Bandung Raya. Untuk itu ia harus melakukan “pembelaan”.

    “Yang jadi masalah kalau pengambilan air tanah berlebih. Pengambilan air tanah yang terkendali bukan masalah. Di kita ada pembatasan debit. Jadi pengambilan air tanah diatur,” kata Fajar.

    Menurutnya, fenomena penurunan tanah di Bandung tak lepas dari kondisi geologi. Secara umum Cekungan Bandung terdiri dari dua batuan, yakni batuan gunung api di utara yang formasinya lebih solid, dan batuan belum solid berupa sedimen alluvial. Penurunan tanah akan terjadi di daerah dengan batuan alluvial, yakni daerah selatan Bandung. Sementara daerah utara Bandung, batuannya lebih solid karena batuannya tercipta akibat proses gunung api.  

    Dalam bahasa geologi, batuan berupa endapan alluvial disebut pula batuan berumur kuarter (muda), sehingga berpotensi terjadi penurunan tanah atau amblasan. Batuan di Indonesia umumnya bersifat kuarter, beda dengan daerah Eropa yang umumnya terdiri dari batuan tersier dan pratersier yang usianya lebih tua jutaan tahun dari batuan kuarter.

    “Cekungan Bandung merupakan produk dari endapan danau Bandung yang batuannya kuarter. Sama dengan Jakarta dan daerah yang juga mengalami penurunan tanah seperti Semarang, sama-sama alluvial. Jadi (penurunan tanah di Bandung) ini konteksnya kuarter batuannya yang belum seimbang secara alami,” terangnya.

    Selain itu, ia juga menyebut faktor lain yang mendorong terjadinya penurunan tanah di daerah pesawahan seperti yang tampak dalam penelitian tim Geodesi ITB. Penurunan terjadi karena pemberian pupuk kimia di sawah. Lama-lama pupuk ini akan turun ke dalam tanah, dan menimbulkan amblasan. Ia menyebut ada penelitian yang menyebutkan pupuk kimia bisa menimbulkan amblasan dalam kurun 15 sampai 30 tahun. []

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here