More

    Kampus Merdeka dan Kemerdekaan Olah Pikir

    Praja Firdaus Nuryananda

    Ilustrasi. Foto : ITS

    24 Januari 2020 adalah saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Kabinet Kerja Jilid II, Nadiem Makarim, melakukan sosialisasi tentang kebijakan baru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia. Kebijakan ini diberi tajuk “Kampus Merdeka”, yang merupakan kelanjutan dari grand program “Merdeka Belajar” olehKemendikbud. Ada empat kebijakan besar yang diusung dalam Kampus Merdeka ini, yakni 1) otonomi bagi perguruan tinggi negeri (PTN) dan swasta (PTS) yang memiliki akreditasi A dan B untuk melakukan pendirian program studi baru, 2) akreditasi program studi akan bersifat lebih sukarela, 3) kementerian akan memberikan kemudahan bagi PTN BLU (badan layanan umum) dan PTN Satker (satuan kerja) untuk segera bisa merangkak naik menjadi PTN BH (badan hukum), dan 4) terakhir adalah perubahan definisi sks (satuan kredit semester) dan adanya keleluasaan bagi mahasiswa untuk mengambil matakuliah di luar program studi mereka.[1]

    Untuk mendukung kebijakan tersebut, Kemendikbud telah menerbitkan Permendikbud yang mengubah peraturan menteri sebelumnya, yakni Permendikbud Nomor 3, 4, 5, dan 6 Tahun 2020. Maka kebijakan ini dibuat dengan landasan yuridis yang sudah tersedia. Pada saat sosialisasi dilakukan, Mendikbud Nadiem Makarim juga memberikan ruang tidak hanya bagi pejabat kampus, namun juga kepada perwakilan mahasiswa agar sosialisasi tidak hanya sampai pada tataran pejabat kampus yang seringkali membutuhkan usaha dua kali untuk berkomunikasi dengan mahasiswa di tiap kampusnya. Maka sebenarnya, dari sedikit penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa selain pendekatan Kemendikbud yang lebih egaliter dan merata, kebijakan “Kampus Merdeka” juga memberi ruang berkembang pada critical dan creative thinking seluruh sivitas akademik di kampus.

    - Advertisement -

    Artikel ini adalah artikel pelengkap terakhir dari dua artikel penulis sebelumnya, yakni tentang irelevansi skripsi sebagai satu-satunya manifestasi tugas akhir perkuliahan[2] dan alternatif lain yang muncul dengan ­best practices dari kampus-kampus yang telah memberikan layanan non-skripsi bagi mahasiswanya[3]. Artikel ini adalah benang merah relevansi induktif tentang bagaimana sekiranya “Kampus Merdeka” bisa dimaknai secara sederhana, yaitu memulai dari diri dan lingkungan sendiri. Kebijakan Kampus Merdeka adalah kebijakan yang bersifat top-down, oleh karena itu kebijakan ini harus didukung dengan mental dan semangat yang dibangun secara bottom-up.

    Mengapa memaknai program “Kampus Merdeka” dengan sederhana menjadi sangat penting? Karena bagi Indonesia, konsep dan diksi “merdeka” tentu memiliki sejarah yang panjang dan tinta emas untuk menuliskannya. Salah seorang pendiri negara ini sekaligus presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno, memaknai “kemerdekaan” sebagai jembatan emas.[4] Jembatan emas adalah metafora Ir. Soekarno sebagai jembatan pertama menuju kemerdekaan yang hakiki. Setelah melepaskan diri dari penjajahan dan ketertindasan, tentu Indonesia harus menuju kepada pemerintahan yang berkeadilan serta menyejahterakan dan bebas mengatur dirinya sendiri. Kebebasan ini tentu tidak liar karena dibarengi dengan tanggung jawab bernegara dan bermasyarakat.

    Maka, meminjam istilah Ir. Soekarno dalam penyebutan kemerdekaan, program “Kampus Merdeka” ini seharusnya menjadi jembatan emas bagi tujuan pendidikan Indonesia yang mulia, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Maka bangsa yang cerdas kemudian akan menjadi bangsa yang bisa melindungi segenap bangsa dan rakyat Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan dapat berpartisipasi dalam penciptaan perdamaian dunia. Semua itu dimulai dari pendidikan yang merdeka dan memerdekakan. Paulo Freire mungkin punya terminologi lain, yakni pendidikan yang membebaskan.

    Pendidikan yang merdeka dan yang memerdekakan bukan berarti tidak akan mencetak generasi yang “seenaknya sendiri”. Pun dengan program atau semangat “Kampus Merdeka”. Merdeka bukan berarti tanpa kontrol dan tidak bertanggung jawab. Justru sebaliknya, merdeka berarti mau dan mampu mengelola nasibnya sendiri dengan segala kesadaran dan kewarasan yang relevan dengan zaman. Oleh sebabnya, memahami dan memaknai kemerdekaan dari diri sendiri dan dari lingkungan sekitar menjadi sangat krusial jika ingin tidak salah kaprah dalam melaksanakan program “Kampus Merdeka” ataupun “Merdeka Belajar” yang dicanangkan Kemdikbud. Jika mulai dari skala individu saja tidak memiliki kesadaran dan kewarasan yang relevan dengan dunia sekarang, maka slogan “merdeka” dalam program Kemdikbud hanya akan menjadi sekedar slogan. Biasanya berujung pada implementasi yang setengah-setengah atau riuh ramai khalayak mempertanyakan implementasi yang presisi sebagaimana ciri mayoritas birokrasi negara kita bekerja selama ini.

    Menjadi sangat penting kemudian untuk dijaminkan kemerdekaan-kemerdekaan esensial berikut ini sebelum lebih jauh melangkah kepada program “Merdeka Belajar” dan “Kampus Merdeka”. Substansi paling utama adalah kita harus mulai menyadari dan saling menyadarkan bahwa kemerdekaan bernalar atau olah pikir harus ada dan menjadi prasyarat sebelum beranjak ke pasal 28E ayat 3 UUD 1945, yakni tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Banyak dari kita yang tidak sadar bahwa kebebasan berpikir kita telah terenggut oleh kepentingan penguasa. Hal yang pertama kali disentuh oleh program “kemerdekaan” a la Kemdikbud seharusnya bisa menjamin kemerdekaan bernalar.

    Sebagai penutup, sebenarnya kita layak berharap pada program “Merdeka Belajar” dan “Kampus Merdeka” ini, selama ekspektasi, aspirasi, dan eksekusi program-program tersebut baik dan tidak salah kaprah. Program-program ini sudah sesuai dengan zaman sekarang yang lebih menuntut ekspresi, persistensi, dan kolaborasi. Namun, jangan sampai program memerdekakan ini justru memenjara kemerdekaan olah pikir kita oleh kemerdekaan olah pikir yang sedang berkuasa. Maka mari sama-sama menjaga kemerdekaan berolah pikir.

    *Anggota Geostrategy Study Club Surabaya, Dosen Hubungan Internasional UPN “Veteran” Jawa Timur, dan Dewan Pendidikan Kota Kediri 2016-2021


    [1] Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2020. Mendikbud Luncurkan Empat Kebijakan Merdeka Belajar: Kampus Merdeka. Tersedia di: https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/01/mendikbud-luncurkan-empat-kebijakan-merdeka-belajar-kampus-merdeka, diakses pada 3 Februari 2020.

    [2] Nuryananda, Praja Firdaus. 2020. Skripsi: Irelevansi dan Penjara Independensi. Tersedia di: http://kabarkampus.com/2020/01/skripsi-irelevansi-dan-penjara-independensi/, diakses pada 1 Februari 2020.

    [3] Nuryananda, Praja Firdaus. 2020.

    [4] Subangun, Timur. 2012. Bagaimana Bung Karno Memaknai Kemerdekaan Nasional. Tersedia di: http://www.berdikarionline.com/bagaimana-bung-karno-memaknai-kemerdekaan-nasional/, diakses pada 3 Februari 2020.

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here