Praja Firdaus Nuryananda
Teman-teman muda nan milenial pasti mengenal Bayu Eko Moektito aliasnya adalah Bayu Skak. Bagi rekan yang belum mengenal siapa itu Bayu Skak, perkenankan saya berbagi sedikit cerita. Nama Bayu Skak melejit namanya karena unggahan videonya yang viral di platform YouTube. Setelah itu Bayu Skak berkolaborasi dengan banyak sineas dan pemuda lainnya untuk menggarap film berjudul “Yo Wis Ben” (Ya Sudahlah). Film ini berhasil menyedot perhatian publik, terutama kalangan muda dengan 900 ribu lebih penonton. Film ini juga berhasil mengangkat unsur-unsur kedaerahan, seperti bahasa, aksen, dan dialek masyarakat Jawa. Film ini diapresiasi pula oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Menariknya Bayu Skak adalah mahasiswa D3 Universitas Negeri Malang yang sudah 3,5 tahun sering bolos dan cuti kuliah. Lalu di tahunnya yang ke tujuh, dia diluluskan oleh universitasnya. Tidak hanya itu, Bayu juga diminta untuk memberikan valedictorian speech (pidato perwakilan mahasiswa) pada saat prosesi wisuda. Bayu adalah satu diantara seribu anak muda di Indonesia.[1][2] Tapi, perbandingan itu lantas tidak perlu membuat kita pesimis terhadap kreatifitas dan nalar kritis anak muda sekarang. Apalagi jika pesimisme itu justru muncul di institusi pendidikan yang mana seharusnya justru menumbuhkembangkan critical dan creative thinking.
Artikel kali ini adalah artikel pelengkap dari artikel penulis sebelumnya tentang skripsi dan irelevansinya[3] di dunia pendidikan kita sekarang. Jika artikel sebelumnya berbicara mengenai irelevansi skripsi, maka artikel yang sekarang ini akan sedikit memberikan opsi-opsi pengganti skripsi. Maka artikel ini diharapkan menjadi panacea terhadap kebingungan pembaca terhadap best practices pengganti skripsi sebagai satu-satunya manifestasi tugas akhir perkuliahan.
Sebagaimana tertera pada Permenristekdikti Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Perguruan Tinggi (SNPT), bahwa definisi kelulusan adalah penyelesaian minimal 144 sks. Penerjemahan aturan tersebut kemudian diserahkan kepada masing-masing perguruan tinggi. Jika skripsi bukan satu-satunya manifestasi tugas akhir perkuliahan, maka berikut ini ada beberapa alternatif pengganti atau pelengkap kurikulum sehingga skripsi tidak lagi menjadi momok di kampus. Beberapa alternatif ini penulis dapatkan dari berbagai macam sumber dan masih memungkinkan untuk ditambahkan lagi.
Alternatif pertama adalah mencetak prestasi atau karya yang bisa menjadi konsiderasi kelulusan. Selain contoh dari Bayu Skak dan Universitas Negeri Malang, Universitas Wisnuwardhana Malang (UNIDHA) juga menetapkan jalur kelulusan non-skripsi, syaratnya adalah menjadi wirausahawan sukses. Fakultas Ekonomi (FE) UNIDHA sudah merancang kurikulum dengan orientasi mencetak wirausahawan muda. Pada semester tengah perkuliahan, mahasiswa mulai diminta untuk membuat business plan dan menjalankan business plan tersebut.[4] Berhasil atau tidaknya sebuah bisnis tentu hanyalah menjadi satu dari banyak indikator kelulusan. Namun, sistem ini berhasil dibangun UNIDHA karena melibatkan pula alumni dan pegiat industri. Maka, alternatif ini bisa menjadi sangat relevan bagi mahasiswa yang memang ingin menjadi wirausaha ke depan.
Alternatif kedua datang dari Universitas Sebelas Maret (UNS). Mulai Maret 2019 yang lalu, UNS memberikan angin segar kepada mahasiswanya dengan menjadikan skripsi bukan lagi syarat utama kelulusan. Jalur non-skripsi ini bisa ditempuh mahasiswa jika mahasiswa UNS bisa meloloskan karya ilmiahnya sampai tingkat Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS).[5] Memang tidak mudah untuk meloloskan karya sampai tingkat PIMNAS. Tapi bisa jadi itu lebih menantang dan lebih sesuai dengan keinginan mahasiswa yang mau melahirkan karya-karya sampai tingkat nasional.
Universitas Padjajaran (UNPAD) justru memberikan keleluasaan yang lebih luas. Melalui Peraturan Rektor UNPAD Nomor 24 Tahun 2016, UNPAD tidak menjadikan skripsi sebagai syarat utama kelulusan. Bagi strata sarjana (S1), skripsi bisa diganti dengan memorandum hukum, studi kasus, artikel pada jurnal terakreditasi, prosiding pada seminar internasional, dan karya kolektif sesuai dengan bidang khas tiap fakultas (contoh: tugas akhir pembuatan film dokumenter di Fakultas Ilmu Komunikasi UNPAD). Peraturan rektor ini juga memberikan keleluasaan pada strata magister (S2) dan spesialis melalui penggantian tesis atau disertasi dengan artikel di jurnal nasional terakreditasi, jurnal internasional bereputasi, atau bahkan buku karya sendiri.[6]
Selanjutnya datang alternatif dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Alternatif yang digagas oleh UPI adalah dengan menambah beban sks yang ditempuh mahasiswa. Jika peraturan perundangan mengatur jumlah minimal sks yang ditempuh untuk kelulusan, maka cara ini tentu saja bisa dilakukan. Dengan menambah sks maka diharapkan cara tersebut dapat memperkaya proses pembelajaran di kampus.
Alternatif kelima, sekaligus menjadi yang terakhir dalam artikel ini, berasal dari Universitas Indonesia (UI). Rektor UI periode 1994-1998, Prof. dr. M.K. Tadjudin, memberikan pilihan pada mahasiswa untuk menempuh jalur skripsi atau non-skripsi setelah menempuh 140 sks. Mahasiswa yang memilih jalur non-skripsi diharuskan menempuh 10 sks tambahan. Maka minimal kelulusan mahasiswa yang mengambil jalur non-skripsi adalah 150 sks.[7] Hal ini relatif sama dengan yang dilakukan oleh UPI lewat penjelasan sebelumnya. UI juga menjadikan magang dan ujian komprehensif sebagai alternatif pengganti skripsi.
Dengan adanya beberapa pilihan yang diberikan, hal ini menjadikan kampus lebih memberikan kebebasan intelektual kepada mahasiswanya. Namun sebenarnya tidak hanya mahasiswa saja yang diberikan kebebasan intelektual. Justru kondisi tersebut seharusnya menjadi keuntungan juga bagi kalangan sivitas akademika, karena dengan adanya banyak alternatif maka hal tersebut menampakkan kreatifitas lingkungan akademik yang ada. Ketika kreatifitas menjadi salah satu tiang pancang prinsip pendidikan di sebuah institusi, maka yang tercipta tidak hanya kognisi yang hebat tapi juga karakter pendidikan yang kuat. Pasung kebebasan dan kreatifitas inilah yang kiranya sekarang ini menjadi kunci relevansi kampus dengan dunia paska kampus. Mari memberi kemerdekaan pada kognisi dengan tujuan pendidikan dan kampus merdeka.
Penulis adalah anggota Geostrategy Study Club Surabaya, Dosen Hubungan Internasional UPN “Veteran” Jawa Timur dan Dewan Pendidikan Kota Kediri 2016-2021
[1] Liz. 2018. 3,5 Tahun Tidak Kuliah, 5 Fakta Bayu Skak Tiba-Tiba Diluluskan UM. Tersedia di: https://kumparan.com/berita-artis/3-5-tahun-tidak-kuliah-5-fakta-bayu-skak-tiba-tiba-diluluskan-unm-1540556329948910267, diakses pada: 30 Januari 2020.
[2] Lolita, Lola. 2018. 7 Tahun Lebih Kuliah, Bayu Skak Lulus & Pidato Makna “Yo Wis Ben”. Tersedia di: https://www.brilio.net/selebritis/7-tahun-lebih-kuliah-bayu-skak-lulus-pidato-makna-yowis-ben-181118t.html., diakses pada 31 Januari 2020.
[3] Nuryananda, Praja Firdaus. 2020. Skripsi: Irelevansi dan Penjara Independensi. Tersedia di: http://kabarkampus.com/2020/01/skripsi-irelevansi-dan-penjara-independensi/, diakses pada: 31 Januari 2020.
[4] Anon. tt. Di Kampus UNIDHA Kamu Bisa Lulus Tanpa Skripsi Lho, Ini Syaratnya!. Tersedia di: https://infokampus.news/di-kampus-unidha-kamu-bisa-lulus-tanpa-skripsi-lho-ini-syaratnya/, diakses pada: 29 Januari 2020.
[5] Sulistiyowati, Anik. 2019. Mahasiswa UNS Bisa Lulus Tanpa Bikin Skripsi, Ini Jurusan Kuliah Paling Susah. Tersedia di: https://jeda.id/real/mahasiswa-uns-bisa-lulus-tanpa-bikin-skripsi-ini-jurusan-kuliah-paling-susah-1749, diakses pada 30 Januari 2020.
[6] Putri, Ananda & Erlangga Pratama. 2018. Menuju Sarjana Tanpa Skripsi. Tersedia di: http://djatinangor.com/2018/06/04/menuju-sarjana-tanpa-skripsi/, diakses pada: 30 Januari 2020.
[7] Silaen, Victor. 2015. Kebijakan Opsional S-1 Tanpa Skripsi. Tersedia di: https://nasional.sindonews.com/read/1012703/162/kebijakan-opsional-s-1-tanpa-skripsi-1434335472, diakses pada: 31 Januari 2020.