More

    Catatan Membaca Kumpulan Puisi: “Rekaman Terakhir Beckett” Karya Ari Pahala Hutabarat

    *

    Inovasi, baik di dalam seni maupun sains, mesti memiliki landasan teoritis yang kokoh, sehingga dengan itu orang yang memiliki kompetensi—siapa pun orangnya—bisa mengujinya. Hasil dari pengujian itu hanya ada dua, yaitu: terbukti inovatif atau tidak terbukti inovatif. Oleh karenanya, sebuah klaim inovasi di dalam seni atau sains harus memiliki landasan teoritisnya. Ketika Einstein menyanggah teori gravitasi Newton, maka ia menyanggahnya dengan teori relativitas umum. Teori relativitas umum dalam fisika modern adalah satu inovasi yang pembuktiannya bertolak dari teori geometri Brenhard Reimann. Di dalam seni, misalnya, ketika pelukis post-impresionis Paul Cezanne dari Prancis pada abad ke-19 menyanggah teori seni lukis realis yang dibangun oleh prinsip satu perspektif, maka Paul Cezanne mengeluarkan teori dual-perspektif. Kemudian teori dual-perspektif ini menginspirasi Pablo Picasso untuk menciptakan teori multiperspektif dalam seni lukis kubisme.

    Di dalam puisi modern, pada awal abad ke-20, penyair Ezra Pound dari Amerika Serikat, ketika hendak menyanggah teori metrum klasik dan romantik, maka ia mengeluarkan teori metrum berkaki bebas. Timbulnya teori metrum berkaki bebas ini telah membebaskan puisi-puisi Amerika Serikat dari sintaksis puitik yang terikat secara ketat oleh metrum (seperti pada puisi-puisi klasik dan romantik di Eropa) dan memungkinkan munculnya “sintaksis puitik yang prosaik”, sintaksis puitik yang lebih bebas, seperti pada puisi-puisi imajisme dan objektivis di Amerika Serikat.

    - Advertisement -

    Pilihan Ari Pahala Hutabarat untuk mengambil bentuk pengucapan bergaya prosa, pada kumpulan puisi Rekaman Terakhir Backet, menurut saya merupakan upaya perluasan penggunaan sintaksis puitik dengan pola metrum berkaki bebas hasil temuan Ezra Pound. Upaya Ari ini bukan hal baru dalam dunia puisi Indonesia, sebab Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Taufik Ismail telah menggunakan teknik sintaksis puisi prosaik pada era 70-an. Namun, Ari mengembangkannya lebih jauh lagi dengan mencoba menyusun sintaksis puitik ke dalam pola-pola kalimat luas yang bertumpu pada klausa, misalnya pada kalimat pembuka puisi “Tom yang Selalu Menunggu” berikut ini:

    “seorang lelaki merasa dirinya adalah seekor musang yang sedang mengintai tiga merpati di depan tikungan sebuah jalan.”

    Kalimat di atas menggunakan pola kalimat luas yang dibangun oleh tiga klausa, yaitu: klausa verba, klausa nomina, dan klausa preposisional. Namun, uniknya, setiap objek pada klausa sebelumnya ditransformasi menjadi subjek pada klausa sesudahnya. Contoh pada klausa nomina berikut ini: “dirinya adalah seekor musang”, di mana objek dari klausa itu (seekor musang) kemudian ditransformasi menjadi subjek pada klausa berikutnya (klausa verba): “seekor musang yang sedang mengintai tiga merpati”. Pola sintaksis puitik seperti di atas kerap ditemukan pada puisi-puisi Ari dalam kumpulan ini.

    Selain itu, puisi-puisi Ari Pahala di dalam kumpulan ini, menurut pembacaan saya, tetap menggunakan irama puitik (meski bukan rima akhir larik) dan tetap memainkan konvensi-konvensi majas seperti metafora, simbol, imaji, hingga patafora dengan tepat. Mari kita tinjau perihal penggunaan majas pada puisi Ari. Untuk kita bisa mulai dengan pendefinisian bahasa figuratif dan makna figuratif dulu, misalnya dengan menggunakan pendefinisian perihal majas dari M. H. Abrams saja:

    "Figurative language is a deviation from what speakers of a language apprehends as the ordinary, or standard, significance or sequence of words, in order to achieve some special meaning or effect." (Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston). 3)

    Jadi, menurut Abrams bahasa figuratif (figurative language) adalah penyimpangan penggunaan bahasa oleh penutur dari pemahaman bahasa yang dipakai sehari-hari (ordinary), penyimpangan dari bahasa standar, penyimpangan makna kata, atau suatu penyimpangan rangkaian kata supaya memperoleh beberapa arti khusus. Kata “deviation” dari definisi Abrams itu kemudian ditafsirkan oleh Prof. Kridalaksana sebagai “perluasan”, khususnya dalam konteks perluasan makna kata atau kelompok kata untuk memperoleh efek tertentu dengan membandingkan atau membagi serta mengasosiasikan dua hal.

    Pertanyaannya, bagaimana “operasi” dari deviasi atau perluasan makna itu dilakukan dalam metafora? Jawabnya: melalui prinsip-prinsip logis di dalam logika Aristoteles. Aristoteles mempergunakan kata analogi dengan pengertian kuantitatif maupun kualitatif. Dalam pengertian kuantitatif, analogi diartikan sebagai kemiripan atau relasi identitas antara dua istilah berdasarkan sejumlah besar ciri yang sama. Sedangkan, dalam pengertian kualitatif, analogi menyatakan kemiripan hubungan sifat antara dua perangkat istilah. Dalam arti yang lebih luas, analogi lalu berkembang menjadi bahasa kiasan, dan metafora dikategorikan oleh para ahli bahasa sebagai kiasan yang bersumber dari analogi kualitatif pada logika Aristoteles. Namun, yang perlu dipahami, baik analogi kuantitatif dan kualitatif tetap mendasarkan kemiripannya pada prinsip identitas dalam teori korespondensi. Karenanya saya menyatakan dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya bahwa metafora masih merupakan bagian dari “teks realisme”. Kenapa? Karena dasar “pembuktian” atau verifikasi dari penyimpangan atau perluasan makna dalam metafora tetaplah realitas empiris atau behavioristis, sesuai dengan prinsip identitas dalam teori kebenaran korespondensi.

    Berikutnya, soal patafora sebagai perluasan dari metafora. Dasar operasi pembuktian ketepatan patafora bukanlah realitas empiris, melainkan realitas metaforis. Metafora diletakkan sebagai semacam aksioma atau postulat dalam pembuktian koherensi dari patafora. Efek yang dihasilkan bukanlah perluasan makna seperti dalam metafora, melainkan “semacam perluasan emosi” atau “membuka cara berpikir baru” demi makin mengintensifkan makna metaforis. Jadi, operasi perluasan itu lebih ke arah “permainan bahasa” atau tanda yang mengambang bebas (dari pemaknaan denotatif).

    Contohnya, dalam metafora hewani (yang belum jadi “metafora bangkai”) di Indonesia dikenal istilah “buaya darat”. Operasi penyimpangan atau perluasan makna dari metafora itu adalah deviasi dari makna denotatif kata “buaya” dan “darat” untuk menyatakan makna denotatif seorang playboy. Nah, sekarang bagaimana jika metafora itu hendak diperluas menjadi patafora, menjadi imajinasi, untuk menghasilkan efek psikologis tertentu bagi yang membacanya? Jawab: buaya darat itu digambarkan tiba-tiba menjadi buaya sungguhan yang, entah bagaimana caranya, terlempar ke neraka. Di neraka, buaya darat itu pun berdialog dengan iblis, dst.

    Apakah imajinasi bisa dijelaskan dengan teori logika (bukan dengan teori berpikir dalam psikologi)? Bisa dan usaha itu sudah lama dilakukan pada abad ke-20. Salah satunya dilakukan oleh Niiniluoto dalam satu kertas kerja ilmiah yang berjudul “Imagination and Fiction” pada Journal of Semantics-Oxford, tahun 1985. Niiniluoto memperkenalkan satu operator logika, meski mendapat banyak kritik di kalangan logikawan dunia, untuk imajinasi dengan notasi “I” (sering juga digunakan notasi “O”). Logika imajinasi itu dibangun dari satu aksioma dengan menggunakan sistem aksioma Hilbert dalam matematika, begini:

    1. I(ϕ → ψ) → (Iϕ → Iψ);
    2. I(ϕ ∧ ψ) ↔ (Iϕ ∧ Iψ);
    3. Dari ⊢ ϕ, didapatkan ⊢ Iϕ;

    Niiniluoto menyatakan bahwa aksioma di atas adalah konsekuensi dari kondisi semantik berikut (menggunakan tata bahasa kasus dan logika modalitas): agen satu imajinasi φ di ψ jika dan hanya jika φ benar dalam semua kemungkinan dunia yang terjadi secara bersama tanpa konflik dengan satu imajinasi di ψ.

    Jean-Yves Beziau dalam makalahnya yang berjudul “Tutorial on Negation Contradiction and Opposition” kemudian mengkritik pendekatan aksioma Niiniluoto di atas. Ia menyatakan bahwa sebuah “proposisi imajinatif”, seperti OA ∧ OB → O(A ∧ B), bukan hanya gabungan dari dua agen imajinasi (OA dan OB), karena sebuah proposisi imajinasi mesti bisa membuka kemungkinan banyak “pembayangan” dalam konteks semantik. Jadi, mahluk mitologi seperti “centaur” dalam mitologi Yunani, bukan hanya gabungan dari imajinasi tubuh kuda (OA) dan imajinasi tubuh manusia (OB) yang mengakibatkan gabungan tubuh kuda dan manusia atau O(A ∧ B) pada mahluk mitologis centaur, tetapi mesti lebih dari itu. Keterbatasan aksioma imajinasi dari Niiniluoto mengakibatkan aksioma itu tak bisa “menjelaskan” mahluk mitologi seperti naga di dalam kebudayaan Cina. Karena itulah, Jean-Yves Beziau kemudian menyatakan bahwa logika parakonsistensi berusaha untuk menjelaskan perihal imajinasi dalam konteks yang lebih luas, tanpa terjebak pada kesalahan logika seperti yang telah dilakukan oleh Niiniluoto.

    Sekarang saya akan mencoba melangkah lebih jauh lagi. Orang tak bisa mengimajinasikan ruang-waktu empat dimensi yang diacukan oleh teori relativitas khusus dari Albert Einstein atau ruang-waktu 10 dimensi hasil gabungan dari teori relativitas umum dan mekanika kuantum yang dipopulerkan oleh Stephen Hawking. Namun, faktanya kedua teori itu telah bisa diverifikasi secara empiris dengan temuan soal reaktor nuklir dan black hole. Sains dan realitas yang diacu oleh sains itu melampaui imajinasi kita. Fakta yang ditunjuk oleh kedua teori sains itu bukanlah imajinasi seperti naga dalam kebudayaan Cina misalnya, tetapi anehnya dapat dipahami dengan konsep logis dari matematika dan dapat diverifikasi dalam realitas empiris atau pragmatis.

    Apakah kerja menginterpretasi puisi itu sama sekali tidak membutuhkan pemahaman dan pengalaman perihal sains (terutama ilmu sastra), filsafat, logika, dan atau spiritualitas secara benar? Apakah kerja interpretasi itu cukup mengandalkan duga-duga dari ketakmampuan berpikir pembaca, sekadar mengandalkan moda pop-isme di dalam seni? Apakah puisi hanya sekadar “curhat” ala anak Alay, curhat yang sekali baca langsung kita pahami isi curhatnya–tanpa refleksi, tanpa penundaan kepastian pemaknaan untuk menghindari fonosentrisme?

    Interpretasi kita terhadap satu teks tertulis (bukan racauan tertulis), bila memang menggunakan metode (bukan asal duga-duga), akan mengarahkan kita pada sinkronisitas pemaknaan. Ia, interpretasi itu, bergerak makin dalam dan makin luas, hingga menembus lapis-lapis pemaknaan sebelumnya. Itu sejatinya “permainan” dari teks tertulis–yang juga permainan dari pembacaan teks tertulis. Sebuah teks tertulis, berbeda dari sekadar ujaran lisan.

    Itulah artinya defonosentrisme, mendekonstruksi moda pembacaan teks tertulis sebagai sekadar penyamaan dengan kecepatan pemahaman ketika kita mendengarkan ujaran lisan. Sebuah teks tertulis, yang benar-benar teks tertulis, akan mengundang kita untuk menunda kepastian pemahaman, satu stagnan, tetapi mengajak kita terus menyelami dunia pemaknaan satu teks tertulis yang berlapis-lapis itu.

    Operasi dekontruksi Jacques Derrida memang bermain dalam wilayah “teks”. Namun, yang dimaksud teks oleh Derrida bukan cuma tulisan, sebab ujaran lisan atau simbol marka jalan atau lampu lalu lintas atau mode pakaian atau pertandingan UFC di televisi juga termasuk teks. Itulah sebabnya kenapa Roland Barthes pernah melakukan analisis terhadap “teks” pertandingan gulat dan fasyen. Dekontstruksi adalah satu tindak berbahasa untuk membongkar “sentrisme” pada struktur oposisi biner, satu struktur yang meletakkan satu sistem tanda lebih rendah daripada lainnya berlandaskan pada metafisika kehadiran, seperti oposisi biner antara rasionalitas-irasionalitas, tulisan-lisan, kaula-hamba, fakta-fiksi, dll. Operasi dekonstruksi demikian mau membongkar akar kontradiksi internal pada teks yang membuat logosentrisme, membuat hubungan hirarkis dalam oposisi biner. Hirarki begitu pada dasarnya menekan kontradiksi-kontradiksi internal yang dipicu oleh “kerinduan” akan kehadiran murni, tak lain semacam “iman” fonosentrisme bahwa yang lisan merepresentasikan subjek murni secara langsung, tanpa jarak, tanpa penundaan pemaknaan, dengan kata lain satu upaya untuk menegasi ketakpastian. Dekonstruksi, pada dasarnya, memang mau membongkar sulapan-sulapan kepastian semacam itu. Sebagai contoh, pada tahun lalu dan awal tahun ini, saya sudah pernah menerapkan metode dekonstruksi (meski tidak sepenuhnya), ketika saya menganalisis ujaran-ujaran lisan “Ahok” dan para penyerangnya, termasuk ujaran lisan Ahmad Dhani, terutama pada “pilkada DKI” beberapa bulan lalu. Hasil analisis itu sudah pula saya share di FB saya ini. Melalui dekonstruksi saya bisa menemukan bukti-bukti kontradiksi internal pada ujaran-ujaran lisan para penyerang Ahok.

    Selain itu, menurut saya, adalah mustahil bagi seseorang untuk memahami secara komprehensif konsep dekonstruksi Derrida tanpa terlebih dahulu memahami logika klasik dan modern. Kenapa? Karena Derrida justru menggunakan satu prinsip klasik (dan modern) di dalam logika–yaitu kontradiksi–untuk melakukan dekonstruksi. Juga mustahil bagi seorang pembaca akan bisa memahami buku Of Grammatology karya Derrida tanpa terlebih dahulu memahami prinsip-prinsip logika klasik dan modern, karena yang hendak dibongkar oleh Derrida justru prinsip-prinsip logika yang cenderung diselewengkan menjadi logosentrisme dengan menggunakan prinsip-prinsip logika juga. Hal begitu yang disebut dengan istilah post-logic, tapi bukan a-logic. Jika seseorang berusaha memahami pemikiran-pemikiran postmodern dan postruktural tanpa terlebih dahulu memahami logika, maka yang terjadi adalah kecenderungan untuk menganggap pemikiran-pemikiran postmodern sebagai a-logic, dan konsep-konsep postsruktural akan dianggap sebagai antistruktur. Multistruktur jelas bukan antistruktur. Beyond logic jelas bukan a-logic. Pluralitas kebenaran bukan berarti antikebenaran. Sikap yang cenderung menganggap wacana-wacana postmodern dan poststruktural sebagai a-logic, antistruktur, dan antikebenaran adalah satu sikap yang saya sebut sebagai “pseudo-postmo” alias “ngawurisme”.


    —————
    CATATAN:
    —————

    1) Hal ini pasti menyangkut Tuhan, karena silsilah kejahatan juga merupakan teodisi. Muasal bencana masyarakat dan bahasa pada saat bersamaan memungkinkan aktualisasi kemampuan-kemampuan potensial yang tertidur di dalam diri manusia.

    2) Mempertimbangkan perihal efek, yang mungkin memiliki relasi praktis, kita pun membayangkan objek konsepsi kita sebagai hal untuk dimiliki. Kemudian, konsepsi kita tentang efek ini adalah keseluruhan konsep kita tentang objek.

    3) Bahasa kiasan adalah satu penyimpangan perihal yang dikatakan oleh penutur bahasa sehari-hari, atau standard, signifikansi atau rangkaian perkataan yang bekerja berdasarkan urutan waktu, untuk mencapai makna atau kesan khusus. (Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt Rinehart and Winston).


    ——————————————————————————————-
    Esai © Ahmad Yulden Erwin, Bandarlampung, Oktober 2017
    ——————————————————————————————-

    - Advertisement -

    LEAVE A REPLY

    Please enter your comment!
    Please enter your name here